Hadapi Terorisme, Indonesia Bisa Adaptasi Strategi CTAP Selandia Baru

Ilustrasi Densus 88 Mabes Polri.

JAKARTA– Serangan senjata jenis Air Gun yang dilakukan oleh ZA di Mabes Polri pada tanggal 1 April 2021 lalu, menyentak seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Terorisme dalam bentuk ‘lone wolf’ (seorang diri, tidak berkelompok) di Indonesia hidup dan bergerak menyebarkan ketakutan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Target serangannya adalah aparatur Kepolisian karena dianggap sebagai representasi ‘Thagut’ di Indonesia.

Beberapa hari sebelum serangan ZA di Mabes Polri, warga bernama Lukman beserta istrinya melakukan Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral, Makassar. Lukman dan istrinya merupakan teroris yang bergabung dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang memiliki visi untuk mendirikan Negara Islam Raya yang berafiliasi dengan ISIS di Timur Tengah.

Kedua kasus terorisme ini muncul dalam konteks waktu yang tidak terlalu jauh. Hanya berselang 3 hari, antara Bom Gereja Katedral Makassar dan Serangan ke Mabes Polri.

“Hal ini menunjukkan bahwa dua serangan teror ini harus dipandang sebagai sesuatu yang siap mengancam kita kapan saja,” ujar Komisaris Polisi Malvino Edward Yusticia, SH, SIK, MH, MSS, Sabtu (10/4/21).

Alumnus Master of Strategic Studies Victoria University of Wellington, New Zealand ini mengulas, menurut Kepolisian, dua kasus terorisme tersebut tidak terkait satu sama lain.

Kasus Bom Makassar sendiri merupakan sebuah aksi yang terencana dari kelompok JAD Makassar. Sedangkan kasus penembakan oleh ZA ke Mabes Polri, merupakan aksi seorang diri tanpa kelompok dan dengan motivasi melakukan teror sebagai balas dendam kepada Polri yang melakukan penangkapan terhadap banyak pelaku teror sejak bulan Januari hingga Maret 2021 di Indonesia.

“Dua peristiwa yang terjadi baik di Makassar dan Mabes Polri mengingatkan saya pada peristiwa terorisme pada tahun 2019 di Selandia Baru. Pada 15 Maret 2019 atau tepat sekitar 2 tahun yang lalu, terjadi peristiwa terorisme di Crhristchurch, Selandia Baru. Pada waktu itu Brenton Tarrant (28 tahun), seorang berkewarganegaraan Australia melakukan serangan senjata api pada Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al-Noor di wilayah Ricarton, Selandia Baru,” terang Malvino.

Akibat serangan teror di Selandia Baru tersebut, kata Malvino, sebanyak 51 orang Jamaah Sholat Jumat di Masjid Al-Noor meninggal dunia dan sebanyak 40 orang mengalami cedera luka-luka akibat tembakan yang ditembakkan oleh Brenton.

Malvino melanjutkan, menurut Kepolisian Selandia Baru, serangan tersebut berkorelasi dengan meningkatnya Supremasi Kulit Putih pada 2015 di Australia dan Selandia Baru. Sebab, berdasarkan penyelidikan dari Kepolisian Selandia Baru, Brenton diketahui memiliki pandangan anti – imigran khususnya imigran Muslim yang dianggap sebagai ras teroris yang harus dibasmi oleh orang kulit putih. Secara spesifik, Brenton menyebutkan hal ini sebagai Ideologi Kebab Removalist.

“Kecepatan dan ketepatan strategi penanganan dalam waktu satu jam setelah terjadinya penembakan di Selandia Baru tersebut, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, mengumumkan Lockdown pada wilayah Christchurch dan mengerahkan personil kepolisian, Ambulan, SAR, dan Militer untuk menstabilkan lokasi penyerangan dan melumpuhkan pelaku teror,” papar Mantan Kanit I Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya ini dengan serius.

Kemudian, satu jam setelah penembakan, Jacinda Ardern mengumumkan peristiwa penembakan tersebut kepada media dengan menyebutkan bahwa hari itu merupakan ‘the darkest day’ (hari terkelam) di Selandia baru. Pada waktu 24 jam pasca penembakan, Pemerintahan Selandia Baru kemudian melakukan reaksi cepat terhadap korban dengan merawat korban cidera, mengunjungi keluarga korban meninggal dunia, hingga mengunjungi dan membentuk rapat antar para pemuka agama di Selandia Baru.

“Dalam waktu 1 bulan, Pemerintah Selandia Baru mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan CTAP atau Counter Terrorism Action Plan. Dalam CTAP tersebut, terdapat beberapa poin yang harus dilakukan oleh pemerintahan Selandia Baru dalam memerangi terorisme di negaranya,” ulasnya.

Poin pertama, penguatan intelijen. Kedua, penguatan kapasitan penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme seperti dalam aspek ke-imigrasian, kepemilikan senjata api, hingga komitmen penegakan hukum yang adil bagi semua orang. Ketiga, melibatkan tokoh agama dan kelompok keagamaan untuk mengkampanyekan ide perdamaian dan toleransi. Keempat, kerjasama internasional untuk memerangi ekstrimisme agama yang berhaluan dengan penggunaan kekerasan.

“Rhys Ball, seorang akademisi dari Massey University dalam tulisannya pada tahun 2020 yang berjudul New Zealand’s Counter Terrorism: A Critical Assessment memperlihatkan bahwa, CTAP sebagai kebijakan anti terorisme yang fundamental telah mengarahkan diri pada pendalaman pencegahan terorisme ketimbang pendalaman pada penindakan,” urai Malvino.

