Berkaca Kerusuhan di India, DPR Minta Pembuatan UU Tak Diskriminatif

Bentrokan di New Delhi India. Dok: Istimewa

JAKARTA— Korban tewas akibat bentrokan antara umat Hindu dan Islam di New Delhi, India terus bertambah hingga 42 orang. Lebih dari 300 orang mengalami luka-luka.

Anggota Komisi Pertahanan DPR RI, Toriq Hidayat sangat menyayangkan dan prihatin atas jatuhnya korban akibat bentrok antara kubu pendukung dan penolak Undang-undang Kewarganegaraan di India.

“Saya sungguh prihatin dan mengecam keras atas peristiwa itu,’ kata Toriq, Sabtu, (29/3/2020).

Bentrokan antara kelompok Muslim dan kelompok Hindu ini dipicu protes terhadap UU Kewarganegaraan. Bentrokan mulai pecah pada Minggu malam. Kedua belah pihak saling serang menggunakan batu dan benda lain, serta merusak bangunan dan kendaraan.

Insiden ini menjadi kerusuhan paling parah dalam beberapa dekade terakhir. Ribuan polisi anti huru-hara dan paramiliter berpatroli di sekeliling kota.

Selain korban tewas, kerusakan juga terjadi di penjuru kota. Rumah, toko, masjid, sekolah, toko ban, dan satu pom bensin menjadi sasaran pembakaran.

Menteri Utama Kota Delhi Arvind Kejriwal berjanji akan memberi kompensasi bagi keluarga korban tewas dan mereka yang rumahnya hancur akibat kericuhan.

Pihak kepolisian telah menangkap lebih dari 600 akibat bentrokan tersebut. Pihak berwenang juga akan menggelar pertemuan untuk meningkatkan keharmonisan antar komunitas di kota berpenduduk lebih dari 21 juta orang itu.

UU kontroversial yang mengundang pro kontra itu mengizinkan India untuk memberi status kewarganegaraan terhadap imigran yang menerima persekusi di negara asal seperti Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan.

Beleid itu disahkan oleh pemerintahan Narendra Modi yang beraliran sayap kanan. Partai pengusung, Bhratiya Janata (BJP) dituduh bersikap diskriminatif terhadap umat Muslim.

UU itu hanya berlaku bagi imigran pemeluk agama Hindu, Kristen, dan agama minoritas lainnya selain Islam.

Para kritikus menilai undang-undang ini dimanfaatkan oleh rezim Nahrendra Modi untuk mendorong India yang sekuler menjadi negara Hindu.

Untuk itu, Komisi DPR yang membidangi Pertahanan dan Luar Negeri itu berharap situas pemerintah Indonesia dalam hal ini kementrian luar negeri harus proaktif memantau dan memberi perlindungan kepada warga Indonesia di sana.

Undang-undang Amandemen Kewarganegaraan di India telah menuai protes karena telah mengubah UU Kewarganegaraan tahun 1955 dengan menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan.

Dimana dalam amandemen UU tersebut memberikan kemudahan mendapatkan kewarganegaraan India hanya bagi non Muslim dari negara-negara tetangga mayoritas muslim.

“Hal ini jelas-jelas tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia, dan Hukum seharusnya tidak boleh diskriminatif,” tegas Toriq.

Politikus PKS ini juga mengkritik bahwa UU tersebut merupakan upaya mencegah muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan India.

“Pemerintah India akan memberikan kemudahan mendapatkan kewarganegaraan India kepada non muslim di negara-negara Muslim tetangga tapi mengecualikan warga Rohingya Myanmar yang teraniaya dikarenakan mereka muslim,” ungkap Toriq

Toriq mengatakan pemerintah India diharapkan bersikap bijaksana dalam mengeluarkan sebuah aturan hukum. Karena sebuah peraturan tidaklah boleh melanggar HAM seseorang terutama dalam memeluk agama yang diyakininya.

Selain itu, lanjut Toriq, sebuah produk hukum tidak boleh diskriminatif terhadap golongan atau agama tertentu, produk hukum harus menaungi seluruh golongan masyarakat

“Kejadian di India seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk Indonesia. Agar jangan sampai membuat sebuah produk UU yang nantinya akan membuat perpecahan ditengah-tengah masyarakat dikarenakan diskriminatif terhadap suatu golongan,” pungkas Toriq Hidayat.

(dis/beritasampit.co.id)