MADINAH, Perjalanan jamah rombongan umroh asal Pangkalan Bun penuh cerita. Bayangkan saja sekitar pukul 17.15 Waktu Arab Saudi (WAS) Kamis (16/1/2020) yang lalu, Bus yang ditumpangi para rombongan umroh PT Alkamira Pangkalan Bun ini. Disuguhkan dengan suasana pernigaan yang cukup unik.
Butuh waktu sekitar dua (2) jam, para rombongan berangkat dari Mekah menuju Madinah keudian berhenti disebuah lokasi pertokoan kecil yang dilengkapi semacam kotak kontainer besar, untuk wudu dan salat.
Terdengar suara imbaun yang diucapkan H Mukid Faturachman pemandu umroh, “Silahkan Bapak Ibu, kita sekitar 1 jam berhenti untuk salat Jamak, karena perjalanan kita masih jauh,” imbaunya.
Kemudian penulis pun ikut turun dari bus untuk salat berjamaah yang disambut angin kencang yang dingin. Seusai Salat disekitaran tempat itu ada aktifitas perniagaan tradisional. Sama seperti umumnya pasar yang menjadi transaksi ekonomi. Tawar menawar barang menjadi pemandangan yang lumrah kita pandang.
“Haji..haji…Ta’al..ta’al…mari..mari dekat,” teriak pedagang buah-buahan menawarkan kepada penulis.
Disusul teriakan pedagang lainnya menawarkan barang jualanya kepada para rombongan.
“Halal..halal…Martabaaak..martabak..Enak..enak..Daging..daging,” ungkap pedagang.
Tak seperti yang dibayangkan, ternyata bahasa Indonesia juga menjadi salah satu bahasa penghubung yang digunakan para penjual. Hal ini membuat rombongan umroh asal Indonesia merasa terbantukan dari segi komunikasi.
“Para pedang di Mekah dan Madinah, termasuk disini paling cepat mengenal orang Indonesia, mungkin karena melihat postur tubuh dan seragam yang digunakan, termasuk kalau belanja oleh oleh paling banyak, bahkan mereka sudah banyak yang pintar bahasa Indonesia,” kata H Mukid.
Transaksi jual beli juga bisa menggunakan mata uang rupiah, meski harganya cukup menguras kantong lantaran beda nilai mata uang cukup tinggi dengan rupiah.
“Pake uang rupiah..boleh..boleh,”kata Ahmed pedagang buah buahan kepada Suwardi staf Kantor Bersama Samsat Kabupaten Seruyan, yang umroh bersama istrinya.
Rasa ketertarikan penulis akhirnya menuju keseorang pedagang buah bernama Ahmed, Ia kemudian menawarkan pisang yang mirip dengan pisang Ambon asal Indonesia dengan harga Rp 50 ribu/kg.
“Tidak bisa, Rp 50.000 (Lima Puluh Ribu Rupiah) saja”, jawab Ahmed saat penulis menawar harga pisang.
Hal yang cukup menarik ketika penulis bertanya dengan Ahmed mengenai musim buah. Seperti di Indonesia yang dikenal memiliki musim buah, lantaran negara Indonesia dikenal tropis yang memiliki keanekaragamaan hayati yang melimpah. Cukup mengejutkan kata Ahmed di Mekah dan Madinah tidak mengenal adanya musim buah buahan.
“Musim Buah buah buhan di Mekah dan Madinah, tidak pernah berhenti selalu bermusim,” jawab Ahmed.
Hal ini lantaran buah buahan ini diimpor dari sejumlah negara di eropa. Sehingga harganya lumayan mahal, selain harga pisang juga harga anggur saja 1 kg sekitar 25 real Rp 100 ribu.
Laporan Maman Wiharja
Dari Madinah
(Bersambung).