Panenku, Harapanku

Ilustarasi/Net.

Oleh : Moh. Anis Romzi

Pada bulan antara Juli sampai dengan September biasanya musim panen tiba. Hampir semua warga desa Jaya Makmur dan Makmur Utama semua sibuk panen di sawah. Termasuk orang tua saya pun juga sibuk panen di sawah. Kalau pada sekitar tiga tahun yang lalu panen di desa kami masih menggunakan alat yang sederhana seperti sabit, ketam atau ani-ani. Namun sekarang panen di desa kami sudah menggunakan mesin. Combi para warga sering menyebutnya. Itu sebuah alat mekanisasi pertanian  yang mempercepat proses panen dari waktu-waktu sebelumnya pada saat para orang tua kami masih menggunakan alat sederhana. Waktu-waktu panen menorehkan kisah kesibukan, keceriaan sekaligus kekhawatiran pada kegagalan sering muncul

Karena musim panen, maka wajib bagi kami anak-anak desa membantu orang tua. Setelah pulang  saya bergegas ke sawah karena bapak sudah di sana sebelumnya. Hari itu cuaca mulai panas ketika saya disuruh bapak mengantar makanan untuk operator mesin panen.

“Ndra, bawa makanan ke sawah, ada orang menjalankan mesin panen, di sawah kita”, pinta ibu kepada saya. “ ya mak, tapi sambil nanti aku memancing di sungai ya?” jawabku.

“ Jangan, kamu bantu bapak membawa pulang gabah kita ke rumah. Sekalian kamu membantu jemur, mumpung musim kemarau sekarang.” Sergah ibu melarang saya memancing. Saya berangkat mengantar makanan untuk pekerja panen yang menjalankan mesin panen. Hari itu hari libur sekolah, jadinya tidak ada kegiatan di rumah.

“ Sekalian nanti kalau kamu sampai di sawah, tunggu bapakmu, bantu apa yang bisa dibantu.” Perintah ibu saya, sambil merapikan peralatan masak yang baru selesai digunakan. Saya tidak bisa menolak perintah orang tua saya, apalagi ibu. Ibu sering menasehati ketika waktu malam hari saat istirahat bahwa kita ini hidup dari bertani. Semuanya mesti dikerjakan dengan bersungguh-sungguh supaya nanti ada sisanya untuk makan kita sehari-hari dan keperluan kamu dan adikmu sekolah. Untuk kami warga pedesaan yang berasal dari keluarga biasa saja, biasanya orang tua kami mendapatkan modal usaha untuk menggarap sawah dari para pemilik penggilingan padi. Mereka adalah orang-orang kaya pemilik modal. Para pengusaha penggilingan padi ini meminjamkan apa saja yang diperlukan para petani pada saat musim tanam. Nanti pada saat panen, mereka meminta pengembalian dalam bentuk gabah. Terkadang karena untuk mengembalikan pinjaman, gabah kering hasil panen orang tua kami dihargai murah. Gabah kering untuk mengembalikan pinjaman modal menggarap sawah dibeli dengan harga di bawah harga umum. Menyakitkan memang, tapi bagi keluarga kami yang pas-pasan tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, suka tidak suka harus dilakukan apabila orang tua kami masih ingin menggarap sawah. Tidak jarang beberapa orang warga desa yang lain, sawah ladangnya terjual. Itu karena mengalami beberapa kali gagal panen dan tidak bisa mengembalikan pinjaman modal yang diberikan para pemilik penggilingan padi.

“ Nanti bantu bapakmu sampai selesai. Jangan main atau pulang kalau belum.” Ibu memperingatkan. Dengan agak malas saya berangkat. Saya berangkat dengan tidak membawa serta peralatan pancing yang biasanya selalu nempel dengan saya. “ Taka pa-apa”, pikirku. Besok masih ada waktu untuk mancing.

“ Ya, bu. Tapi kalau sudah selesai saya main sama kawan-kawan, ya?” pintaku memaksa.

Kesibukan orang tua kami meningkat saat musim panen. Hampir semua para petani di desa kami Jaya Makmur dan Makmur saat musim panen tiba hampir tidak ada yang menganggur. Bahkan saya sering melihat mereka para petani rela bekerja sampai gelap untuk menyelesaikan panen.

“ Panen ini kita harus beli terpal lagi, yang lama sudah ada yang rusak. Kayaknya panen ini lebih bagus dari kemarin.” Bapak memulai pembicaraan di teras depan rumah suatu ketika.

“ Kalau beli lagi, berarti kita harus nambah pinjaman lagi sama pak Aat. Apa masih ada sisa yang cukup untuk membelinya? Jika pakai yang lama tapi ditambal yang lobang sedikit itu kan masih bisa to pak?” ibu mulai mendebat. Memang ibu orangnya sangat berhati-hati pada setiap pengeluaran keuangan di keluarga kami. Saya sadar beban berat seorang ibu mengelola keuangan keluarga.

