MHADN Protes Kriminalisasi Terhadap Peladang

Berita Sampit
IST/BS - Drs Askiman MM, Ketua Umum Depan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (DPP MHADN).

JAKARTA – Dewan Pengurus Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) memberikan protes praktik kriminalisasi peladang suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Sejumlah terdakwa peladang Suku Dayak telah divonis antara 5-18 bulan penjara di sejumlah Pengadilan Negeri di Provinsi Kalteng, pekan lalu.

Direncanakan puluhan ribu warga Dayak dari berbagai organisasi menggelar aksi demonstrasi menuntut bebas murni Enam peladang Dayak pada sidang putusan di Pengadilan Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Senin, 9 Maret 2020.

“Ada pembiaran dari Pemerintah Republik Indonesia terhadap kriminalisasi peladang Dayak. Mereka ditangkap karena buka ladang dengan sistem bakar,” kata Askiman, Ketua DPP MHADN, didampingi Tobias Ranggie, Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat MHADN, Jakarta, Selasa, 3 Maret 2020.

Menurut Askiman, Polisi Republik Indonesia (Polri), Jaksa dan Hakim terlalu melihat aspek hukum positif di dalam menegakkan hukum, tanpa didasari hati nurani. Padahal, sebelum negara ini lahir orang Dayak sudah melakukan buka lahan dengan sistem bakar.

“Kalau buka ladang tanpa bakar, kemudian solusi teknologi seperti apa yang diberikan Pemerintah. Kalau praktik kriminalisasi ini dibiarkan berlarut-larut, sama saja dengan membunuh orang Dayak secara tidak langsung, karena sampai sejarang tidak pernah ditawarkan teknologi murah meriah tanpa bakar diberikan Pemerintah,” kata Askiman, Wakil Bupati Sintang.

Menurut Askiman, berladang bagian dari aspek religi Dayak. Orang Dayak sebagai bagian integral masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, ujar Askiman, membentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi yang bersumber doktrin atau berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber peradaban.

“Berladang dengan sistem bakar adalah bagian dari sistem religi Dayak. Apabila bagian dari sistem religi dimaksud, berupa buka ladang dengan sistem rotasi atau gilir balik yang selalu diliputi aspek religi Dayak, dituding sebagai perbuatan kriminal dari Pemerintah Indonesia, tentu membuat orang Dayak marah,” ujar Askiman.

Sebagai manusia beradat, tambah Tobias, tentu, ada suasana kebatinan orang Dayak terusik di balik praktik kriminalisasi enam peladang Dayak di Pengadilan Negeri Sintang, Provinsi Kalbar.

Menurut Tobias, hak komunal orang Dayak sebagai penduduk asli ada di dalam pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 12230, tanggal 17 Nopember 1999 tentang pelestarian Bahasa Ibu, dan Deklarasi Masyarakat Adat Perserikatan Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.

(NA/ beritasampit.co.id)