Lik Karso (Kopi dan Sakaratul Maut)

TEPAT sore itu yang barengan persiapan acara Rejeb-an (isra’ mi’raj) di masjid-masjid, lelaki lebih dari paruh baya itu datang ke warung kopi cak Gombles seperti halnya hari-hari biasanya yang ia lakukan. meski gerimis atau bahkan hujan pun, ia istiqomah mengunjungi warung kopi itu hanya untuk sekedar ngopi dan ngobrol seperlunya dan bahkan diskusi alakadarnya. Orang sini biasa memanggilnya Lik Karso, ya…Lik Karso, lelaki yang akrab dengan baju batik usang, peci berbentuk songkok yang berwarna karat besi sedikit lusuh. Warga desa Duplak sangat mengenal sekali sosok Lik Karso, lantaran ia merupakan pemilik pekarangan yang ditumbuhi tembakau langka, terkenal dan merupakan satu-satunya di desa kami.

Pastinya semua orang sini kenal betul siapa Lik Karso. Ia adalah lelaki paruh baya yang bertingkah sedikit tidak seperti masyarakat umumnya. Bila kau tanyakan tepatnya berapa tahun umurnya, maka masyarakat di desa ini pasti menggelengkan kepala. Paling-paling sambil tolah-toleh dan menunjuk ke arah sudut desa yang terpampang sebuah warung kopi kecil kuno milik cak Gombles. Banyak orang desa sini percaya kalau Lik Karso sepantaran dengan berdirinya warung kopi itu. Warung kopi tertua di desa kami yang masih bertahan sampai sekarang. Setidaknya Tuhan menganugerahkan warung itu sebagai ikon desa kami.

Sampai kini Lik Karso tetap seger waras, sehat wal afiat. Masih rutin sambang ke warung kopi cak Gombles, dengan lintingan tembakau berbau khas yang dipetik dari pekarangannya sendiri. Beliau juga sering menjadi tetua yang dimintai pendapatnya oleh para pemuda desa dan bahkan kalangan anak kuliah-an dari luar kota. Bagi cak Gombles, Lik Karso merupakan berkah dan kegembiraan yang tak ternilai di warungnya. Kehadirannya senantiasa dinanti, khususnya para pemuda desa yang tak jarang singgah dan kerap menanyakan “Lik Karso sudah kesini belum?”. Setiap datang ke warung, satu hal yang tak pernah ia lupa adalah memberi salam disusul kalimat lirih : “dan semoga malaikat senantiasa memohon ampunan untuk para peminum kopi di sini”. Aku saja tak faham betul, itu ungkapan doa, sabda Nabi, atau hanyalah karang-karangan Lik Karso sendiri. Namun, bila sudah seperti ini, kami pun biasanya akan senang sekali menemani Lik Karso cangkruk di pojok belakang warung hingga waktu surup menjelang maghrib.

Lik Karso biasanya akan menceritai kami macam-macam. Dari cangkruk bareng beliau inilah kami tahu kisah para wali “penjaga” pulau juga tempat-tempat aneh sebagai maqom munajatnya. Bahkan kisah selir seorang penjajah sruntul yang senang sekali mengobral pantatnya di sungai dekat desa kami ketika mandi pagi dan sore hari. Bahkan dari Lik Karso pula kami mengenal nama-nama jin juga demit yang menunggui penjuru serta gang-gang yang menurut beliau mbaurekso desa kami. Jujur saja, kami pun sering dibuat terheran-heran oleh Lik Karso. Kendati masa kanak-kanak dan remajanya tak pernah sekolah formal dan tak se-milenial orang sekarang, ia memiliki pengetahuan dan ingatan yang cukup akurat dan kuat. Ia bahkan masih merespon dan menelaah kekisruhan politik dan situasi negeri hari ini. Ia tahu konspirasi klenik apa yang sedang diwabahkan pada negeri ini. Ia juga tak ketinggalan ikut-ikutan memberikan petuahnya kepada pak lurah seberang yang sedang kebingunan menghadapi serangat santet masal yang terjadi pada penduduk desanya.

