PERSPEKTIF HUKUM : Dampak Covid-19 terhadap Debitur pada Perusahaan Pembiayaan/Finance

Oleh : Suriyadi, SHI., M.H. (Dosen STIH Kuala Kapuas)

SETELAH Pemerintah menetapkan covid 19 sebagai bencana nasional yang di tuangkan dalam Kepres No 21 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam. Semua perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan harus memutar otak untuk membuat regulasi baru agar bisa menarik debitur yang belum melakukan pembayaran akibat dampak Covid-19. Hampir semua usaha terhenti bahkan banyak perusahaan yang melakukan perampingan karyawan alias di PHK dan di rumahkan. Sejak di keluarkannya PP No. 21 tahun 2020 tentang PSBB, ruang gerak masyarakat di batasi bagi wilayah yang masuk zona merah, semangkin sulitnya ruang gerak masyarakat untuk melakukan aktifitas usaha menambah cacatan ketepurukan ekonomi masyarakat. Banyak debitur yang tidak sanggup melanjutkan kredit motor sampai kepada pengembalian unit kepada pihak perusahaan pembiayaan/finance.

Melihat situasi setiap hari semangkin bertambahnya korban Covid-19 kelihatannya wabah ini akan berlansung lama karena sulit di prediksi kapan berakhirnya. Sehingga menyebabkan bertambah melemahnya perekonomian dimasyarakat. Seiring berjalannya waktu tentu tidak selamanya masyarakat menegah mampu bertahan dalam kondisi seperti ini, terlebih yang memiliki hutang piutang di satu sisi di tuntut harus membayar, di sisi lain usaha macet akibat Covid-19 sehingga muncul pertayaan apakah angsuran bisa di tunda.? Bagaimana perlindungan hukum bagi debitur yang tidak mampu membayar pada perusahaan pembiayaan.? Untuk menjawab dua pertayaan tersebut sebenarnya dalam hukum perdata ada aturan yang mengatur mengenai keadaan atau bencana yang timbul tak terduga yang di sebut force majeur, keadaan memaksa. Menurut Subekti, force majeur adalah suatu alasan untuk di bebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi, Menurut Abdul Kadir Muhammad adalah keadaan tidak dapat dipenuhi prestasi oleh debitur karena terjadi pristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Dalam KUH Perdata ada beberapa pasal yang menjelaskan force majeur yaitu:
a. Pasal 1244 Yang berbunyi “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya”
b. Pasal 1245 Yang berbunyi “Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”
c. Pasal 1545 Yang berbunyi “Jika barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap gugur dan pihak yang telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang telah ia berikan dalam tukar-menukar”
d. Pasal 1553 Yang berbunyi “Jika barang yang disewakan musnah sama sekali dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum, jika barang yang bersangkutan hanya sebagian musnah, maka penyewa dapat memilih menurut keadaan akan meminta pengurangan harga atau akan meminta pembatalan persetujuan sewa tetapi dalam kedua hal itu ia tidak berhak atas ganti rugi”
e. Pasal 1444 Yang berbunyi “Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya”
f. Pasal 1445 Yang berbunyi “Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur”
g. Pasal 1460 Yang berbunyi “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya”

Selain pasal diatas bisa di lihat kembali isi perjanjian antara kedua belah pihak apakah ada menjelaskan keadaan tertentu yang di maksud dengan force majeur, keadaan memaksa, jika ada ketentuan di dalam perjanjian sebelumnya maka lebih mempermudah status hukum bagi debitur. Kalaupun tidak diatur di dalam perjanjian awal maka aturan dalam KUHPerdata menjadi dasar kepastian hukum bagi pembuat perjanjian akibat dampak Covid-19.

Beberapa pasal diatas memberikan penjelasan tentang force majeur. Apakah Covid-19 bisa dikategorikan keadaan yang memaksa atau keadaan yang di luar kemampuan manusia sebagaimana di maksud dalam pasal Pasal 1245. Yang berbunyi “Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”.

Sejak Pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional dalam Kepres No 21 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam maka selaras dengan bunyi pasal 1245 diatas. Hanya saja yang perlu di garis bawahi adalah keriteria keadaan yang bisa di sebut force majeur. Yaitu sebagai berikut:
a. Adanya halangan untuk memenuhi kewajibannya
b. Terjadinya halangan tersebut bukan karena sengaja atau kesalahan debitur.

Menurut Subekti syarat masuk keriteria disebut force majeur yaitu:
a. Kondisi ataupun keadaan itu di luar kemampuan dan kuasa si berutang dan memaksa,
b. Kondisi ataupun keadaan tersebut tidak diketahui pada saat melakukan perjanjian.

Ketika debitur tidak melakukan pembayaran dengan alasan Covid-19 maka perlu dibuktikan dengan data – data yang menjelaskan bahwa dirinya benar-benar terdampak Covid-19 setidaknya masuk dalam kriteria yang disebutkan diatas.

Sebagai mana unsur – unsur yang di jelaskan dalam pasal 1244 KUH Perdata yaitu:
a. Ada peristiwa yang riil yang dapat dibuktikan menghhalangi debitur/konsumen berprestasi yang mana halangan tersebut membenarkan debitur untuk tidak dapat berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana yang diperjanjikan
b. Debitur harus mampu membuktikan bahwa dirinya tidak ada unsur bersalah atas pristiwa yang menghalangi ia berprestasi
c. Debitur harus bisa membuktikan bahwa halangan tersebut sebelumnya tidak dapat di duga pada saatpembuatan perjanjian.

Bagi debitur yang memiliki tunggakan bisa melakukan penundaan pembayaran atau pengecilan angsuran. Dengan catatan wilayahnya benar – benar terdampak Covid-19 dan semua usaha debitur terhenti dengan di buktikan data – data yang falid sebagaimana yang di jelaskan dalam pasal 1244 KUH Perdata diatas.

Terkait teknisnya diserahkan kepada pihak debitur dengan perusahaan tempat debitur melaksanakan perjanjian, biasanya ada beberapa perusahaan yang memberikan keringanan terhadap debitur dengan program Restrukturisasi yaitu memberikan penawaran kembali kepada konsumen yang benar-benar terdampak Covid-19 dengan perjanjian baru.(*)