Wakil Ketua MPR Ajak Masyarakat Teladani Sikap Pendiri Bangsa

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Dok: Istimewa

JAKARTA– Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta masyarakat mencontoh keteladanan moral dan akhlak pendiri bangsa. Dari ulama dan Habaib yang berjuang bersama para pendiri bangsa dari beragam latar belakang, demi eksisnya Republik Indonesia.

Hidayat menyampaikan hal itu secara daring dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dihadapan anggota dan simpatisan Front Pembela Islam (FPI) Jakarta Pusat, Kamis (3/12/2020).

Hidayat mengatakan mulai dari proses kesepakatan menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara, hingga finalnya pada 18 Agustus 1945. Serta menyelamatkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dari upaya penjajahan kembali Belanda, sehingga Belanda hanya mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS), sampai kembalinya NKRI.

“Sudah sewajarnyalah bila sisi akhlak kenegarawanan para pendiri bangsa, termasuk ulama dan Habaib digaungkan. Karena hakekatnya, semua itu adalah untuk meneladani dan melanjutkan peran sejarah para Habaib dan Ulama, bersama pendiri Bangsa lainnya,” tutur Hidayat, Sabtu, (5/12/2020).

Menurut Hidayat, komitmen menghadirkan akhlaq Bangsa memiliki landasan yang kokoh, baik di dalam Pancasila maupun Undang-undang Dasar 1945, bahkan sesudah diamandemen menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BACA JUGA:   Partai Gelora Punya Harapan Besar Walau Belum Berhasil Lolos ke Senayan

Politisi PKS berujar selain nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila, setidaknya ada tiga ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang menguatkan prinsip untuk selalu menghadirkan akhlak bangsa.

Pertama, terkait tujuan pendidikan yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen. Yaitu, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Itu merupakan landasan yang kokoh dan kuat agar akhlak bangsa selalu dihadirkan. Sebagaimana hadirnya manusia yang utuh, bagus luar dan dalam, komprehensif antara jasmani, spiritual dan intelektual,” imbuh Hidayat.

Kedua, adanya penegasan kedudukan peradilan agama sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman yang disebutkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen. Walaupun sebelumnya peradilan agama sudah eksis di Indonesia, tetapi amandemen konstitusi memberi penegasan kedudukannya dalam UUD 1945.

Ketentuan Pasal 24 ayat (2) itu kemudian diturunkan ke dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 12B UU Peradilan Agama itu menyebutkan bahwa syarat menjadi hakim harus memiliki ketakwaan dan akhlak mulia.

BACA JUGA:   Komisi II DPR: Insha Allah Hak Angket Tak Akan Terwujud

Syarat itu bukan hanya dicantumkan khusus bagi hakim peradilan agama, tetapi juga cabang peradilan lainnya, seperti peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

“Jadi, para hakim dalam memutus perkara tidak hanya harus berlaku adil, tetapi juga harus berdasarkan ketakwaan dan akhlak mulia,” tukas Hidayat.

Ketiga, adanya ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen yang mencantumkan agama sebagai salah satu nilai dalam melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia (HAM). Pengaturan dan Pelaksanaan HAM di Indonesia dibatasi oleh undang-undang dan nilai-nilai yang berlaku, termasuk agama.

“Berdasarkan tiga landasan tersebut, maka seharusnya umat Islam dapat secara aktif ikut serta berperan membangun dan mengawal pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” pungkas Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera itu.

(dis/beritasampit.co.id)