Regional Comprehensive Economic Partnership Harus Mampu Dongkrak Perekonomian Indonesia

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Saat menjadi keynote speech FGD 'RCEP Dalam Perspektif UUD NRI 1945', kerjasama MPR RI dengan BS Center, di Jakarta, Jumat (11/12/20). Dok: Istimewa

JAKARTA– Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menekankan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang telah disepakati negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) bersama lima negara besar (Australia, New Zealand, China, Jepang dan Korea Selatan), harus dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian nasional.

Mengingat perjanjian tersebut diinisiasi oleh Indonesia, dipimpin oleh Indonesia, dan ditandatangani atas ‘restu’ Indonesia.

“Keuntungan yang diperoleh antara lain meningkatkan ekspor ke negara-negara peserta RCEP hingga 8-11 persen, menarik investasi hingga 18-22 persen, dan mendorong ekspor hingga 7,2 persen,” ujar Bamsoet dalam keynote speech FGD ‘RCEP Dalam Perspektif UUD NRI 1945’, kerjasama MPR RI dengan BS Center, di Jakarta, Jumat (11/12/20).

Turut hadir antara lain Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Dosen Institut Pertanian Bogor yang juga mantan Wakil Menteri Perdagangan pada Kabinet Indonesia Bersatu II Dr. Bayu Krisnamurthi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi Ph.D.

Turut hadir para narasumber pembahas, antara lain Prof Devanto Shasta Pratomo Ph.D (Universitas Brawijaya); Prof. Dr. Ina Primiana (Universitas Padjadjaran); Mohammad Dian Revindo Ph.D (LPEM Universitas Indonesia), Dr. Piter Abdullah (Center of Reform on Economic); dan Bernardino Vega (KADIN Indonesia).

Ketua DPR RI ke-20 ini mengingatkan, dampak positif RCEP hanya dapat dimanfaatkan apabila Indonesia mempunyai daya saing yang tangguh. Jika tidak, RCEP hanya menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar strategis bagi membanjirnya produk-produk impor negara-negara anggota RCEP lainnya.

BACA JUGA:   Ribuan Desa Belum Teraliri Listrik, Mukhtarudin: 79 Tahun Merdeka, Rakyat Masih Hidup Dalam Kegelapan

“Dalam Indeks Daya Saing Global Tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia, Indonesia turun peringkat ke posisi 50, dari sebelumnya pada tahun 2018 berada di posisi 45. Sementara penilaian International Institute for Management Development (IMD) yang merilis World Competitiveness Ranking 2020, peringkat daya saing Indonesia juga mengalami penurunan ke posisi 40, dari sebelumnya di tahun 2019 berada di posisi posisi 32 dari 63 negara,” tutur Bamsoet.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, aspek lain yang bisa dijadikan rujukan yaitu indeks inovasi global. Posisi Indonesia ternyata berada di nomor dua terendah di ASEAN. Menandakan masih banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pemerintah dalam menyongsong RCEP.

“Satu hal yang tidak boleh dilupakan, mayoritas pelaku usaha Indonesia, sebanyak 96 persen terdiri atas UMKM, dan sebagian besarnya terdampak pandemi Covid-19. Menurut survei Asian Development Bank (ADB) pada 16 September 2020, sebesar 48,8 persen UMKM di Indonesia terpaksa gulung tikar. Kondisi ini diperparah oleh lingkungan bisnis permintaan domestik yang turun hingga 30,5 persen,” tutur Bamsoet.

BACA JUGA:   Hari Perempuan Sedunia, Mukhtarudin: Wujudkan Kesejahteraan Perempuan di Semua Aspek Kehidupan

Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto menjelaskan, RCEP terdiri dari 20 Bab, 17 Annex dan 54 jadwal komitmen dengan total 14.367 halaman. Merupakan perjanjian perdagangan terbesar dunia karena melibatkan 29,6 persen penduduk dunia, 30,2 persen GDP (gross domestic product) dunia, 27,4 persen perdagangan dunia, dan 29,8 persen FDI (foreign direct investment) dunia.

“Cost yang dikeluarkan Indonesia akan lebih besar jika tidak ikut andil dalam RCEP. Keikutsertaan Indonesia dalam RCEP berpotensi meningkatkan kesejahteraan sebesar USD 1,516 juta, serta peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,26 persen. Kita bisa memaksimalkan berbagai sektor strategis seperti pertanian, mining, wood product, paper, chemical/rubber/plastic,” jelas Agus Suparmanto.

Sementara Bayu Krisnamurthi menerangkan, RCEP akan berdampak optimal apabila proses ratifikasi dan perumusan sekian banyak peraturan pelaksana bisa dilakukan secara tepat dan cepat. Serta banyaknya pelaku usaha yang bersemangat berbisnis internasional, yang memiliki orientasi ‘keluar’ bukan hanya ‘bertahan di dalam’.

“Indonesia juga harus mampu menghadapi kebijakan trade follow investment atau prinsip reciprocity dari berbagai negara. Pemerintah juga perlu melakukan perlindungan petani dan UMKM secara cerdas, yakni melindungi tetapi juga mempromosikan daya saingnya,” pungkas Bayu Krisnamurthi.

(dis/beritasampit.co.id)