Selain itu, Lik Karso adalah penikmat kopi yang sejak usia kanak-kanak sudah terbiasa nyangkruk di warung kopi ini di teras belakang. Makanya meski di desanya bahkan kota ini sudah mewabah warung kopi modern, Lik Karso mengatakan kopi udeg di warung ini tak kalah baiknya. Selain rasanya yang khas, penyajiannya juga unik, tumbukan biji kopinya dibiarkan kasar, dengan saringan mini untuk menyaring dedak kopi sebelum diminum.

Kadang kami tak percaya, Lik Karso sosok lelaki paruh baya yang kami temui hampir tiap sore itu ternyata seumuran dengan warung kopi yang kami kunjungi. Banyak penduduk desa ini percaya bahwa ada rahasia dan isyarat keilmuan Lik Karso dalam secangkir kopi yang kerap dipesan oleh beliau. Ia sudah terbiasa ngopi di warung ini sejak sebelum cak Gombles lahir. Bahkan kopi yang dipesan oleh Lik Karso selalu memakai cangkir yang sudah sejak dulu dipesan pertama kalinya oleh beliau puluhan tahun silam, yang sampai sekarang dipakai untuk seduhan kopi yang diminumnya serasa khusus dan sakral. Mungkin umur Lik Karso tidak lebih tua dari cangkir kopi yang selalu dihadapkan di meja saat ia nyangkruk. Bahkan kami dan para pemuda desa selalu saling bertanya-tanya dan sedikit rasan-rasan tentang keistimewaan secangkir kopi yang diseruput Lik Karso. Hingga pada sore itu kami mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung kepada Lik Karso atas kegelisahan dan rasa penasaran yang berkecamuk dalam benak kami, meski dengan rasa sedikit pesimis.

Seperti dugaan kami sebelumnya, kali ini Lik Karso hanya menjawab tanya kami dengan senyuman kecil yang syarat akan makna. Namun belum selesai kami melongo menangkap senyum beliau, Lik Karso dengan lirih dan mengisyaratkan tangannya untuk menyuruh kami agak sedikit maju dan mengerumun secangkir kopi di hadapan kami yang sedang melinngkar. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, secara tak sadar kami pun menggeser pantat dan mendekat. Kami masih terheran karena tidak melihat apapun di dalam cangkir itu selain genangan kopi yang sudah kehilangan keluk panasnya. Nampaknya Lik Karso tahu betul kalau kami dalam kondisi kerisauan yang gamblang, beliau selanjutnya menutup sejenak cangkir itu dengan telapak tangan kanannya sambil komat-kamit tanpa suara. Kami semakin penasaran dan berhasrat ingin segera melihat apa yang akan diperlihatkan Lik Karso dari genangan kopi itu. Beberapa saat kemudian, Lik Karso merenggangkan sedikit-demi sedikit telapak tangannya dari bibir cangkir usang itu, sambil menitikkan air mata.

Sontak kami pun dibuat terperangah atas apa yang nampak di permukaan genangan kopi itu, kami melihat bayangan sekujur tubuh Lik Karso yang sedang mengeliat tak karuan dengan sesekali kejang-kejang. Kami pun dibuatnya semakin tercekam tatkala kami mendengar jeritan-jeritan dan tangis bersahutan dari cangkir itu. Belum lagi arak-arakan bayangan manusia yang berderet sebagaimana semut, yang mengerubungi sosok gambaran Lik Karso dalam penglihatan kami di genangan kopi itu.

Belum selesai kami mengumbar gejolak atas yang kami saksikan, Lik Karso yang sedari tadi diam memperhatikan kami berkerumun, tiba-tiba bergeser ke pojok warung dan kembali memesan kopi untuk kali kedua. Seakan hendak menjelaskan perihal apa yang sudah tergambar dalam cangkir kopi tadi, sembari methingkrangkan kakinya, beliau bercerita kepada kami tentang peringatan kematian pada manusia itu digambarkan dalam banyak bentuk dan media. “Manusia pada dasarnya diberikan pemahaman masing-masing untuk mentakdzimi isyarat kematiannya dalam ruang kesehariannya, asalkan manusia itu mau mengikis rasa ego-nya” dhawuh Lik Karso yang kami dengar penuh hikmat begitu juga cak Gombles yang tanpa sadar adukan kopinya mulai nyiprat kemana-mana saking tertegunnya mendengar cerita Lik Karso. Entah ini sebuah halusinasi ataukah betul kelebihan cangkir yang dianggap istimewa oleh pemiliknya itu.

