Dukung Fraksi-fraksi di DPR Sahkan RUU Larangan Minol, HNW: Untuk Selamatkan Generasi Bangsa

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Dok: Istimewa

JAKARTA— Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mendukung bila seluruh fraksi di DPR RI mencontohkan kearifan lokal larangan konsumsi minuman beralkohol di Papua, Indonesia Timur.

Larangan tersebut bahkan telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) di provinsi yang mayoritas warganya beragama Kristen.

“Larangan soal mengkonsumsi minuman beralkohol, sudah diatur baik di level provinsi maupun kabupaten/kota,” tutur Hidayat, Jumat, (13/11/2020).

Hidayat yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI ini menilai Perda-perda yang berlaku di Papua itu seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi DPRRI dan Pemerintah Pusat soal perlunya upaya menyerap kearifan lokal daerah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yang sudah dibahas di DPR sejak 2009.

“DPR dan Pemerintah perlu lebih bijak dan cermat, turun ke daerah dan melihat bagaimana sikap Pemda Papua dan DPRD Papua, serta masyarakat di sana terkait adanya peraturan daerah larangan minol ini,” ujarnya.

Hidayat menjelaskan pelarangan minuman beralkohol di Papua dilakukan sejak diberlakukannya Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol oleh DPRD Papua dan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Bahkan di Kabupaten yang sering disebut sebagai kota Injil yaitu Manokwari (Provinsi Papua Barat) sudah memiliki Perda sejenis sejak 2006.

Soal pemberlakuan larangan minuman beralkohol, Pemprov Papua lebih tegas lagi dengan diberlakukannya Perda Nomor 22 Tahun 2016 yang mengubah sebagian ketentuan dalam Perda No 15 Tahun 2013.

“Dalam Perda yang terakhir, sejumlah pasal yang memberikan pengecualian justru dihapuskan. Jadi, intinya pelarangannya dilakukan secara total,” tandas Hidayat.

Hidayat berujar Papua hanya satu dari banyak daerah di Indonesia yang telah memilki Perda larangan miras/minol.

Daerah-daerah lain yang memilki perda serupa, di antaranya, adalah Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi) dan lain sebagainya.

“Pada 2016 lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat menegaskan bahwa setiap daerah harusnya mempunyai perda larangan miras, karena bahayanya yang sangat mengancam generasi muda,” ungkap politikus PKS itu.

Aturan pelarangan minuman beralkohol atau minuman keras, menurut HNW bukan melulu berkaitan dengan ajaran agama.

Walaupun, lanjutnya, seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak setuju apabila umatnya bermabuk-mabukan. Namun, aturan ini selain untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia, juga untuk penjagaan ketertiban umum.

“Karena dampak negatif minuman beralkohol terbukti menyebabkan dekadensi moral, perilaku kriminal, keresahan sosial dan masalah kesehatan,” imbuh Hidayat.

Dia mengatakan apalagi, berdasarkan sejumlah penelitian, sebagian besar tindakan kriminal bermula dari mengkonsumsi alkohol. Selain itu minuman beralkohol juga lebih berbahaya, dibanding penggunaan ganja yang sudah dinyatakan terlarang di Indonesia.

“Jadi, apabila sudah dinyatakan ganja itu dilarang, logisnya alkohol juga dilarang. Maka larangan miras ini tidak tepat bila dikaitkan dengan kepentingan umat Islam saja. Melainkan kepentingan nasional,” kata dia.

Disampaikan, dengan tetap mengecualikan berbagai hal yang khas untuk keperluan spesial, seperti upacara adat, keagamaan, penelitian dan sebagainya. Di Papua yang mayoritas warga dan anggota DPRD-nya beragama Kristen malah sudah lama setuju dan memberlakukan adanya aturan hukum yang melarang produksi dan penjualan minuman beralkohol

“Karena korban dari ekses negatif minuman beralkohol, baik dari sisi kesehatan, dekadensi moral, keresahan sosial, dan meningkatnya kriminalitas, akan menimpa semua warga negara tanpa membedakan latar belakang Suku dan Agamanya. Dan negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia dari minuman beralkohol beserta dampak-dampak buruknya,” pungkas Hidayat Nur Wahid.

(dis/beritasampit.co.id)