BKKBN : Pentingnya Pemenuhan Kebutuhan Gizi Perempuan Untuk Cegah Stunting

Seorang ibu menggendong bayinya menuju Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) khusus daerah pedalaman di Desa Matabundu, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat 13 November 2020 lalu.//Ist-Arsip Antara Foto/Jojon/wsj;

JAKARTA – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengemukakan pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi perempuan menjelang menikah dan hamil untuk mencegah stunting, gangguan tumbuh kembang akibat masalah gizi kronis yang menyebabkan anak bertubuh pendek .

Dalam acara bertajuk “Expose Data Capaian Gerakan Bulan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita di Posyandu” yang digelar untuk memperingati Hari Keluarga Nasional di Jakarta, Sabtu 26 Juni 2021, Hasto menyampaikan rencana BKKBN mengusulkan penerapan sistem pelaporan pasangan yang hendak menikah.

Melalui sistem pelaporan itu, pasangan yang hendak menikah harus melapor dan menjalani pemeriksaan status gizi tiga bulan sebelum menikah.

“Nanti yang under nutrition (kurang gizi) bukan dilarang menikah, tapi dikasih treatment (perawatan) dulu tiga bulan,” katanya.

“Kita tidak akan melarang menikah tetapi hanya ingin mengetahui status nutrisinya dan kemudian memberi tablet penambah darah, asam folat, di puskesmas bisa dikoreksi, dan itu bisa kita lakukan tiga bulan sebelumnya,” imbuhnya. Dikutip dari Antara.

Penerapan sistem itu ditujukan untuk memastikan perempuan cukup gizi sebelum menikah dan hamil, sehingga ketika mengandung janinnya bisa tumbuh dengan baik.

Kalau kekurangan gizi, maka perempuan bisa melahirkan bayi dengan panjang kurang dari 48 cm dan bayi yang lahir dengan kondisi demikian berpotensi mengalami stunting.

Oleh karena itu, intervensi untuk memenuhi kebutuhan gizi perempuan sejak sebelum mengandung sangat penting dalam upaya pencegahan masalah kekurangan gizi pada anak.

Hasto menekankan pentingnya memastikan sebelum menikah perempuan memiliki kadar hemoglobin normal dan tidak kekurangan gizi.

Dia juga mengemukakan risiko menikah pada usia remaja bagi perempuan.

Menurut Hasto, perempuan yang hamil pada usia 16 atau 17 tahun berisiko mengalami kanker 16 hingga 17 tahun mendatang.

Hamil pada kurun usia itu, juga membuat perempuan lebih berisiko mengalami pengeroposan tulang.

Hasto menambahkan, hamil pada usia terlalu muda, di bawah 20 tahun, atau terlalu tua, di atas 35 tahun, juga berisiko bagi kondisi kesehatan perempuan.

(BS-65/ beritasampit.co.id)