Dalam konsep CTAP ini, hampir semua energi politik, institusi pemerintahan, dan institusi sosial dikeluarkan untuk memastikan bahwa kejadian serangan terror pada tahun 2019 tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang.

“Pendekatan baru ini,memberikan sebuah kerangka kerja baru bagi Selandia Baru untuk memerangi terorisme dengan mengedepankan komitmen yang kuat bagi seluruh institusi sosial dan politik di Selandia Baru untuk menyampaikan literasi perdamaian dan menguatkan kembali kehadiran negara dalam memastikan bahwa semua Agama berperan pembawa kebaikan di New Zealand,” paparnya.

Hasil evaluasi Rhys Ball, sambung Malvino, memperlihatkan bahwa hampir dalam jangka waktu 1 tahun (2019-2020) seluruh institusi pemerintahan melakukan pembenahan menyeluruh untuk memastikan Tindakan terror tidak terjadi lagi di New Zealand.

Kementerian Luar Negeri misalnya, langsung mengambil kebijakan untuk memastikan aspek-aspek ke-imigrasian dapat memfilter orang-orang yang dapat memberi pengaruh buruk bagi masyarakat Selandia Baru dan Bea Cukai mampu untuk membendung akses persenjataan illegal bagi masyarakat.

Kementerian Pendidikan pada sisi yang lain, pada Oktober 2019 mengeluarkan kebijakan untuk menyusun kurikulum yang mempromosikan pengetahuan kritis mengenai Islam sebagai agama perdamaian. Promosi ini difungsikan untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan stigma buruk yang munculdi tengah masyarakat Selandia Baru atas keberadaan Islam.

Kemudian, Kementerian Dalam Negeri di Selandia Baru pada Januari 2020, mengeluarkan kebijakan yang mempermudah para akademisi dan Universitas di Selandia Baru untuk terlibat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan penaggulangan terorisme.

Disinggung soal kebijakan penanggulangan teror di Indonesia, Malvino menjelaskan bahwa kebijakan penanggulangan terorisme diemban oleh BNPT sebagai amanah dari Perpres No. 46 Tahun 2010. Dimana, tahun 2010, BNPT telah menyusun kebijakan, strategi, dan program dalam hal penanggulangan terorisme hingga saat ini.

Namun pada sisi yang lain, lanjutnya, terorisme di Indonesia terus bertumbuh. Berdasarkan informasi dari Densus 88 AT, jumlah tersangka terorisme setiap tahunnya selalu mencapai 100-200-an orang setiap tahunnya tanpa ada indikasi penurunan jumlah pelaku terorisme di tanah air setiap tahunnya.

“Artinya program, kebijakan, dan strategi yang ditawarkan oleh BNPT sejak tahun 2010, tidak berkorelasi langsung dengan adanya penurunan jumlah pelaku terorisme di Indonesia. Inefektifitas kebijakan, program, maupun strategi perlu menjadi pembahasan serius dengan dua peristiwa terrorisme yang terjadi pada Maret-April 2021 lalu,” tegas Malvino.

Secara garis besar, dijelaskannya, berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme terdapat dua pokok utama strategi penanggulangan terorisme, yaitu Penegakan Hukum dan Pencegahan – Deradikalisasi.

Dalam aspek penegakan hukum, sekilas dievaluasi, maka dapat dikatakan berada dalam posisi yang cukup optimal. Hal ini dapat diperlihatkan dari kuantitas penangkapan melalui strategi Preventive Strike yang dilakukan oleh Polri yang berkisar di angka 100-200an tersangka setiap tahunnya.

Namun, dalam pelaksanaan pencegahan dan deradikalisasi, pelaksanaannya belum efektif. Hal ini dibuktikan dengan adanya 60-an mantan napiter yang melakukan pidana terorisme kembali sejak tahun 2015 dan masih banyaknya orang-orang yang tergabung dalam kelompok terorisme yang tersebar di Indonesia.

“Jadi, jika berkaca pada pengalaman Selandia Baru, maka kunci dari penanggulangan terorisme adalah kecepatan dan ketepatan strategi. CTAP yang diimplementasikan oleh Selandia Baru mampu untuk mendorong seluruh institusi sosial dan politik untuk saling terhubung dalam visi pencegahan dan penaggulangan terorisme,” katanya.

Menurutnya, ketepatan strategi dalam CTAP juga selalu dipastikan dalam bentuk pelibatan akademisi dan Universitas dalam memformulasikan, mengimplementasikan, hingga mengevaluasi program yang dilaksanakan.

Menurutnya, di Indonesia melalui BNPT sejak terjadinya dua peristiwa terror pada Maret dan April lalu, seharusnya juga membentuk reaksi dan strategi tepat sehingga peristiwa yang sama tidak terjadi kembali di kemudian hari.

Reaksi tersebut, lanjut dia, harusnya dapat dimulai dengan mengevaluasi seluruh program, kebijakan, dan strategi yang telah dilaksanakan dalam penanggulangan terorisme.

“Dengan evaluasi itu, maka pembentukan strategi baru penanggulangan terorisme dapat diformulasikan kembali sehingga strategi nasional dalam penanggulangan terorisme dapat berlangsung lebih komprehensif, tepat sasaran, dan terintegrasi sebagaimana CTAP yang diimplementasikan di Selandia Baru saat ini telah berhasil membawa banyak perubahan,” pungkas Komisaris Polisi Malvino Edward Yusticia.

(dis/beritasampit.co.id)