Ah, rasanya hampir tak percaya dengan apa yang kami saksikan tentang secarik kisah sakaratul maut dalam genangan secangkir kopi itu, yang diperlihatkan secara gamblang oleh Lik Karso kala itu. Namun kendati kami tak percaya, Lik Karso justru semakin tanpa batas ngoceh kesana-kemari bahkan sampai menembus batas-batas absurditas kehidupan. Dalam ketidak percayaan kami, terlintas rasa curiga, jangan-jangan malah sebaliknya, kalu Lik Karso-lah yang justru memiliki kesaktian namun tidak disadari olehnya bahkan oleh penduduk desa ini. Kesaktian mata Lik Karso yang bisa melihat dimensi lain dari sebuah cangkir yang digenangi racikan kopi, gula dan air mendidih.

Karena menurut pengakuan seorang pemuda yang berasal dari kota seberang, yang dua hari lalu sempat mampir dan ngopi disini, ia bercerita kapada cak Gombles bahwa rasa-rasanyabentah kapan itu dia pernah duduk di sebuah warung kopi di kotanya dan ngobrol bersamabsosok lelaki paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Karso. Beliau berasal dari desa Duplak, tepatnya bersebelahan dengan langgar satu-satunya di desa itu. Lantas hal itulah yang memebuat pemuda itu berhasrat ingin mengunjungi desa ini dan mencari Karso.

Jelas apa yang diceritakan pemuda seberang itu begitu janggal bagi kami, bagaimana mungkin Lik Karso sampai pergi sejauh itu, padahal setiap hari beliau selalu nyapu halaman langgar, menyiram kebun tembakau dan cangkruk ngopi di warung Cak Gombles yang tak pernah absen. Namun di lain sisi justru kejanggalan cerita pemuda seberang itu makin membuat kami yakin kalau-kalau kesaktian yang melekat pada diri Lik Karso betul adanya.

Belum bermuaranya keyakinan kami atas kesaktian Lik Karso, tiba-tiba saja beliau yang sedari tadi tuma’ninah dengan secangkir kopinya di pojok warung mulai beranjak dari bangku pring tempat ia duduk, “Assalamu’alaikum, saya pamit yo” celetuk khas Lik Karso sembari menyelipkan lipatan uang sepuluh ribu di bawah Lepek cangkir kopinya. Kamipun masih meneruskan rasan-rasan tentang kelebihan beliau. “Hust, sudah-sudah !” gertak Cak Gombles seraya melempar gombal kotor yang biasa dipakai ngelap meja warungnya. Meski rasa penasaran kami belumlah terjawab, kami membuyarkan diri untuk segera bergegas pulang bersiap-siap ke langgar menegakkan sholat maghrib bareng Lik Karso.

Jamaah sholat maghrib kali ini terasa ada yang kurang, aneh tak seperti biasanya. Kami semua tak mendapati Lik Karso di Shaf paling pojok belakang dimana biasanya beliau mengikuti sholat berjamaah. “Ah, mungkin beliau telat atau masih belum selesai beres-beres rumahnya” gumam batinku.

Seusai salam, aku masih celingukan melempar pandang ke penjuru langgar dengan harapan menemukan Lik Karso duduk wirid seperti biasanya yang terbiasa tak kan beranjak pergi sebelum selesai sholat isya’. Namun tetaplah tak kudapati sosok beliau di dalam langgar, bahkan saya coba cari di teras sekeliling langgarpun beliau tak menampakkan diri. “Coba dilihat dulu di teras belakang rumahnya, siapa tahu Karso ada di sana” ungkap Mbok Mar. Orang yang biasa ngantar sedekah nasi jagung ke rumah Lik Karso.

