Mengenal Budaya, Legenda Riam Sandung Angoi

(Foto Istimewa) Riam Sandung Angoi, disekitar Desa Tumbang Puan dan Desa Tumbang Manya, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).  

Editor : Maulana Kawit

SAMPIT – Riam Sandung Angoi, merupakan salah satu riam yang berada di hulu sungai Mentaya. Riam ini mengalir disekitar Desa Tumbang Puan dan Desa Tumbang Manya, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Riam, adalah aliran air sungai yang deras di sungai hampir seperti air terjun yang rendah sekali atau berarti aliran sungai yang deras sekali.

Menurut cerita beberapa abad yang lalu, melalui tutur Bapak Lunas S Erang yang di rangkum Berita Sampit dari salah satu anggota komunitas Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotim, diceritakan, pada jaman dahulu ada dua manusia bernama Sandung dan Angoi.

Karena banyak hal yang tidak bisa dilakukan dan melanggar pantangan, maka terjadilah hujan batu. Sandung dan Angoi pun tertutup batu (sekarang disekitar Riam Sandung Angoi).

Di Riam Sandung Angoi juga terdapat batu asahan seseorang yang bernama Tambun Bungai. Hal itu terlihat dari bekas tapak kaki Tambun Bungai di sekitar riam tersebut.

Beberapa literasi, seperti dikutip dari Wikipedia, bahwa Tambun Bungai (Tambun dan Bungai) adalah dua tokoh legenda Suku Dayak Ot Danum, yang tinggal di tengah pulau Kalimantan, khususnya wilayah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

BACA JUGA:   Pesantren Ramadan Digelar, Pelajar Diingatkan Makmurkan Masjid

Legenda dan cerita rakyat, Tambun Bungai sangat dikenal sebagai asal usul manusia di bumi Kalimantan Tengah. Tambun dan Bungai dianggap tokoh supranatural sekaligus nenek moyang suku Dayak.

Walaupun areal atau situs-situs pemukiman mereka sudah banyak yang dimakan usia, lokasinya masih dianggap sakral dan merupakan tempat larangan sehingga dan sampai sekarang tetap bertahan.

WWF Indonesia, melalui postingannya pada 15 Oktober 2010, dua penulis Dayak, yakni Abdul Fattah Nahan dan During Dihit Rampai berupaya mengumpulkan kisah kedua tokoh tersebut dan menuliskannya ke dalam bahasa Dayak Ngaju. Hal ini agar dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat Indonesia dan warga dunia, buku ini pun diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang diharapkan dapat menjadi media komunikasi efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian budaya dan lingkungan hidup.

Seperti penuturan Rosenda C. Kasih, Project Leader WWF-Indonesia Kalimantan Tengah saat itu, secara umum berdasarkan filosofi, keyakinan tradisional dan nilai nilai kebijakan lokal mempunyai pengaruh dan dampak besar terhadap pengikutnya dalam memandang bagaimana upaya perlindungan dan pemanfaatan terhadap alam secara bijak.

BACA JUGA:   Bekas Dermaga Gudang Gembor Sampit Dikeluhkan Warga Sering Digunakan Pesta Miras dan Mesum Pasangan Sejoli

Buku tersebut bermaksud sebagai media pengingat dan panggilan untuk tetap menerapkan nilai sakral masyarakat Dayak dalam memelihara dan melindungi alam yang menjadi urat nadi kehidupan mereka.

Situs Tambun dan Bungai sendiri terletak di desa Tumbang Pajangei, Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas. Lokasi tersebut hanya berjarak 9,2 km dari Kota Kuala Kurun, sehingga dapat ditempuh oleh segala jenis kendaraan dengan kondisi jalan yang sudah beraspal. Situs ini menyimpan berbagai bentuk peninggalan sejarah, antara lain berupa patung Tambun Bungai, Kumpulan Penyang Pusaka, Pasah Patahu Tambun Bungai, situs Batu Bulan, dan Sandung Tamanggung Sempung.

Demikian juga Riam Sandung Angoi. Hingga saat ini masih dianggap keramat, sebagai tempat para tokoh dan sesepuh beberapa desa disekitar menyimpan sesajian, seperti yang dilakukan dan kepercayaan para tokoh sejak jaman dahulu.

(jun/beritasampit)