Keputusan Pidana Terhadap Peladang, Melukai Kemanusiaan

IST/BS - Handi Wijaya, Ketua Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Kalteng.

PALANGKA RAYA – Keputusan Vonis terhadap beberapa peladang di Kalimantan secara umum dan Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya, menuai banyak kecaman dari berbagai pihak.

Salah satunya Putra daerah Kotawaringin Timur (Kotim), Handi Wijaya yang menyampaikan bahwa peladang merupakan salah satu pekerjaan yang sampai hari ini masih dilakukan sekian banyak masyarakat Indonesia terkhususnya masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.

“Budaya berladang dengan cara membakar sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Dayak, demi menghidupi keturunannya,” ujar Handi ketika ditemui media ini di Sekertariat KMHDI Kalteng, Rabu 4 Maret 2020.

Ketua Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Kalteng ini menegaskan, bahwa pekerjaan sebagai peladang itu bukan suatu yang harus di diskriminasi, apalagi banyak kasus kebakaran hutan yang terjadi di Kalteng dibuat seolah-olah diakibatkan peladang.

“Peladang yang sudah melakukan ini turun temurun seolah-olah dicegal aktivitasnya dan dituduh sebagai biang kerok atas polusi udara asap yang terjadi beberapa waktu ini di Kalteng,” tutur Handi.

Handi menilai bahwa hukuman pun seolah mendiskriminasi masyarakat bawah, mereka seolah menjadi momok yang menyeramkan, padahal bagaimana diketahui ada banyak oknum perusahaan-perusahaan nakal yang terbukti bersalah menyebabkan kebakaran hutan dan lahan namun perlakuan terhadap mereka nampak berbeda dengan perlakuan kepada para peladang.

“Kejadian beberapa hari yang lalu sangat mengiris dan melukai seluruh masyarakat yang berasal dari berladang, diskriminasi jelas terlihat dengan dituntutnya Saprudin atau Sapur, dituntut dengan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp. 3 miliar karena diduga membakar lahan, padahal ia membakar kurang dari satu hektare ini jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 168 memperbolehkan petani membakar lahan dengan luas kurang dari dua hektar, ini sangat melukai kemanusiaan kita,” jelas Handi Wijaya. (Na/beritasampit.co.id).