Polemik Penetapan Hari Lahir Pancasila

Pengamat Sosial Politik, Muhammad Gumarang, (Dokumen Pribadi)

Oleh : Muhammad Gumarang

Sejarah kadang kala tidak telepas dari aroma politik dan kekuasaan, karena pengakuan sejarah merupakan politik identitas suatu kelompok atau golongan pada masa berkuasa sangatlah berpengaruh terhadap peletakan nilai sejarah yang dipandang sebagai asset dalam membangun good will di masyarakat, dimana masyarakat sebagai obyek politik. Oleh karena itu, wajar kadang kala peletakan sejarah sangat dipengaruhi oleh politik dan kekuasaan.

Seperti kita ketahui, rumusan Pancasila dapat dilihat dari berbagai versi; Pertama, Mohammad Yamin, diusulkannya secara tertulis pada tanggal 29 Mei 1945. Kedua, Soepomo, disampaikan pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Ketiga, Soekarno, disampaikan pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945. Keempat, Piagam Jakarta (Panitia Sembilan) tanggal 22 Juni 1945. Kelima, Piagam Jakarta  pada tanggal 18 Agustus 1945, dimana lima dasar tersebut telah disahkan dalam konstitusi UUD 1945 sebagai dasar Negara yang disebut dengan Pancasila.

Pemerintahan sekarang menetapkan 1 juni sebagai hari lahir Pancasila yang menimbulkan perdebatan para ahli sejarah dan para politisi, bahkan masyarakat luas. Sebagian para ahli sejarah, politisi maupun masyarakat berpendapat, bahwa hari lahir pancasila adalah 18 Agustus 1945 (sesuai dengan konstitusi yg bersifat utuh, final dan mengikat), sedangkan rumusan sebelumnya yang dicetuskan oleh tiga tokoh pahlawan Nasional tersebut masih berbentuk rumusan atau gagasan  yang belum lahir sebagai konsensus Nasional.

Timbul pertanyaan, Salahkah pemerintah sekarang menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir pancasila?, kenapa tidak tanggal 29  Mei atau 31 Mei atau 18 Agustus 1945 sesuai Piagam Jakarta ( sesuai konstitusi)?. Tinggal kita mau melihat dari sudut padang mana.

Kalau dari perspektif politik dan kekuasaan, menurut saya, tidak ada yg salah karena politik itu sifatnya sangat subyektif, begitu juga kekuasaan. Keduanya saling berkaitan dan tidak terpisahkan, apalagi di republik ini masih memerlukan proses panjang dalam membangun kematangan berdemokrasi dan politik.

Lain halnya jika kita melihat dari sudut padang hukum, maka akan berbeda jauh. Hukum akan bicara fakta atau obyektif dan tak lepas dari norma-norma yang ada dalam menilai sesuatu.

Setiap masa penguasa biasanya mereka akan membuat atau menorehkan sejarah untuk generasinya.  Kita ketahui pada jaman pemerintahan  orde lama, orde baru maupun pemerintahan presiden BJ Habibi, Megawati, Gusdur dan Susilo Bambang Yudoyono, belum ada yg mencetuskan atau menetapkan Hari Lahir Pancasila, sehingga adanya kekosongan atau peluang bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menorehkan sejarah dengan menetapkan 1 juni sebagai hari lahirnya Pancasila yang memiliki nilai sakral dan politis.

Hal tersebut sah sah saja, apa lagi negara kita belum ada peraturan perundang undang yg mengatur tentang bagaimana acuan dalam menentukan hari bersejarah.

Kita bisa bercermin dari pemerintahan orde baru yang menorehakan sejarah Nasional dengan mengambil momentum, misalnya 1 oktober hari kesaktian pancasila, 5 oktober hari Angkatan bersenjata, 30 September dikenal dg hari G30S PKI. Sama halnya dengan yang ditetapkan pemerintahan Joko Widodo, bahwa 1 Juni hari lahir Pancasila.

Namun perlu diingat, apabila menorehkan, penetapan sejarah dipengaruhi politik dan kekuasaan dalam membangun good will dimasyarakat akan bisa berubah nantinya, tergantung kelompok mana yg berkuasa atau kekuatan politik mana yang terkuat dalam pemerintahan, karena sifatnya sangat subyektif.

(Penulis : Pengamat Sosial Politik)