MENINJAU URGENSI KEBIJAKAN KEMENKUMHAM TERKAIT PEMBEBASAN NARAPIDANA DI TENGAH KONDISI PANDEMI COVID-19

Oleh: Amelia Rachman, S.H., M.H. (Dosen STIH Kuala Kapuas)

SALAH SATU isu nasional yang cukup ramai diperbincangkan dewasa ini adalah tentang pembebasan narapidana di tengah kondisi Indonesia yang sedang mengalami pandemi Coronavirus Disesase (COVID-19).

Dengan adanya pembebasan narapidana tersebut maka pro dan kontra pun bertuaian di berbagai kalangan masyarakat pasca Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H Laoly mengumumkan kebijakan tersebut. Yasonna menyatakan kebijakan tersebut diambil dengan tujuan untuk mencegah para napi terinfeksi virus corona di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara yang over kapasitas, karena di dalam lembaga pemasyarakatan untuk melakukan pembatasan sosial/jaga jarak satu dengan yang lainnya atau yang dikenal dengan sebutan Social Distancing mustahil untuk diterapkan.

Pemerintah menerapkan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi mulai tanggal 31 Maret yang lalu. Asimilasi adalah pembinaan narapidana dewasa dan anak dengan membiarkan mereka hidup berbaur di lingkungan masyarakat, sedangkan integrasi adalah pembebasan narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bebas bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang pembebasan. Kebijakan pembebasan ini mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Namun ini hanya berlaku bagi narapidana yang tergolong wanita, anak kecil dan lansia saja mengikuti program asimilasi dan mempunyai hak integrasi.

Berdasarkan kebijakan pembebasan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa tidak semua narapidana yang dibebaskan tetapi berlaku hanya untuk tindak pidana umum yaitu tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain tindak pidana umum, dalam hukum pidana dikenal juga tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun sesuai aturan, terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, narkotika dan terorisme (yang menyangkut keamanan negara, kejahatan HAM dan kejahatan transnasional) tidak termasuk dalam kategori tindak pidana yang dibebaskan dalam kebijakan tersebut dikarenakan 3 (tiga) jenis tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana extra ordinary crime/kejahatan luar biasa yang ancaman hukumannya berat.

Berbagai opini dan asumsi kemudian ramai mengisi media sosial mulai dari penolakan pembebasan atas dasar kriteria tertentu hingga ketakutan masyarakat akan tindak pidana baru yang berpotensi akan dilakukan kembali atau terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis) oleh narapidana pasca dibebaskan tersebut. Opini dan asumsi tersebut, didasari atas kondisi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini, dimana sebagian tenaga kerja yang bekerja di suatu perusahaan banyak yang telah dirumahkan sehingga berdampak kepada perekonomian masyarakat yang bersangkutan kemudian lagi dengan adanya pembebasan narapidana yang berpotensi akan menimbulkan keresahan bagi masyarakat karena dianggap akan terjadi peningkatan angka kejahatan yang akan mengganggu stabilitas keamanan bermasyarakat. Memang opini dan asumsi masyarakat tersebut ada benarnya, namun perlu dipahami bahwa itulah resiko dari sebuah kebijakan.

Masyarakat juga perlu mengetahui bahwa ada potensi resiko yang jauh lebih besar apabila kebijakan pembebasan narapidana Covid-19 tidak dilakukan. Kebijakan pembebasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut semata-mata bertujuan untuk kepentingan narapidana dan sebagai bentuk Hak Asasi Manusia bagi narapidana yang telah memasuki usia lanjut yang rentan akan terkena wabah Virus Corona, selain itu juga dikhawatirkan bagi narapidana anak dan juga wanita, namun seperti yang telah disebutkan diatas, ditegaskan kembali bahwa dalam aturannya kebijakan pembebasan narapidana tidak berlaku bagi narapidana yang telah melakukan tindak pidana kategori extra ordinary crime/kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkotika dan terorisme. Tidak berlaku hanya dalam aturannya saja namun juga tidak akan berlaku dan terjadi pembebasan bagi narapidana dalam praktik/implementasinya. Dengan kata lain, kebijakan pembebasan narapidana tersebut, hanya berlaku bagi tindak pidana umum saja dan tidak berlaku bagi tindak pidana khusus yang ancaman hukumannya berat.

Dengan adanya kebijakan pembebasan narapidana sekitar 30.000 tersebut adalah sebagai langkah cepat dari Pemerintah sebagai upaya penyelamatan bagi narapidana/warga binaan dari kondisi pandemic Covid-19 saat ini. Untuk itu harapan kita bersama, kebijakan tersebut dapat memberikan solusi terbaik dalam upaya meminimalisir penyebaran wabah virus corona dalam Lembaga Pemasyarakatan yang kondisinya kelebihan kapasitas (overload) yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya social distancing atau jaga jarak satu dengan yang lainnya. (*)