Perusahan Besar Sawit, Wajib Jaga Kesehatan Buruh Perempuan dan Ibu Hamil

DIALOG PUBLIK: NA/BERITA SAMPIT - Marwati (baju batik) menerima cinderamata dari Kartika Sari (Ketua PROGGRES) usai kegiatan dialog publik.

PALANGKA RAYA  – Persoalan Stunting terus menjadi sorotan Pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3APP-KB) Provinsi Kalimantan Tengah.

Mengingat Kalimantan Tengah adalah Provinsi dengan angka stunting urutan ke 4 di Indonesia.  Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama.

Hal ini terjadi karena asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

Tidak hanya itu, stunting juga diakibatkan karena saat mengandung ibu hamil tidak mendapatkan akses kesehatan dan perawatan yang cukup selama proses kehamilan.

Demikian disampaikan Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Kualitas Keluarga DP3APP-KB, Dra Marwati Sukwatini,  dalam kegiatan Diskusi Publik “Potret Buruh Sawit Perempuan di Tengah Dominasi Perkebunan Besar Sawit” Sabtu, 7 maret 2020.

Kegiatan yang digagas oleh Palangka Raya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS) sebagai lembaga penelitian dan pelatihan terkait dengan Hak Asasi Manusia tersebut mengungkap berbagai fakta mengejutkan terkait kondisi kerja buruh perempuan di perkebunan sawit skala besar yang ada di Kalimantan Tengah.

Dari data yang disampikan ketua PROGRESS Kartika Sari, adanya pelanggaran Ketenagakerjaan dan Hak Asasi Manusia yang dialami oleh Buruh Perempuan dalam Perkebunan Kepala Sawit Skala Besar terutama terkait pemenuhan dan perlindungan atas hak dan kewajiban pekerja di Indonesia.

Seperti undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

“Ketiga peraturan tersebut merupakan penerapan atas 19 konvensi ILO yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia terkait penegakan hukum dan perlindungan hak pekerja,” paparnya.

UU Nomor 13 tahun 2003 menjadi pegangan dasar bagi seluruh buruh/pekerja di Indonesia untuk mendapatkan hak-hak dasarnya yaitu,  hak atas upah layak, waktu kerja, status kerja, cuti, PHK dan pesangon, jaminan kesehatan, dan mogok kerja.

“Dalam perjalanannya, UU ini seringkali diabaikan oleh perusahaan. Bahkan, di banyak tempat kami menemukan pemilik perkebunan kelapa sawit skala besar telah memiliki aturan sendiri yang jauh lebih buruk dari ketentuan dalam UU 13/2003 atau aturan ketenagakerjaan lain yang berlaku di Indonesia,” paparnya.

Merspon hal tersebut Marwati menyampaikan bahwa buruh perempuan yang bekerja di perusahaan sawit sangat rentan dengan berbagai penyakit yang diakibatkan oleh proses kerja yang tidak sehat di perkebunan besar sawit.

“Seharusnya perempuan apalagi ibu hamil, dia harus terpenuhi gizinya, tidak stres tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia di tempat kerja, tadi dikatakan bahwa ibu hamil pun ikut memupuk ikut menyemprot di tempat kerja ini bisa menyebabkan anak yang dikandung tidak sehat bahkan menyebabkan stunting,” ujar Marwati.

Marwati menambahkan bahwa perusahaan bertanggung jawab dalam memperhatikan kesehatan para pekerja terutama perempuan yang rentan dengan berbagai serangan kesehatan.

“Seharusnya perusahaan memperhatikan para pekerja nya apalagi untuk ibu hamil dengan tidak memberi kan pekerjaan yang membahayakan untuk kesehatan janin ibu hamil,” tutup Marwati.

(NA/beritasampit.co.id)