Komunitas Adat Sungai Batu Mulai Berladang Tanpa Bakar

Yudhi Hudaya

Oleh : Yudhi Hudaya

Sudah hampir lima tahun, pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat pada 2015, komunitas adat Sungai Batu, Desa Kubu, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat tidak bisa berladang. Larangan buka lahan dengan cara bakar membuat mereka tak punya cara lain untuk bisa berladang. Namun, keinginan mereka untuk bisa berladang kembali, agar bisa merasakan nasi dari padi organik tanaman sendiri tak pernah pudar.

Didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat, yang didukung Inobu, komunitas adat Sungai Batu turun kembali ke ladang. Kali ini mereka berladang dengan percobaan teknik pembukaan lahan tanpa bakar. Penanaman perdana dengan cara menugal (larikan), berlangsung Kamis (19/8/2021).

Penanaman perdana ini diawali dengan ritual adat bahalarat. Sebuah replika perahu dilepas. Ini sebagai simbol keberangkatan pelayaran untuk kembali dengan memuat hasil yang banyak. Begitulah harapannya, penanaman perdana padi ini kelak akan menuai hasil yang melimpah pula.

Ketua AMAN Kotawaringin Barat Mardani menuturkan selama lima tahun terakhir, komunitas adat kesusahan karena tak bisa berladang. Ini karena kebijakan larangan membuka lahan dengan membakar. Selama itu, masyarakat adat yang relatif bisa berdaulat menyediakan pangan, menjadi tergantung sepenuhnya dari luar.

Rumah saung tempat membuang lelah usai berladang

Sebenarnya masyarakat adat bukannya tak mau berladang tanpa bakar. Tapi masyarakat adat belum ada solusi khususnya di lahan-lahan mereka yang tentu berbeda jenis tanahnya. Sementara ini, demplot yang dibikin seluas lima hektar yang akan dikelola sepuluh keluarga terlebih dahulu.

“Berikutnya nanti melihat perkembangan di lapangan seperti apa. Karena padi tampuy yang kita tanam ini katanya bisa bisa bertahan di bermacam jenis tanah.”

Lahan yang dijadikan pilot project ini merupakan kawasan hutan adat komunitas, yang secara adat menjadi penopang penghidupan warga setempat. Dari sana mengalir Sungai Batu, dan sumber air bersih masyarakat. Kawasan hutan tersisa itulah yang kini coba dipertahankan komunitas adat Sungai Batu. Mereka berharap kawasan ini nantinya bisa diakui pemerintah sebagai hutan adat mereka.

Sebagian kawasan ini telah mengalami degradasi. Di lahan terdegradasi inilah, mereka coba memanfaatkan menjadi lahan produktif, sekaligus mencegahnya dari bahaya kebakaran di musim kemarau.

“Ini akan menjaga kedaulatan pangan. Sejalan dengan program pemerintah untuk menjaga ketersediaan pangan menghadapai pandemi ,” jelas Mardani.

IST/berita sampit – Para Ibu-ibu banyak turun berladang

Bila uji coba ini berhasil, Mardani mengatakan ke depan kawasan ini bisa diolah sebagai kawasan wisata berbasis komunitas adat dengan segala kearifan lokal yang menjadi keunikan sendiri dan ini bisa menjadi destinasi wisata baru di Kubu. Selama ini Kubu lebih dikenal sebagai destinasi wisata bahari. Tapi, uniknya, desa ini juga memiliki sisa hutan dan tradisi berladang. “Jadi ladang itu berbasis wisata komunitas adat,” ucapnya.

Camat Kumai, Abdul Gofur yang hadir dalam penanaman perdana itu mendukung program ini. Ia bilang, dahulu Kumai memiliki desa-desa lumbung padi lokal. Ini harus dipertahankan. Menurutnya, tanaman pangan lokal perlu dikembangkan serius demi keseimbangan ekosistem ditengah banyaknya tanaman monokultur.

Penulis : Adalah Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kotawaringin Barat.