Pimpinan MPR RI Dapat Amanat dari Ulama Jaksel untuk Terus Menolak RUU HIP

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Dok: Istimewa

JAKARTA– Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendapat amanat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Selatan, untuk terus menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Amanat tersebut diterima Hidayat di tengah kegiatan sosialisasi Empat Pilar MPR RI (Pancasila, UUDNRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) kerjasama MPR dengan MUI Jakarta Selatan.

Wakil Ketua Umum MUI Jakarta Selatan KH Jawahir Tantowi mengatakan penolakan terhadap RUU HIP harus dilakukan karena menabrak Pancasila dan UUD NRI 1945 yang merupakan dua dari empat pilar MPR RI.

“Kami dengar selentingan kabar bahwa DPR dan DPD bersidang membahas RUU HIP. Diam-diam sidang terus. Kita sibuk dengan Habib Rizieq dan urusan lain, tapi ternyata pembahasan RUU HIP yang kita tolak itu, malah jalan terus. Mohon penjelasan, jangan tiba-tiba RUU HIP disahkan tengah malam seperti Omnibus Law atau pengumuman hasil pemilu,” ujar Jawahir Tantowi dalam tanya jawab saat kegiatan sosialisasi 4 Pilar MPR RI bersama MUI Jakarta Selatan di Masjid Nurul Madinah, Jakarta, Sabtu (5/12/2020).

Menanggapi pertanyaan tersebut, Hidayat Nur Wahid memahami kekhawatiran para ulama terkait RUU HIP. Karena banyak ketentuan awal dalam RUU HIP, seakan-akan ingin mengubah Pancasila yang telah disepakati oleh para tokoh bangsa, termasuk para ulama, yaitu Pancasila tanggal 18 Agustus 1945.

Menurut Hidayat, Pancasila sudah final, yaitu Pancasila 18 Agustus, yang diputuskan oleh Ketua PPKI yang diketuai oleh Bung Karno. Karenanya seharusnya tidak boleh lagi diutak-atik dan diganggu gugat dengan menyisipkan Trisila maupun Ekasila dalam salah satu pasal dalam RUU HIP.

Hidayat bilang Bung Karno sebagai Ketua Panitia 9 maupun Ketua PPKI, malah tidak menyebut lagi trisila maupun ekasila. Dan sebagai Presiden RI, Bung Karno membuat dekrit pd 5/7/1959 yang menguatkan posisi legal konstitusional dari Piagam Jakarta, antara lain berisi soal Pancasila yg sudah final, yaitu Pancasila 18 Agustus.

“Jadi, sejak awal RUU HIP ini sudah ditolak oleh sejumlah pihak, termasuk dua fraksi di DPR RI, seperti Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Demokrat,” ungkap Hidayat.

Bukan hanya dua fraksi di DPR yang menolak RUU HIP, Politisi PKS menegaskan bahwa semua Ormas Islam dan ormas keagamaan juga menolak RUU HIP dan Pemerintah sudah menjawab resmi surat DPR dengan menyatakan tidak mau membahas RUU HIP, tapi malah mengajukan RUU yang baru, yaitu RUU BPIP.

“Jadi, RUU HIP ini sebenarnya sudah mati suri. Dan saya yakin nggak ada partai yang mau bunuh diri politik memperjuangkan RUU ini, karena banyaknya masalah mendasar yang ada dalam RUU HIP, juga besarnya penolakan dari masyarakat dan ormas-ormas keagamaan,” tandas Hidayat.

Hidayat berujar bahwa amanat para ulama seharusnya selalu menjadi pegangan bagi pemerintah dan anggota dewan untuk menjalankan tugasnya. Alasannya, karena usaha Kemerdekaan Indonesia baik di BPUPK, Panitia 9 maupun PPKI, juga melibatkan peran para Ulama dari berbagai Ormas Islam maupun Partai Islam, termasuk para Habaib.

Karenanya Indonesia Merdeka, bisa disebut sebagai warisan hasil jihad/ijtihad/mujahadah/musyawarah/tadhhiyyah juga hadiah dari para ulama bersama para pendiri bangsa. Faktanya tidak sedikit para ulama yang ikut menyiapkan dan menyepakati dasar negara, yakni Pancasila dan UUD 1945.

“Jadi sudah seharusnya apabila inspirasi dan aspirasi ulama terus diperhatikan dan diperjuangkan. Dan penting juga sosialisasi 4 pilar MPR RI bersama para Ulama dan tokoh-tokoh agama dapat diteruskan, agar para Ulama dan tokoh-tokoh Agama dapat melanjutkan kenegarawanan, Bapak-Bapak Bangsa, mengawal serta menyemangati penyelenggaraan amanah berbangsa dan bernegara sesuai dengan Empat Pilar MPR RI, warisan pendiri bangsa dari kalangan Ulama,” pungkas Hidayat Nur Wahid.

(dis/beritasampit.co.id)