Kewenangan DPD RI Perlu Diperkuat Melalui Amendemen UUD 1945

Dialog Kebangsaan DPD RI di Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, (29/9/2021).

JAKARTA– Kelompok DPD di MPR menilai bahwa saat ini dibutuhkan penataan kewenangan DPD RI. Sebagai lembaga perwakilan daerah, DPD RI dinilai perlu dikuatkan dalam rangka perjuangan aspirasi dan kepentingan daerah untuk mewujudkan percepatan pembangunan.

Dalam acara Dialog Kebangsaan dengan tema “Penataan Kewenangan DPD RI”, Selasa (29/9), Bendahara Kelompok DPD RI di MPR Fahira Idris mengatakan, saat ini DPD RI memiliki kewenangan yang sangat terbatas. Padahal banyak kepentingan daerah yang dititipkan kepada DPD RI untuk diperjuangkan di pusat.

“Jadi, kelompok DPD RI di MPR tersebut akan melakukan kajian terkait penguatan kewenangan DPD RI, salah satunya melalui amendemen konstitusi,” imbuh Fahira.

Terkait penguatan kewenangan DPD RI, Anggota DPD RI dari Sumatera Barat Alirman Sori menyoroti Pasal 22D UUD 1945. Ia menyarankan agar kata ‘dapat’ di ayat (1) diubah. Menurutnya DPD RI tidak hanya dapat mengajukan RUU, tetapi juga ikut membahas sampai pada tahap pengesahan secara tripartit.

“Kalau ingin melakukan penataan kewenangan DPD RI ya di pasal 22D. Tinggal ganti saja kata ‘dapat’, lalu DPD RI membahas sesuai kewenangan di ayat (1) sampai tuntas secara tripartit,” ucapnya.

Alirman menjelaskan, jika DPD RI ingin melakukan amendemen, harus dilakukan secara komprehensif, termasuk melakukan kajian yang dituangkan dalam naskah akademik mengenai apa yang perlu di amendemen dari UUD 1945.

Menurutnya, untuk memperkuat kewenangan DPD RI, harus melalui jalur konstitusi, bukan undang-undang semata. Karena jika lewat undang-undang, akan berpotensi diubah seiring dengan kondisi politik yang ada.

“Soal DPD, pintunya hanya perubahan konsitutisi. Kalau bandulnya diletakkan di undang-undang, dia akan berayun kemana-mana seusai dengan situasi politik yang ada. Penataan sistem ketatanegaraan harus diletakkan di konstitusi, dan ini suatu keniscayaan,” jelasnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Dan Tata Negara Gregorius Seto Harianto menjelaskan, belum terciptanya sistem bikameral di Indonesia menurut beberapa pihak, dikhawatirkan akan mengarah pada sistem liberal. Padahal jika semua pihak tetap berpegang pada Pancasila yang menerapkan konsep musyawarah mufakat, sistem liberal tidak akan terjadi di Indonesia.

Seto yang juga anggota Forum Konstitusi ini pun mengusulkan agar DPD RI dilibatkan dalam pembahasan setiap RUU yang berkaitan dengan daerah secara tripartit. Setiap RUU yang terkait daerah, harus diputuskan secara musyawarah mufakat dengan melibatkan DPD RI.

“Tidak seperti saat ini di mana keterlibatan DPD RI tidak sampai pengesahannya,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat politik, Tony Rosyid mengatakan, adanya keterbatasan kewenangan DPD RI akan berpengaruh pada hasil perjuangan aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat pusat. Apalagi saat ini keberadaan UU Omnibus Law memunculkan adanya sentralisasi. Padahal salah satu tujuan DPD RI dibentuk adalah untuk mengawal otonomi daerah.

“Pembuatan peraturan gubernur, Perda, atau Perbup sekarang harus disinkronisasi dengan Kemendagri. Ini indikator nyata dalam arah sentralisasi. Tetapi DPD RI tidak memiliki kewenangan kuat dalam mencegah hal itu,” jelasnya.

Tony pun sepakat jika DPD RI harus diperkuat kewenangannya. Karena sebagai lembaga yang dibentuk oleh UUD 1945 dan mewakili daerah, kewenangan DPD RI seharusnya tidak seperti yang ada saat ini.

“Menurut saya perlu diperjuangkan. Untuk kaitannya dengan urusan-urusan daerah, seharusnya DPD itu perlu dikuatkan. Dan optimalisasi fungsi DPD hanya bisa dilakukan melalui amendemen UUD 45,” kata Tony.

(dis/beritasampit.co.id)