“ Untuk siap-siap saja bu, siapa tahu nanti terpal yang ada kurang. Apalagi tidak ada salahnya kan kalau beli sekarang?, nanti kalau tidak jadi dipakai ya kita simpan saja.” Bapak mencoba berdiplomasi. “ apalagi sekarang musim panen, siapa tahu kehabisan nanti tokonya. Sekarang ini musim angin ribut bu. Kata pak Singki, jarang kapal yang berangkat dari sampit yang membawa dagangan.” Memang daerah kami adalah desa yang terisolir di wilayah paling selatan Kabupaten Katingan. Perjalanan ke desa kami hanya bisa ditempuh dengan peralatan transportasi air. Jika pada bulan Juli sampai dengan Oktober biasanya musim angina timur, orang-orang biasanya menyebutnya. Gelombang laut tinggi dan anginnya kencang. Jadinya barang-barang kebutuhan hidup di desa kami sering langka. Jangankan harga bensin seperti di SPBU, di tempat kami jika pada musim panen bisa naik mencapai 100% dari harga yang diberikan pemerintah.

Keesokan paginya, memang giliran sawah saya yang akan dipanen. Sejak malam hari ibu sudah sibuk menyiapkan masakan untuk menjamu para operator mesin panen. Biasanya satu mesin panen terdiri dari 5 orang karyawan. Satu orang operator, dua orang pembantu untuk mengisikan gabah basah dari mesin ke karung. Satu orang teknisi dan satu orang pencatat hasil panen. Mereka ini bekerja setiap hari mengikuti giliran mesin memanen pada para petani di desa kami.

Sebagai informasi mesin panen yang kami sebut combi ini mulai beroperasi sekitar satu setengah tahun yang lalu. Pada mulanya warga desa Jaya Makmur sempat khawatir akan banyak pengangguran baru yang tercipta setelah mesin ini datang. Namun ketika dirasa menggunakan mesin panen hasilnya lebih baik dan cepat, akhirnya para petani sekarang hampir semua menggunakan jasa mesin ini. Saat ini ada sekitar 7 mesin panen combi yang beroperasi. Mesin ini didatangkan oleh pengusaha yang berasal dari Palangkaraya pada mulanya dua buah. Namun karena banyaknya permintaan dari para petani, ada beberapa warga desa yang memilki modal mengusahakan secara mandiri pengadaan mesin panen ini. Saya mendengar dari para orang tua di desa kami harga mesin ini sekitar 500 jutaan. Mahal sekali bagi kami para petani biasa. Mimpi rasanya orang tua kami bisa memiliki mesin ini.

“Ndra, nanti kalau kamu pulang sekolah langsung ke sawah ya? Kita panen hari ini. Gilirannya siang. Jadi nanti bawa makanan yang disiapkan ibumu untuk para karyawan mesin. Kita harus melayani mereka dengan baik, supaya mereka bekerjanya juga baik.” Pesan bapak sebelum saya berangkat sekolah.

“ Nanti setelah saya ngantar makanan, terus saya boleh main pak?” tanyaku.

“ Nanti kamu lihat mereka bekerja, supaya nanti kalau kamu lulus sekolah bisa mengoperasikan alat panen itu. Kamu bisa belajar pada mereka. Jangan hanya main saja. Sambil melihat nanti kamu juga bantu bapak membawa pulang hasil panen kita. Paling 2 atau 3 jam selesai. Mudah-mudahan lancar mesinnya.” Bapak menerangkan apa yang harus saya lakukan nanti siang setelah pulang sekolah.

“ Assalamualaikum, ya pak. Saya berangkat dulu ke sekolah. Nanti kalau pulang langsung saya ke sawah.” Saya pamit sambil mencium tangan bapak dan ibu saya. Memang ini kebiasaan yang selalu bapak dan ibu guru ajarkan di sekolah. Alhamdulillah saya sudah  terbiasa melakukannya. Kata bapak dan ibu guru” sebagai anak kalau kamu berangkat ke sekolah, pamit, salami dan cium tangan kedua orang tuamu di rumah. Jangan ngeloyor saja.” Pesan ibu guru setiap apel siang sebelum kami pulang sekolah.

“ waalaiku salam,  belajar yang pintar ya! Supaya nanti nasibmu lebih baik.” jawab bapak. “ sana pamit ibumu dulu, siapa tahu dikasih uang saku.” Perintah bapak.

Kegiatan-kegiatan yang  dapat membantu saat panen. Beberapa di antaranya adalah; setelah panen dengan mesin selesai biasanya kami sendiri yang membawa pulang ke rumah dari sawah. Kadang –kadang diangkut dengan sepeda motor, ada juga yang menggunakan gerobak yang ditarik dengan mesin traktor. Warga desa Jaya Makmur biasa menggunakan gerobak ini dengan sebutan gerandong. Bapak saya sudah memiliki traktor dan gerobaknya sekitar dua tahun yang lalu. Banyak sudah para petani yang sudah punya sendiri-sendiri. Jadi tidak aneh bagi kami, kalau anak-anak seusia kami sudah mahir mengoperasikan traktor tangan dan gerobak ini.

