Mengenal Ritual Manipas Sahur Dayak Ngaju, Lempar Beras Kuning hingga Kesurupan!

Keterangan Foto : GBY/BS - Tambi Shuhin dalam ritual Manipas Sahur

PALANGKA RAYA – Ada yang unik dalam tradisi ritual syukuran keluarga Dayak ngaju. Ritual ini dilaksanakan karena adanya suatu nazar dari seorangan atau keluarga jika doanya terjawab. Maka orang tersebut wajib bayar nazar dengan mempersembahkan makanan kepada penghuni alam.

Selain mempersembahkan makanan kepada penghuni alam, ritual ini bertujuan untuk keharmonisan antara penghuni alam dengan manusia sendiri.

Ritual ini biasa disebut Menipas Sahur yang didalamnya juga ada Basangiang dan badewa yaitu memanggil penghuni kahyangan untuk turun menghadiri ritual tersebut.

Selain itu para penghuni kahyangan juga membantu menyembuhkan penyakit orang yang ada dalam acara ritual tersebut.

Dalam persiapan ritual tidak sembarangan, Pak Kudak seorang datu mengutarakan jika perlengkapan ritual ada yang kurang satupun maka ritual tidak bisa terlaksana.

Perlengkapan ritual begitu banyak, antara terdiri dari beras kuning, beragam wadai (kue), ayam, baram, tembakau atau rokok, pakaian, pondok kecil, alat musik dan sebagainya.

Ritual Manipas Sahur yang digelar di desa Ubar Mandiri, Kecamatan Cempaga hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur ini berlangsung selama 2 hari 2 malam. Acara semakin meriah dengan 3 babi di potongnya untuk dimakan bersama-sama.

Pisor seorang pemandu Ritual sebelum memulai ritual membacakan seperti doa dalam Bahasa Dayak. Sesekali melempar beras kuning dan minum baram yang telah dipersiapkan. Dilanjutkan Pisor, datu dan keluarga menari mengitari pondok yang penuh dengan makanan persembahan.

Dalam tariannya yang diiringi oleh gamelan, gong, gendang, kecapi dan biola (Dayak). Alunan musik memberikan efek mistik yang luarbiasa sehingga para penari tak sadarkan diri.

Seperti tambi (nenek) Shuhin ia tak sadarkan diri setelah dirasuki oleh para penghuni alam. ia menyanyi, menari dan berkata-kata dalam Bahasa Dayak. Sesekali memberikan wejangan kepada yang ada pada ritual.

Meskipun usianya 60th keatas namun tambi shuhin tidak ada lelahnya. Bermacam-macam penghuni alam merasukinya. Seperti buaya, nenek tua, dan para penghuni kahyangan lainnya.

Hal itu bisa dilihat dengan gerakan tambi Shuhin dan kata-katanya sendiri. Seperti ia merayap seperti buaya, berjalan memakai tongkat hingga bergerak seolah menggendong bayi.

Setelah sekian lama merasuki, para penghuni kahyangan berpamit untuk kembali ke kahyangan. Dan mengucap terimaksih kepada penghuni bumi yang telah menjaga hubungan kepada penghuni alam.

(GBY/BERITASAMPIT.CO.ID)