Biarlah Surga Masa Depan Menjadi Milik Kita Bersama, Bukan Milik Sendiri-Sendiri

Anak-anak di Desa Lawang Kaji, Kabupaten Gunung Mas.

LANGKAH kaki terasa gontai, ketika berjam-jam menapaki jalan penuh lumpur, licin dan berbatu berkali kali langkah kaki terhenti pertanda lelah menghampiri. Namun semangat tetap membara tak akan padam sekali pun diterpa hujan dan badai semangat itu yang ditanam saat memulai tekad untuk memberanikan diri datang ke desa-desa terpencil Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, bagian integral dari bangsa Indonesia.

Sebuah Kabupaten yang beberapa waktu lalu digadang-gadang menjadi lokasi Ibu Kota Negara yang baru, salah satu segita emas nya Kalimantan Tengah. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia bahkan pernah menginjak kan kaki nya disana. Sebuah kebanggaan bukan? Orang nomor satu di negeri ini pernah menginjak tanah yang sama dengan kita.

Sesampai di Lawang Kanji sebuah desa di Kecamatan Damang Batu salah satu wilayah yang memiliki sejarah panjang peradaban bagi Suku Bangsa Dayak di seluruh dunia. Kita akan menyaksikan betapa indah suasana desa, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota yang bising dan penuh kepalsuan, didesa kita melihat senyum tulus yang ramah dan bersahaja, orang-orang desa menyambut tamu dengan bahagia tanpa rasa curiga. Maka benarlah bahwa masyarakat Adat Dayak adalah masyarakat yang ramah dan terbuka terhadap kemajuan.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Namun, ada banyak realita hidup yang nyata nya melukai hati dan meluluhlantahkan harapan sehingga muncul sebuah pertanyaan dalam benak kita benarkah mereka bahagia? Hadirkah negara di tengah-tengah seluruh rakyat Indonesia? Jika negara hadir mengapa akses jalan menuju desa-desa bahkan sangat sulit, mengapa tidak ada listrik, mengapa tidak ada sinyal? Mengapa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi saja harus pergi ke Kecamatan atau harus ke kota? Mengapa narkoba meraja lela membunuh harapan dan masa depan kaum muda didesa-desa? Bagaimana mungkin ada keadilan dan kesejahteraan disaat perempuan-perempuan muda harus kehilangan masa depan dan menikah di usia dini?.

“Jauh dari kota bukan alasan desa kami engkau tinggal kan, pendidikan kami kau abaikan anak-anak tanpa masa depan. Jauh dari kota bukan alasan desa kami engkau abaikan, pembangunan desa ditelantarkan hanya janji yang engkau berikan”. Sebuah kutipan lagu dari Band Mineral Seven berjudul desa mungkin bisa mewakili perasaan “galau” yang mendera hati saya melihat dan mendengar kan bagaimana kondisi desa-desa di hulu sungai kahayan yang di narasikan kepada saya oleh masyarakat desa, berbeda dengan apa yang saya dengar dari pemerintah dalam pertemuan diskusi dan seminar-seminar kosong tanpa makna di kota.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Di tataran kota, kita sibuk bicara isu-isu global. Kita bicara soal bonus demografi, kita bicara soal generasi milenial, revolusi industri 4.0 dan lain sebagainya tapi didesa-desa masyarakat bergelut dengan jalan rusak, tertutup nya akses dalam banyak hal bahkan perjuangan untuk mempertahankan tanah luhur mereka agar tidak berubah menjadi wilayah konsensi. Di desa kini mereka juga takut membakar lahan bahkan untuk berladang yang merupakan sebuah langgam hidup masyarakat adat Dayak sejak awal peradaban.

Masyarakat adat Dayak yang berada di garis depan untuk mempertahankan kehidupan dan tanah mereka. Mereka penuh tangis, air mata, dan kepedihan hati. Namun mereka adalah kelompok paling setia yang tetap mencintai dan percaya pada negara, tak banyak mengeluh dan menuntut mereka menjalani hidup dengan integritas dan tanggungjawab pada Sang Pemberi Kehidupan, kini saat nya Negara berlaku adil dan melakukan hal yang sama. Biarlah surga masa depan menjadi milik kita bersama, bukan milik sendiri-sendiri. (NA).