Kilas Balik Pengamanan Polda Metro Jaya Saat Demonstrasi Pemilu 2019

Situasi di Gedung DPR RI saat Demonstrasi 24 September 2019. Dok: beritasampit.co.id/Adista Pattisahusiwa

JAKARTA— Di Indonesia sepanjang tahun 2019 banyak terjadi kejadian yang menyita perhatian publik. Bahkan tidak sedikit mengundang antusiasme dunia internasional.

Salah satunya Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan kegiatan politik jelang Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden di Pemilu serentak tahun 2019 lalu.

Pilpres 2019 itu menjadi bagian dari pemilu serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Berbagai peristiwa terjadi tersebut akan disimpan dan diingat dalam catatan sejarah.

Pada 2019, kinerja aparat kepolisian dan TNI tercurah pada pelaksanaan pesta demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden. Situasi ini berpengaruh kepada kinerja Polda Metro Jaya terutama dalam menegakkan hukum yang berkaitan dengan kegiatan berpolitik masyarakat seperti aksi unjuk rasa, tindak pidana hate speech (ujaran kebencian) pencemaran nama baik, pelanggaran undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), serta penyebaran berita hoax.

Aksi unjuk rasa yang berujung tindakan anarkis terjadi pasca pemungutan suara Pilpres pada 21 sampai 23 Mei 2019 dan menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 23-30 September yang menimbulkan korban luka-luka dan kerugian materiil.

Pada 21-23 Mei 2019 para demonstrasi memprotes hasil Pemilu 2019 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka menyuarakan aspirasinya di Gedung Bawaslu Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

BACA JUGA:   Generasi Muda Harus Siap Meng-Upgrade Skill yang Relevan Wujudkan Indonesia Emas 2045

Polisi saat itu mengerahkan sekitar 50 ribu personel gabungan TNI-Polri. Selain itu, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya juga telah melakukan pengalihan arus lalu lintas atau rekayasa di sekitar Bawaslu dan Gedung KPU Jln Imam Bonjol Jakarta Pusat.

Tercatat korban luka sebanyak 477 orang, terdiri dari 234 orang anggota Polri dan 243 orang warga sipil. Serta menimbulkan kerugian materiil berupa kerusakan bangunan Mes Petamburan, Pospol Petamburan, Pospol Sabang, Pos Lantas Sarinah, Pos Lantas Slipi, Pos Lantas Cut Meutia dan 3 ruko di Petamburan serta 15 mobil dan 2 sepeda motor dibakar.

Selain itu, 18 mobil dirusak, 4 Bus Brimob, 1 Jeep Rubicon dan 1 Toyota Rush Dinas Brimob dirusak massa.

Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 447 orang yang ditangkap dan ditetapkan status tersangka, 344 orang diantaranya ditahan dan 103 orang ditangguhkan penahanannya.

Begitu juga saat demontrasi jelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 23 hingga 30 September 2019 di Gedung DPR RI Parlemen Senayan Jakarta Selatan. Aksi massa anarkis menimbulkan korban 250 orang luka-luka (41 anggota Polri dan 209 orang warga sipil), serta menimbulkan kerugian materiil berupa kerusakan sejumlah bangunan dan kenderaan dinas Kepolisian.

Dalam Insiden itu, aparat menangkap 1.589 orang, sebanyak 1.353 orang dipulangkan, 92 diversi, 8 orang direhabilitasi dan 136 orang ditahan.

Kapolda Metro Jaya Komjen Pol Gatot Eddy Pramono dalam jumpa pers akhir tahun yang digelar di Balai Pertemuan Mapolda, Jumat, (27/12/2019), mengatakan bahwa pada tahun 2020 kedepannya Polda Metro akan dihadapkan dengan tantangan tugas yang semakin berat. Demikian juga tuntutan dan harapan masyarakat terhadap Polda Metro Jaya semakin meningkat.

BACA JUGA:   Legislator Golkar: Mari Perkuat Ikatan Kebangsaan Pasca Pemilu 2024

Kata Gatot, ke depan, setiap anggota Polri yang terlibat pengamanan demonstrasi harus benar-benar memahami dan berpegang teguh kepada Undang-undang dan SOP yang ada, serta memahami elemen demokratis sebagai landasan cara bertindak dalam menangani aksi unjuk rasa masyarakat.

Karena menurut Gatot, perkembangan demokrasi di Indonesia juga mesti menjadi perhatian strategi Polri. Demokrasi adalah hak rakyat untuk menjadikan negara menjadi rumah rakyat. Tetapi tentunya kebebasan dalam demokrasi harus berdasarkan konstitusi dan UU yang berlaku.

“Banyak persoalan kebebasan menjadi salah satu etika berdemokrasi,di situ ada perbedaan kepentingan dan perbedaan politik, dimana untuk menyampaikan aspirasi mereka mengadakan aksi unjuk rasa, maka Polri berkewajiban untuk melakukan penjagaan sesuai peran dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan UU kepolisian,” ungkap Gatot.

Lulusan Akpol 1988 itu mengatakan dunia terus berubah bergerak dan berkembang cepat yang membawa tantangan-tantangan baru membawa ancaman-ancaman baru terhadap situasi keamanan dalam negeri.

“Kedepannya Polda Metro harus bersinergi dengan pemerintah daerah, TNI dan berbagai unsur masyarakat, guna mengantisipasi terjadinya konflik sosial, demi terwujudnya situasi Kamtibmas yang kondusif,” pungkas Komjen Pol Gatot Eddy Pramono.

(dis/beritasampit.co.id)