Akhirnya waktu pulang sekolah tiba. Seperti yang diperintahkan bapak waktu saya berangkat sekolah tadi pagi, saya berniat langsung ke sawah.

“ Ganti baju dulu, dan makan sebelum ke sawah. Ibu sudah siapkan makanan di dapur.”  Perintah ibu setelah saya sampai di rumah. Tidak lupa sebelumnya saya salam dan cium tangan ibu.

“ Bapak tadi ke sawah pakai motor atau traktor bu?” tanyaku sambil ganti baju dan berjalan menuju dapur.

“ Motor, kamu disuruh bawa traktor karena ada makanan untuk operator mesin yang harus dibawa. Kalau naik motor bapakmu kerepotan. Tadi bapakmu sudah membawa minuman. Kalau sudah selesai makan, kamu tata makanan itu di gerobak ya?” terang ibu sambil memerintah.

“ Ya bu. Bismillah.” Jawabku sambil berdoa untuk makan. Lahap sekali saya makan, karena tadi waktu sekolah banyak bermain di luar. Saya dan kawan-kawan bermain bola voli tadi waktu istirahat. Sekarang terasa benar laparnya. Nikmat makan siang saya hari ini. Saya segera mengerjakan perintah ibu setelah makan dan bergegas menyalakan traktor dan kemudian berangkat ke sawah.

Menjemur padi adalah pekerjaan harian yang harus saya lakukan ketika gabah sudah di bawa ke rumah dari sawah. Hampir setiap hari sebelum padi itu menjadi gabah kering, maka wajib bagi saya untuk membantu orang tua menjemur. Setelah padi menjadi gabah kering, saya dan bapak biasanya memasukkan gabah-gabah kering itu ke dalam sak atau karung. Rata-rata berat gabah kering dalam satu sak sekitar 50. Kg.

“Ndra, kamu tumpuk dan tata gabah-gabah ini di dekat dapur ya?” perintah Bapak.

“ Nggih, pak. Kira-kira apakah muat pak., gudang dekat dapur untuk menyimpan gabah kita?” jawabku sambil bertanya.

“ kalau nanti tidak muat, sisanya ditaruh di ruang tamu saja. Supaya nanti kalau kita hendak menjual mudah untuk mengeluarkannya.” Bapak menjelaskan supaya saya mengerti saya pikir.

Gabah yang telah kering dibawa ke para pemilik penggilingan padi. Biasanya kami membawanya karena mereka sudah memberikan modal untuk penggarapan sawah-sawah kami. Untuk membayar pinjaman maka wajib untuk membayarnya, walaupun terkadang dinilai lebih rendah dari pada harga pasar secara umum. Tidak ada pilihan lain lagi. Itu karena mereka para pemilik penggilingan telah memberikan modal dengan proses yang mudah lagi cepat. Jika panen sukses, maka ada sedikit sisa untuk keluraga kami bertahan sampai panen mendatang. Tetapi sebaliknya, bila panen gagal alamat bagi kami menambah hutang yang bertambah besar pada pemilik penggilingan.

Orang tua saya sudah bersusah payah menjadi petani. Mulai dari menyiapkan lahan membajak dengan traktor.  Menjadi petani sekarang ini banyak tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan. Biaya yang harus disiapkan untuk menanam padi satu musim tanam sekitar 6 jutaan. Biaya itu meliputi biaya penggarapan lahan, pemeliharaan, pupuk dan biaya panen. Sementara terkadang hasil tidak seperti yang diharapkan. Adakalanya gagal penen kerana serangan hama, sawah terkena pasang air laut yang asin, atau penyaluran pupuk yang terlambat. Andai ini terjadi, pertanda orang tua kami akan menumpuk pinjaman uang di tengkulak. Beberapa kegagalan panen menghantar orang tua harus merelakan sawah garapan tempat mata pencaharian dan bertahan hidup, ditarik paksa oleh pemilik modal.

Penghasilan orang tua saya panen ini. Pada musim panen ini bapak saya menanam padi di sawah kami seluas 3 ha. Semuanya berada di luar lokasi pemukiman desa Jaya Makmur, jaraknya gak jauh dari tempat tinggal saya kurang 5 km. sawah-sawah itu adalah sawah bukaan baru jatah dari Pemerintah. Sawah yang lama terpaksa berpindah tangan untuk mengganti pinjaman yang belum terbayar.

 

Tentang Penulis :

Moh. Anis Romzi

Moh. Anis Romzi merupakan salah satu kepala sekolah di SMPN 4 Katingan Kuala Desa Jaya Makmur.