Pentingkah RUU PKS Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia?

Penulis, Jonathan Fide Mulya.

Oleh: Jonathan Fide Mulya

KEMERDEKAAN yang diraih oleh Indonesia tidak terlepas dari campur tangan kaum perempuan, dalam sejarahnya perempuan yang mengambil andil penting tersebut diantaranya RA Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, dan sebagainya.

Oleh karena itu, hak konsititusional yang dimiliki oleh para perempuan diatur dalam Bab X UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28B, 28D, dan 28I yang memuat ketentuan tentang perlindungan terhadap warga negara.

Oleh karena itu, warga negara tidak terbatas oleh gender dengan demikian baik perempuan ataupun laki-laki kedudukannya sama, tidak ada yang lebih rendah atau tinggi dan salah satunya tidak berhak untuk dirugikan.

Namun, jika kita mengacu kepada grafik yang disampaikan oleh KOMNAS Perempuan , maka dapat kita lihat bahwa terdapat peningkatan yang signifikan terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan, sebagai contoh kasus siswi SMP Deli Serdang yang bunuh diri akibat diperkosa pada tahun 2016, dan kasus pelecehan seksual “Agni” yang justru hak korban diabaikan dan menyebakan depresi pada tahun 2019.

Dari grafik data, pada tahun 2018 ke 2019, terdapat peningkatan, yakni sebesar 25.293 kasus yang diterima oleh KOMNAS Perempuan. Oleh karena itu, grafik data yang dihimpun dari sumber Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2020 dapat dijadikan sebagai tolok ukur atas urgensi untuk kaum perempuan yang membutuhkan tameng hukum, yaitu Undang-Undang (UU) Penghapusan Kejahatan Seksual. Data yang didapatkan oleh KOMNAS Perempuan berasal dari kasus-kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Agama (PA), data ini ditinjau dari tiga sumber, yaitu:

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

1.PN/PA sebanyak 421.752 kasus.
2.Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 14.719 kasus;
3.Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) sebanyak 1.419 kasus, dan terdapat diantaranya 142 kasus yang berbasis gender.

Terlepas dari aspek kepercayaan, baik seorang perempuan itu mengenakan busana yang tertutup maupun tidak tertutup, para kaum perempuan kerap mengalami kekerasan seksual. Menurut Pasal 1 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kejahatan Seksual berbunyi, “Kekerasan Seksual (KS) adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Kekerasan seksual kerap terjadi dalam ranah rumah tangga atau ranah publik, kasus yang menempati posisi pertama adalah perkosaan sebanyak 715 kasus, diikuti oleh pelecehan seksual sebanyak 520 kasus, dan persetubuhan sebanyak 176 kasus. Akan tetapi, istilah persetubuhan dan pencabulan masih rancu dan mengacu di dalam pengertian menurut R. Soesilo merujuk pada Pasal 289 KUHP yang menyatakan bahwa perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: ciuman, kegiatan meraba anggota kemaluan atau buah dada, dan sebagainya.

Indonesia dapat mencontoh kepada negara Swedia yang sudah mengeluarkan undang-undang baru yang meratifikasi hukum internasional, di dalamnya terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa perbuatan seksual tanpa persetujuan adalah pemerkosaan.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Hal itu pun didasarkan dengan definisi hukum pemerkosaan sebagai standar hak asasi manusia internasional yang diakui pada pasal 36 ayat (2) Konvensi Dewan Eropa tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi, “Consent must be given voluntarily as the result of the person’s free will assessed in the context of the surrounding circumstances,” sehingga dalam perbuatannya harus ada persetujuan untuk berbuat dari kedua belah pihak sebagai bentuk dari kemerdekaan.

New York pun memiliki regulasi yang serupa, yang menjelaskan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi kepada antar individu, tanpa memandang jenis kelamin atau jenis kelaminnya, atau pekerjaannya. Regulasi yang dibentuknya bertujuan untuk melindungi semua individu, baik karyawan, pekerja magang yang dibayar atau tidak dibayar, dan non-karyawan, termasuk kontraktor independen, dan mereka yang dipekerjakan oleh perusahaan yang mengadakan kontrak untuk menyediakan layanan di tempat kerja, sedangkan seorang pelaku pelecehan seksual dapat menjadi atasan, bawahan, rekan kerja atau siapa pun di tempat kerja termasuk kontraktor independen, pekerja kontrak, vendor, klien, pelanggan atau pengunjung.

Kemudian, dapat disimpulkan bahwa secara subtansi RUU PKS berupaya untuk mencegah terjadi Kekerasan Seksual, menangani, melindungi dan memulihkan Korban, serta menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan Kekerasan Seksual, demi melindungi keberlangsungan kehidupan setiap orang. Jadi, keberadaanya tentu sangat diperlukan untuk diterapkan di Indonesia.

*Penulis adalah Jonathan Fide Mulya Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Padjajdjaran Anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Sumedang*.