Huma Betang, Kearifan Lokal Kalteng untuk Mencegah Terorisme

Mawardin, Peneliti Charta Politika Indonesia

Oleh : Mawardin

Pekan lalu (minggu, 28/3), bom bunuh diri meledak di gerbang depan Gereja Katedral Makassar. Akibatnya puluhan jemaat luka-luka. Pelaku yang merupakan pasangan suami istri pun tewas seketika. Peledakan bom bunuh diri, menurut keterangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.

Jejak rekam teror ISIS melalui sayap garis keras – kelompok ekstremis JAD – sudah jamak diketahui publik di Tanah Air. Kerugian materil, korban nyawa dan luka-luka hingga instabilitas keamanan adalah dampak serius dari tindakan terorisme. Tragedi bom Gereja Katedral Makassar telah menambah daftar panjang aksi teror lantaran keliru menafsir ajaran agama.

Sulit dipungkiri, bahwa memang fakta adanya sekelompok orang terlibat dalam peristiwa terorisme bermotif ideologis dan terpapar paham keagamaan yang ekstrem. Dalam menanggulangi terorisme, bukan hanya sekadar pendekatan keamanan dan penegakan hukum, tapi juga pendekatan kultural guna mencegah perkembangbiakan terorisme.

Dalam hal ini, peran tokoh-tokoh agama menjadi urgen untuk mentransformasikan nilai-nilai religi yang moderat, humanis dan cinta damai. Sebaliknya, orang-orang yang mengklaim dirinya agamawan namun membawa konten yang provokatif, bersifat adu-domba dan menyebar api kebencian melalui mimbar khotbah, mesti dicegah.

Terkait ancaman ril terorisme, presiden telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (Perpres RAN PE). Bahkan pihak DPR di Senayan mendesak agar RAN PE segera diberlakukan. Dalam proses dan pelaksanaannya, ada poin yang menjadi fokus tulisan ini, yakni perhatian terhadap prinsip-prinsip kebhinekaan dan kearifan lokal yang termuat dalam RAN PE.

Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari aneka macam suku, agama, ras, golongan, status sosial-ekonomi, warna warni politik dan serba serbi kebudayaan. Realitas keberagaman dan kemajemukan itu telah melekat dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Potret kebhinekaan Bumi Nusantara ini masih terus bertahan, meskipun dihantam gelombang intoleransi dan ekstremisme.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Hampir semua suku di Indonesia memiliki falsafah hidup, benteng kultural dan kearifan lokal untuk membangun iklim perdamaian dan mempertahankan diri dari anasir ideologi transnasional. Ketika mengikuti kegiatan penelitian selama empat bulan di Kalimantan Tengah (Kalteng), saya menyaksikan pemandangan indah di Kota Palangka Raya terkait kerukunan antar umat beragama.

Beberapa rumah ibadah dibangun secara berdampingan di Kota Cantik itu, misalnya masjid dan gereja yang saling berdekatan. Tidak ada masalah yang menerjang sejauh ini, malah mereka saling bahu-membahu dan gotong-royong dalam aktivitas kemasyarakatan.

Potret keberagaman yang asyik itu menunjukkan toleransi antar umat beragama di Kalteng sangat luar biasa. Sebuah kedewasaan dan kebijaksanaan mengartikulasikan cara beragama yang patut dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Di luar itu, salah satu kearifan lokal yang terkenal di kalangan masyarakat Kalteng adalah Huma Betang (rumah besar).

Huma Betang merujuk pada keberadaan rumah tradisional khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah, mufakat dan pertemuan damai. Huma betang menjadi ciri khas dan simbol kebudayaan yang penuh makna esensial. Mereka menjunjung tinggi kekeluargaan, kejujuran, kesetiaan dan kebersamaan.

Meskipun berbeda agama dan aliran kepercayaan, mereka tetap rukun, bersatu dan harmonis dalam bingkai persaudaraan. Huma betang ibarat jembatan yang menghubungkan mozaik keanekaragaman di Bumi Tambun Bungai. Huma Betang telah inheren dalam kebudayaan Dayak, sebagai sumber kearifan lokal merajut perdamaian dan keadaban di Bumi Pancasila itu.

Lebih dari itu, budaya Dayak memiliki ungkapan khas yang mencerminkan realitas multi-etnik, multi-religi dan multi-kultur yang mendiami Provinsi Kalteng. Yaitu Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata. Ungkapan itu lazimnya diucapkan sebagai salam pembuka dalam pelbagai acara.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Dalam menyampaikan sambutan dan pidato, biasanya tokoh adat, pemuka agama atau pun pejabat publik di Kalteng mentradisikan ucapan lengkap: Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh; Selamat Malam; Salam Sejahtera Bagi Kita Semua; Om Swastiastu; Namo Buddhaya’; Salam Kebajikan; Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.

Sepintas, barangkali kelihatan sederhana, tapi kalau diamati pesan-pesan filosofis dari salam khas itu, sungguh mendalam maknanya. Secara umum, Adil ka’ Talino artinya adil terhadap sesama manusia. Bacuramin Ka’Saruga artinya berpandangan hidup pada surga. Basengat Ka’Jubata artinya berdasarkan Ketuhahan yang Maha Esa.

Di tengah mewabahnya virus takfiri dan praktik intoleransi dari kelompok ekstrem, maka mutiara salam beraroma pluralistik itu menjadi pelajaran berharga dalam meneguhkan kebhinekaan.

Aksi terorisme masih mengusik ketenangan kita sebagai masyarakat. Pikiran ekstrem yang pro kekerasan telah mengendap dan melekat pada sebagian kelompok, dan tugas kita mempersuasi mereka dengan narasi-narasi yang mencerahkan.

Begitu pula golongan yang suka mengkafirkan orang lain, gemar mengumbar kebencian rasial bahkan berkehendak menghancurkan khazanah kearifan lokal harus ditindak tegas sesuai koridor hukum yang berlaku.

Karena itu, kearifan lokal Huma Betang menjadi penting untuk selalu dirawat dan disebarluaskan dalam rangka mempromosikan cita rasa beragama yang humanis. Sejatinya, output yang diharapkan dari kaum beragama adalah etika dan akhlaknya di ruang publik, apa pun agama dan kepercayaannya.

Gus Dur pernah berkata “tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Semoga Kalteng makin Berkah, dan Indonesia terus maju dan damai.

(Penulis adalah  Peneliti Charta Politika Indonesia)