Acuan Teknokratis Dalam Pemekaran Daerah Otonomi Baru

Ilustrasi Pemekaran Wilayah. Dok: Istimewa

JAKARTA— Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu membeberkan tiga pendekatan dalam konteks pemekaran calon pembentukan wilayah menjadi daerah otonomi baru (DOB).

Kata Andi, tiga pendekatan itu yakni pertama melalui mekanisme aspiratif, dimana usulan aspirasi masyarakat diterima oleh pemerintah pusat.

Kedua, ciri pola pendekatan teknokratis untuk melihat urgensi persyaratan mana yang dipenuhi, sehingga daerah itu layak untuk menjadi sebuah daerah otonom.

Ketiga yaitu aspek politik, pengelolaan kekuasaan dan tata pemerintahan, karena hal tersebut menjadi keputusan dalam bentuk peraturan pemerintah bagi wilayah persiapan saat menjadi daerah otonom baru.

Artinya bahwa pemerintahan daerah dengan kewenangan dan kekuasaan membentuk dan menjalankan mesin birokrasinya sesuai dengan aspirasi dan inisiatif masyarakat daerah.

“Jadi, tiga hal ini adalah kondisi yang melingkupi terjadinya sebuah daerah otonom baru,” ujar Andi, Minggu, (7/3/2020).

Saat ini dalam Undang-undang 23 tahun 2014, persyaratan-persyaratan secara teknoktratis itu tertuang di dalam pasal 30-40 terkait dengan penataan daerah.

Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.

Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah otonomi baru.

“Hal-hal itulah mengatur tentang syarat-syarat untuk menjadi acuan secara teknokratis setelah mendapatkan aspirasi masyarakat,” tandas Andi Bataralifu.

Kendati demikian, usulan dari berbagai masyarakat itu akan disampaikan kepada komisi II DPR RI untuk pembahasan lebih lanjut, baik dalam bentuk Undang-undang maupun penerbitan Peraturan Pemerintah (PP).

(dis/beritasampit.co.id)