Selepas jamaah sholat isya’, dengan ditemani pemuda desa yang juga terheran dengan ketidakhadiran Lik Karso di langgar malam ini, segera saja menuju teras belakang rumah beliau. Sesampai di belakang rumah Lik Karso, kami tak juga mendapati beliau seperti petunjuk yang diberikan Mbok Mar. Sebelum memutuskan untuk balik, terdengar suara dehem lirih, ya semacam batuk dari dalam rongga kerongkongan yang tanpa membuka diafragma. Tepatnya di sela-sela kebun tembakau di pekarangan belakang rumah itu. Segera kami berlari menghampiri sumber suara itu, dan alangkah lebih kagetnya kami yang melihat Lik Karso sedang duduk tawaruk dengan lantunan wirid lirih. Dengan pelan-pelan kami semua berusaha mendekat di belakang beliau, sabar tanpa suara menunggu Lik Karso khatam dari wirid serta munajat yang dibacanya.

Selepas itu, beliau membalikkan badannya, menyilangkan kedua kakinya sampai hampir sempurna bersila dan tak lupa memberi Salam kepada kami, seraya disusul dengan nada tanya :“apakah belum tuntas hasrat penasaran yang bersarang di ubun-ubun kalian, sehingga mengharuskan sekali kalian sampai datang kemari” sapa Lik Karso.

Kami yang datangpun saling pandang penuh teka-teki yang membungkam mulut kami tak bernyali mengumbar kata, seketika sekujur tubuhku gemeteran, menitikkan peluh beku dari pori-pori leher hingga lengan, bahkan degub dadaku tak selembut biasanya. Kekalutan kami semakin menjadi tatkala Lik Karso yang sedari tadi bersila di hadapan kami tiba-tiba tubuhnya menguning keemasan bahkan perlahan menyilaukan mata kami yang telanjang. Kami hampir tak bisa melihat sempurna postur tubuh beliau. Cak Mat, yang di antara kami paling pemberani, memecah suasana : “Maafkan kami Lik, rasanya kami masih belum begitu mengerti apa tafsir tentang apa yang sudah kami lihat sore itu di warung Cak Gombles”. Dengan entengnya Lik Karso berkata : “itu gambaran biasa saja, mas. Jangan dikira segala sesuatu itu memerlukan penafsiran secara khusus, sebab tak ada hal tafsir-an yang betul-betul mutlak kebenarannya. Begitu juga soal pertanda suatu kematian yang kalian lihat di cangkir kopi itu”. Yang dikatakan Lik Karso tentulah semakin membuat kami kehilangan kendali nalar. Bagaimana tidak, dalam kedangkalan alam fikir kami, beliau mengajak batin kami mengembara ke suatu peristiwa yang bahkan belum pernah kami alami sebelumnya.

Sembari menyuguhkan air putih dan menyulut lintingan tembakau, Lik Karso berbisik sangat lirih yang hampir tak terdengung di telinga kami. “Kalian tidak perlu mencari pencerahan dan pembuktian ilmiah atas apa yang kalian alami, berjalanlah sesuai jalur yang disediakan”. Setelahnya Lik Karso pamit masuk ke rumahnya.

Setelah Lik Karso beranjak dan memasuki pintu rumahnya yang terbuat dari gedheg, kamipun bergegas meninggalkan lesehan tanah yang sudah mulai didatangi semut juga nyamuk. Teman-temanku yang tadi bersama pulang ke rumah mereka masing-masing. Sementara aku mengayuhkan langkah pelan-pelan sambil menghabiskan sisa rokokku menuju warung Cak Gombles.

Dalam temaram malam yang semakin membeku, aku memesan secangkir kopi jahe. Aku masih saja terngiang kata-kata Lik Karso sebelum kami meninggalkan rumah beliau tadi. Sembari nyeruput kopi yang sudah disuguhkan di meja depanku. Sejenak aku terpana dalam genangan kopi jahe bikinan cak Gombles, kupandangi dengan penuh ketakjuban dan ketawadhu’an, ku selami dengan jiwa sembari berdoa, dan aku tersentak melihat Lik Karso tengah menuntun ruhku melewati sakaratul maut dalam kubangan kopi jahe di cangkir itu.

Cak ipan Tagem (Irfan AS), Lahir di Gresik, 1984, Aktif berproses Seni Teater dan Sastra di Kelompok Limbah Sastra juga Sanggar Tjangkir Boedaja, Formatur komite sastra Dewan Kesenian Daerah Kotawaringin.