Covid-19 dan Sense of Crisis

Oleh: Ricky Zulfauzan

Pandemi Covid-19 tengah melanda dunia. Hingga saat ini tercatat 213 negara merasakan dampak meluasnya pandemi ini. Sampai dengan hari ini, 26 Maret 2020 pukul 06.00 WIB terdapat 2.902.708 Orang terinfeksi di seluruh dunia. Terdapat 202.179 jumlah kematian dan 831.316 Orang dinyatakan telah sembuh.

Serupa itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi hal yang juga tidak kalah parah. Tercatat per hari Minggu 26 Maret 2020 pukul 06.00 WIB sudah ada 8.607 Orang warga yang terdeteksi terinfeksi virus ini dengan jumlah 720 Orang meninggal dunia. Sementara disisi lain, ada peningkatan jumlah yang sembuh yaitu 1.042 Orang dinyatakan telah pulih.

Kalimantan Tengah sendiri sudah terdapat 101 Orang positif terinfeksi, 308 Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang sedang menunggu hasil tes Covid-19 mereka. Selain itu ada terminologi baru, yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG) sebanyak 723 Orang. Dari angka positif tersebut terdapat 10 Orang sembuh dan 5 Orang meninggal dunia.

Data ini menunjukkan tren akan terus meningkat sangat cepat. Bahkan Sugianto Sabran selaku Gubernur Kalimantan Tengah menyatakan memperpanjang kondisi tanggap darurat Covid-19 di Kalimantan Tengah hingga 25 Juni 2020. Ini pun masih berpotensi untuk dievaluasi kembali sesuai dengan tren terbaru.

POLEMIK ANGGARAN

Beberapa hari ini saya tertarik untuk membahas pemberitaan media di Kalimantan Tengah. Mulai dari pernyataan Ketua Dewan Adat Dayak Agustiar Sabran yang menyebut kesimpulan rapat Badan Anggaran (Bangar) DPRD Kalteng sebagai sebuah upaya yang menghambat Pemprov Kalteng dalam dalam menangani pandemi Corona Virus Disease atau Covid-19.

Kemudian diikuti oleh klarifikasi dari Anggota DPRD Kalteng Bryan Iskandar bahwa lembaganya tidak menghambat proses penganggaran dana pencegahan Covid-19 (lihat Tabengan Jum’at 24 April 2020). Pernyataan dari Bryan Iskandar itu masih ditambah lagi dengan kalimat bahwa “Penganggaran itu harus direncanakan dengan matang.”

Polemik ini teryata tidak selesai sampai di situ saja. Muncul lagi pernyataan dari Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kalteng dari Fraksi Partai Demokrat, Heri Santoso bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah “jangan sampai pemerintah daerah wanprestasi kepada pihak ketiga/swasta. Pemangkasan itu harus juga memerhatikan hak para pengusaha yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan daerah. Misal multiyears tahap pertama seharusnya sudah bisa dibayarkan atau diselesaikan dan multiyears tahap kedua yang sudah kontrak dan mengerjakan memperoleh hak uang muka (lihat Tabengan 25 April 2020).”

Melihat paparan di atas, muara persoalan ialah diterbitkannya Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ Nomor 177/KMK.07/2020 Tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional. Terlebih lagi pada pasal enam disebutkan bahwa:

“Penyesuaian target pendapatan daerah dan rasionalisasi belanja daerah dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perubahan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Tahun Anggaran 2020 dengan pemberitahuan kepada Pimpinan DPRD, untuk selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2020 atau ditampung dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) bagi Pemerintah Daerah yang tidak melakukan perubahan APBD Tahun Anggaran 2020.” Di situ jelas bahwa DPRD memperoleh hak “pemberitahuan” dari pemerintah daerah.

SENSE OF CRISIS

Sesungguhnya diterbitkan SKB tersebut adalah perwujudan dari sense of crisis dari pemerintah pusat agar ada kelonggaran dalam pengalokasian anggaran bagi pemerintah daerah selama masa pandemi Covid-19. Ini linier dengan isi buku Disease Control Priorities: Improving Health and Reducing Poverty. 3rd edition tahun 2017 yang diterbitkan Word Bank.

Lebih jauh lagi kita dapat melihat model anatomi krisis dari Steven Fink (2000) yang masih relevan hingga kini. Fink membagi siklus krisis menjadi 1)Tahap prodromal; 2 Tahap acute; 3) Tahap chronic dan 4) Tahap resolution.

Tahap prodormal sering disebut sebagai early warning state, di mana benih­benih krisis sebenarnya sudah mulai tampak. Kesalahan pengambilan keputusan di sini yang akan menjadi kunci bagi pandemi Covid-19 akan bertambah buruk.

Tahap Acute terjadi karena tidak berhasil mendeteksi atau menangani gejala-gejala krisis yang terjadi pada tahap prodromal.

Krisis akut sering disebut sebagai the point of no return, artinya apabila gejala yang muncul pada tahap peringatan (tahap prodromal) tidak terdeteksi sehingga tidak tertangani, maka krisis memasuki tahap akut yang tidak akan bisa kembali lagi.

Tahap Chronic disebut juga sebagai the cleanup phase atau the post mortem. Seringkali tahap ini juga diidentifikasi sebagai tahap recovery atau selfanalysis. Diibaratkan sebuah badai, maka pada tahapan ini badai sudah berlalu dan yang tersisa adalah puing-puing reruntuhan bangunan.

Tahap Resolution merupakan tahap resolusi kembali kondisi pasca krisis. Tahap ini merupakan tahap lanjutan yang mesti dirumuskan setelah strategi pemulihan krisis untuk memastikan atau membuat antisipasi dari kemungkinan munculnya kembali kondisi pra-krisis.

Mengacu pada Fink (2000), maka pandemi Covid-19 di Kalteng ada di tahap acute atau puncak terjadinya krisis. Di masa acute pandemi seperti sekarang bukan lagi waktunya bicara perencanaan, karena perencanaan harusnya sudah tuntas dibicarakan pada tahapan prodormal.

Di masa pandemi bukan waktunya berdialektika, saling berdebat dan berpolemik. Karena ini harusnya sudah selesai pula dibicarakan dalam fase prodormal. Di masa puncak pandemi, nanti dulu bicara pertanggung jawaban. Kita bisa bicara pertanggung jawaban pada fase ketiga yaitu fase chronic yang tidak tahu kapan akan kita jalani.

Di masa puncak krisis seperti ini yang paling utama adalah meminimalisir dampak yang terlihat kasat mata, dan itu mustahil dilakukan dengan proses yang panjang dan birokratis.

Akhir kata, tulisan ini bukan ditujukan untuk membela atau menyalahkan salah satu kubu yang berpolemik.

Melainkan ingin menggugah semangat kebersamaan dalam menghadapi krisis pandemi covid-19 ini. Sebagai penutup mari kita renungkan ungkapan bijak dari Albert Enstein, seorang Fisikawan kelas dunia berikut ini: “Three Rules of Work: Out of clutter find simplicity; From discord find harmony; In the middle of difficulty lies opportunity (Tiga aturan dalam pekerjaan: Keluarlah dari kekacauan/krisis dengan menemukan cara sederhana; dari perselisihan dengan menemukan harmoni, di tengah kesulitan terdapat kesempatan.”

Selamat menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan, semoga kita semua beroleh kemenangan segera. Salam.(*)

(Penulis adalah tenaga pendidik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPR)