Khilafah Perintah Allah

Rasidah

Oleh : Rasidah, ST

Khilafah tidak hentinya jadi perbincangan. Alhasil banyak yang mencoba menafsirkan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjamin tidak ada sistem negara khilafah dalam Islam. “Yang ada itu prinsip khilafah, dan itu tertuang dalam Al Quran,” kata Mahfud saat memberikan sambutan dalam acara Dialog Kebangsaan Korps Alumni HMI (KAHMI), di Kalimantan Barat, Sabtu malam, 26 Oktober 2019 (TEMPO.CO, Pontianak). Padahal, khilafah adalah sistem pemerintahan islam yang dicontohkan Rasulullah, yang merupakan bagian dari perintah Allah.

Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah seperti saat ini sebagian besar peraturan dalam islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum peradilan, dan lainnya terabaikan.

Di bidang pendidikan, misalnya, negara menerapkan sistem pendidikan yang jauh dari visi islam. Sekuler jadi pilihan, sehingga pengetahuan agama minim didapatkan. Di bidang ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal, masih menghalalkan transaksi riba dan pelanggaran syara kainnya. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat sehingga zina dan LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal.

Miris! Jika menganggap menegakkan khilafah tidak wajib. Justru ini merupakan kewajiban umat muslim untuk merealisasikannya dalam kehidupan.

Dalil Kewajiban Khilafah

Sebagai kewajiban dalam Islam, Khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama Aswaja, menyepakati empat dalil syariah yakni: (1) Al-Quran; (2) As-Sunnah; (3) Ijmak Sahabat; (4) Qiyas Syar’iyyah.

Berkaitan dengan itu Imam Syafii menyatakan “Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijma atau Qiyas.” (Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39).

Senada dengan itu, Imam al-Ghazali menyatakan “Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 2/273).

1. Dalil al-Quran

Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Selain itu Allah SWT berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

2. Dalil as-Sunnah

Di antaranya sabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa khalifah atas kaum Muslim sedunia tidak boleh berbilang: “Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).

Berkaitan dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi berkomentar, “Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah (sebelumnya), maka baiat untuk khalifah pertama sah sehingga wajib dipenuhi, sementara baiat untuk ‘khalifah’ kedua batal sehingga haram dipenuh. Inilah pendapat yang benar menurut jumhur ulama.” (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, 12/231).

3. Dalil Ijmak Sahabat

Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah setelah al-Quran dan as-Sunnah sangatlah kuat. Apalagi menurut Imam al-Ghazali, Ijmak Sahabat tidak terkena naskh (penghapusan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14).

Karena itu Ijmak Sahabat jelas tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi menegaskan: “Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini. Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini” (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, 1/296).

Karena itu pula, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak layak diabaikan seolah-olah tidak pernah ada, atau dicampakkan seakan tidak berharga sama sekali. Tindakan demikian tentu menurut Imam as-Sarkhasi sama saja dengan menghancurkan fondasi agama ini.

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan: Sungguh para Sahabat- semoga Allah meridhai mereka telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah berikut: “Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya.

Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah (Lihat: Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

4. Ijmak Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atasndan masih banyak dalil lainnya yang sangat terang-bendera ng wajar jika kewajiban menegakkan Khilafah telah menjadi ijmak para ulama Aswaja, khususnya imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H). Ulama Nusantara, Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah.

Berdasarkan paparan singkat di atas, masih adakah yang berani menolak Khilafah sebagai ajaran Islam? Apalagi menyebutkan khilafah adalah ancaman atau masalah. Jika ada, semoga saja ia berani pula bertanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak. Wal ‘iyâdzu bilLâh.

(*Wirausaha dan Ibu Rumah Tangga)