Refleksi Akhir Tahun 2020 : Membangkitkan Kompetensi Sosial Dengan Hati, Tapi Tidak Sesuka Hati

Djodjo Sutardjo, SE., MM, Wakil Rektor 3 UNU Cirebon.

Opini: Djodjo Sutardjo SE., MM (Wakil Rektor 3 UNU-Cirebon, Jawa Barat).

Tak terbantahkan, di ujung tahun 2020, fenomena sosial berupa peningkatan angka pengangguran yang berujung pada peningkatan kemiskinan melanda republik ini. Peningkatan itu diperparah lagi dengan munculnya bencana biologis berupa pandemi Covid-19 yang menurut catatan penulis merupakan bencana terbesar sepanjang sejarah republik yang sudah berusia 75 tahun, terhitung sejak Indonesia merdeka.

Carut marut berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berakibat pada krisis karakter dan krisis moral ini, mengantar Indonesia pada indeks pembangunan manusia  di titik nazir.

Potensi Indonesia yang sempat di lagukan Koes Bersaudara (Koes Plus) pada tahun 1970 an, sebagai negeri zamrud khatulistiwa, tongkat kayu jadi tanaman. Dan negeri yang gemah Ripah Lohjinawi, tampaknya saat ini sudah tak pantas dan layak lagi kita sandang.

Kenapa?. Karena para pemimpin di negeri ini lebih suka konsumtif (baca import) dari pada produktif (eksport). Mencintai produk dalam negeri, cuma sekadar liftservice belaka. Yang paling kelihatan dan mudah di kerjakan saja, seperti kebutuhan gula dan garam yang sebenarnya kita punya potensi segalanya, malah sengaja diciptakan untuk terus menerus import.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Para petani gula dan garam terdzolimi secara sistematis. Hebatnya lagi, para pengambil kebijakan tega nian mengeruk keuntungan pribadi dan membiarkan para petani gula dan garam merana sepanjang zaman.

Karena para pengambil kebijakan bekerja seperti tidak pakai hati, apalagi hati hati, yang terjadi malah dilakukan dengan sesuka hatinya. Para pengawas (legislatif) makin ompong , bahkan cenderung berkolaborasi untuk bersemangat import. Kenapa? Karena ada udang di balik batu.

Ada berbagai untung di dalamnya. Bahkan arogansinya mereka lupa dengan kondisi saat ini, dimana sebagian masyarakat sedang berjuang menjerit mempertahan hidup dan mati di tengah Mukti krisis. Sejenak penulis mengelus dada…sambil berkata dalam hati Astagfirullah…..

Ternyata hati mereka yang sedang berkuasa beku bagaikan gunung es, karena tampak kepekaan sosial hanya sebatas retorika belaka. Yang terjadi mereka bergegas dan berlomba mengejar investasi menjelang pensiun atau menunggu habisnya rezim. Karena hampir pasti mereka tidak akan dipakai lagi. Yang ujung-ujungnya mereka tak perduli dengan tudingan menghianati rakyat.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Mereka juga tidak berpikir dan bertindak hati hati, bahkan cenderung bersikap sesuka hatinya. Mereka tak punya waktu untuk mendengar rakyat korban pendataan, sehingga tidak tersentuh bantuan sosial. Yang dipikirkan mereka hanya fee dan cash back dari kebijakan yang mereka buat sendiri.

Dalam kondisi begini, sebelum kena tulah alias sial ketangkap KPK, alangkah indahnya bila para tokoh berlebih termasuk para Ulama dan Umaroh melakukan gerakan nasional ‘nasi bungkus’.

Saatnya kita bersatu turun gunung, satukan persepsi dan satukan langkah untuk mengentaskan kesusahan ekonomi di lingkungan terdekat masing masing.

Ekonomi Nasional dalam keadaan darurat. Jangan lagi nunggu. Ayo kita bergerak sekarang juga. Semoga Allah segera memberikan yang terbaik untuk seisi negeri ini. Aamiin.