Ini 5 Alasan Penerbitan SIM, STNK dan BPKB Tetap Kewenangan Polri

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan bersama Kapolri Jenderal Idham Azis. Dok: Istimewa

JAKARTA— Kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang kini menjadi tugas kepolisian sebaiknya tidak dialihkan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Hal itu dikatakan Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan, Senin, (10/2/2020). Menurut Hinca ada 5 alasan mengapa sebaiknya kewenangan menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB tersebut tetap kewenangan kepolisian.

Pertama, kata Hinca, memberikan jaminan keabsahan asal-usul dan kepemilikan kendaraan bermotor yang ditangani oleh bidang BPKB yang erkaitan dengan perlindungan atas kepemilikan dan menunjukkan kendaraan yang dimilikinya bukan produk kejahatan.

“Bahkan dapat dijadikan aset penjamin atas kegiatan sosial kemasyarakatan di bidang bisnis maupun perekonomian,” kata Hinca.

Kedua, lanjut Hinca, yakni legitimasi pengoperasionalan, STNK dan Tanda Nomor Kenderaan Bermotor (TNKB) yang berkaitan dengan keselamatan bagi pemilik.

Sebab, menurutnya, mengoperasionalkan kendaraan bermotor di jalan raya dapat menjadi korban maupun pelaku yang menghambat, merusak, bahkan mematikan produktivitas seseorang. “Jadi menjadi kewajiban bagi pemilik kendaraan bermotor untuk membayar pajak dan asuransi sebagai jaminan dan pembangunan jalan,” kata dia.

Ketiga yakni tujuan forensik kepolisian. Data kendaraan bermotor dan pengemudi menjadi dasar dan bagian dari pemolisian khususnya pada fungsi penyidikan untuk mengungkap dan membuat terang suatu tindak pidana.

“Selain itu juga berkaitan dengan fungsi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan sebab kendaraan bermotor dan pengemudinya dapat berkaitan dengan suatu kejahatan atau tindak pidana,” jelasnya.

Keempat, politikus Demokrat mengatakan fungsi kontrol penegakkan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas secara manual, semi elektronik, maupun elektronik.

“Karena sistem data registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi menjadi sangat penting dan mendasar bagi keamanan dan keselamatan ketertiban dan lancarnya lalu lintas,” ujarnya.

Kelima, jelas alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut, tujuan pelayanan yang prima dari kepolisian yang diupayakan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses dengan mencakup pelayanan keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi dan kemanusiaan.

“Kelima tujuan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang bermuara pada urusan kewenangan SIM, STNK, dan BPKP memerlukan pelayanan yang berbasiskan teknologi tinggi dan dilakukan secara on line dengan sistem elektronik “artificial intellegence” maupun “internet of thing” agar mampu memprediksi mengantisipasi dan memberikan solusi dalam manajemen road safety,” urainya.

Hinca pun menyarankan, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor ini sudah seharusnya diselenggarakan dalam bingkai “IT for road safety” yang mencakup pada “back office, aplication, network”.

“Dalam konteks manajemen yang utuh yang meliputi kebutuhan, kapasitas, prioritas, kecepatan, dan emergency, di era revolusi industri yang terus berkembang pesat, maka registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor ini sudah seharusnya diselenggarakan dalam bingkai “IT for road safety” yang mencakup pd “back office, aplication, network” yang mampu menghasilkan info grafis, info statistik, dan info virtual lainnya secara real time, any time, dan on time,” tuturnya.

Berdasarkan catatan tersebut dirinya mengambil kesimpulan, sebaiknya kewenangan menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB tidak dialihkan dari Polri kepada pihak Kemenhub.

“Nah, dengan catatan sebagaimana saya uraikan di atas, rasanya kewenangan fungsi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi tak relevan ditarik kewenangannya dari kepolisian menjadi kewenangan Kemenhub. Apalagi jumlah kecelakaan di jalan raya sangat tinggi, bahkan menjadi mesin pembunuh terbesar diluar penyakit fisik, yang menjadi tanggung jawab kepolisian,” tandasnya.

Untuk itu, Hinca bilang sebaiknya dalam revisi RUU LLAJ difokuskan dalam hal, angkutan kendaraan dengan sistem aplikasi online, kendaraan roda dua sebagai sarana angkutan, dan bagaimana norma hukum dibuat guna mengantisipasi dan mencegah jatuhnya korban kecelakaan lalulintas.

“Menurut saya yang paling utama harus dibahas dalam revisi RUU LLAJ adalah, soal angkutan kendaraan dengan sistem aflikasi online serta kendaraan roda dua sebagai sarana angkutan serta bagaimana norma hukum mengantisipasi dan mencegah jatuhnya korban kecelakaan lalulintas di jalan raya,” pungkas Hinca Panjaitan.

(dis/beritasampit.co.id)