Kasus Kekerasan Seksual Terus Meningkat, Urgensi RUU PKS Segera Disahkan

IST/BERITA SAMPIT - Ilustrasi stop kekerasan terhadap perempuan.

PALANGKA RAYA – Kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti fenomena gunung es karena terbatasnya ruang korban pelecehan seksual untuk melaporkan kasus yang menimpanya. Namun secara umum laporan pengaduan tentang kekerasan terhadap perempuan yang tercatat semakin meningkat. Hal ini disampaikan oleh Evi Nurleni, Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak, Rabu 22 Juli 2020.

“Kenapa saya bilang yang tercatat, karena saya yakin banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik fisik, psikis dan seksual yang tidak terlaporkan oleh korban dan pendamping. Ini terkait dengan akses perempuan terhadap layanan pengaduan dan penanganan yang terbatas dan pengetahuan masyarakat terhadap apa yang dialaminya belum dipahami. Bahkan korban sendiri menganggap sebagai sesuatu yang lumrah, sehingga tidak perlu melapor, walaupun kondisinya sangat menyedihkan,” ungkap Evi Nurleni.

Ia kembali menyampaikan bahwa dalam laporan Catahu Komnas Perempuan tahun 2019, kasus kekerasan seksual merupakan kasus kedua terbesar (atau sebanyak 25 persen) dan yang pertama adalah kasus kekerasan fisik (43 persen). Kasus kekerasan seksual meliputi perkosaan, percabulan dan pelecehan seksual, ini 3 yang teratas.

“Untuk kasus Kalteng atau Palangka Raya sendiri saya belum mengkaji lagi untuk tahun 2019 ini. Mungkin data ini bisa didapatkan pada Unit PPA Polda Kalteng atau P2TP2A Provinsi Kalteng. Tapi secara umum saya katakan bahwa kasus kekerasan seksual meningkat setiap tahunnya. Oleh sebab itu kita perlu terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk mengenali apa saja kekerasan seksual itu,” ujar Evi Akademisi UPR ini.

Menanggapi Isu yang sedang merebak di publik bahwa pelaku pelecehan seksual merupakan oknum Dosen di Universitas Palangka Raya (UPR) diduga terlihat berada di kampus UPR beberapa waktu lalu, Evi menyampaikan dirinya tidak terlalu terkejut, karena jamak dilihat, dalam perkara peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya.

BACA JUGA:   THM Diminta Patuhi Jam Operasional Ramadan demi Menjaga Ketenangan Masyarakat

Pelaku sering kali mendapat keringanan dan divonis lebih ringan dari tuntutannya. Bahkan ada banyak yang mengalami pengurangan masa tahanan dengan remisi ataupun asimilasi Covid-19 misalnya sekarang. Dan tentu, kata dia, ini sangat mengecewakan, tetapi ini fakta persidangan yang harus kita terima sebagai pil pahit yang harus ditelan.

“Terkait dengan Oknum Dosen yang terlihat berada di kampus terakhir ini, kemungkinan saja oknum tersebut mendapatkan seperti yang saya sebutkan. Hanya sayangnya, kita tidak mendapatkan cukup informasi tentang ini. Dan saya juga tidak mau terjebak dalam spekulasi, karena saya juga kurang mendapat informasi tentang ini dan untuk tujuan apa oknum tersebut terlihat di kampus. Tetapi saya memaklumi bahwa, ada beberapa pihak yang merasa resah,” ungkapnya.

Hal ini tentu berkaitan dengan menjaga psikologis para korban yang mungkin saja masih dalam masa pemulihan traumatik. Karena secara teori, kata dia, korban yang mengalami kekerasan seksual baru akan membaik perasaannya baru setelah 3 tahun (walaupun tidak sembuh benar). Dan saya rasa ini belum sampai 3 tahun paska putusan pengadilan.

Terkait dengan upaya Pihak Pimpinan UPR yang sedari awal kasus ini bergulir telah mengeluarkan sikap dan tindakan tegas dengan memecat pelaku yang hanya divonis 1,6 tahun penjara oleh pengadilan Palangka Raya, Evi Nurleni menyampaikan apresiasi tinggi kepada pihak Universitas Palangka Raya, ia menilai bahwa tindakan tersebut sebagai sebuah bukti bahwa UPR bukan institusi yang berkompromi dengan pelaku pelecehan seksual.

“Saya apresiasi tinggi untuk keberanian dari pihak Rektorat dalam hal ini Pak Rektor Andrie Elia Embang. Karena sependek pengetahuan saya, saya pikir ini hal baru dan pertama kalinya untuk UPR melakukan tindakan tegas dan terlembaga untuk mengambil tindakan hukum pada pelaku kekerasan seksual,” kata Evi Nurleni.

BACA JUGA:   Pemerintah Provinsi Kalteng Kembali Luncurkan Mudik Gratis, Begini Cara Daftarnya

Hal ini patut diapresiasi sebagai citra baru UPR sebagai kampus yang terlibat aktif dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampusnya. Dan tidak melakukan pembiaran. Dan lagi boleh dilihat, lembaga atau institusi mana saja yang berani melakukan tindakan seperti ini pada pelaku, mungkin agak jarang, bahkan ada sebagaian yang terkesan melindungi, dan tindakan ini cukup berani.

Ia menilai jika ada kekurangan di sana sini, bisa dimaklumi sebagai sebuah proses yang sangat panjang dan berliku dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, temasuk kekerasan seksual. Evi menilai publik harus belajar banyak dari kasus ini bahwa untuk melindungi perempuan dan anak dari tindakan-tindakan pelecehan dan kekerasan diperlukan payung hukum yang cukup.

Oleh sebab itu ia pun mendorong pengesahan RUU PKS di tingkat nasional, sebagai salah satu upaya untuk mendorong payung hukum penanganan kasus kekerasan seksual.

Kemudian ketika ditanya apa yang bisa menjadi rekomendasi dalam upaya melakukan pencegahan terhadap tindakan pelecehan seksual dilingkungan Universitas Palangka Raya, menurutnya memerlukan tindakan, komitmen serta keberanian pimpinan UPR yang merata.

“Saya pikir kode etik dosen dan pegawai di lingkungan UPR sudah ada ya untuk mencegak tindakan pelecehan seksual dan sebagainya. Hanya memang perlu tindakan komitmen dan keberanian pimpinan UPR yang merata. Selanjutnya, saya pikir UPR juga perlu memikirkan tentang penyediaan layanan pengaduan dan mekanisme penanganan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, mungkin saja di bawah pusat studi gender,” katanya.

Hal ini menurut dosen yang juga merupakan Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak tersebut, mungkin saja terjadi seiring meningkatnya keberanian korban untuk speak up dan melaporkan, karena mendapat jamianan perlinduangan. Untuk sampai ke sana memang tidak semudah mengatakannya, tetapi patut dicoba. (NA/beritasampit.co.id).