Gelar Juara Piala Thomas, Bukan Sekadar Akhir Paceklik 19 tahun

Para pemain Indonesia melakukan selebrasi di lapangan setelah Jonatan Christie memastikan kemenangan tim Indonesia atas tim China dalam babak final Piala Thomas, di Aarhus, Denmark, Minggu 17 Oktober 2021.//Ist-ANTARA FOTO/Ritzau Scanpix via Reutters/hp;

JAKARTA – Mewujudkan mimpi, tekad dan upaya-upaya yang sebelumnya sudah berkali-kali gagal dipenuhi adalah sungguh kebahagiaan tak terhingga.

Itu juga melukiskan sebuah perjuangan yang dilalui dengan kesabaran yang amat tinggi, selain oleh kerja keras, disiplin, fokus dan sikap pantang menyerah yang luar biasa besar.

Ini pula yang dilakukan oleh tim bulutangkis putra Indonesia yang mengakhiri paceklik 19 tahun gelar Piala Thomas setelah dengan sempurna menggilas raksasa bulutangkis dunia, China.

Empat pemain yang mengantarkan Indonesia memenangkan Piala Thomas setelah menunggu dalam kurun 19 tahun terakhir itu tampil dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Mereka juga cermat nan penuh perhitungan serta sabar sekali, tetapi juga siap menyengat tajam begitu mendapatkan kesempatan memukul lawan.

Sejak terakhir kali menjuarai Piala Thomas pada 2002 setelah empat kali berturut-turut menjuarainya dan total 13 kali menjuarainya sejak 1958 di Singapura, Indonesia hanya mampu tiga kali mencapai final dari total sembilan final sejak 2002.

Pertama takluk 0-3 kepada China di Kuala Lumpur pada 2010 dan menyerah 2-3 kepada Denmark pada 2016 di China, Indonesia akhirnya berhasil pada kesempatan ketiganya dengan membungkam juara bertahan China 3-0 di Aarhus, Denmark, Minggu malam 17 Oktober kemarin.

Ini kali kedua Indonesia mengalahkan China dalam skor setelak itu setelah edisi final 2000 ketika Hendrawan Setiawan, Tony Gunawan/Rexy Mainaky, dan Taufik Hidayat tidak memberi ampun kepada empat pemain China.

Kali ini di Denmark, Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian/Rian Ardianto, dan Jonatan Christie mengulangi pencapaian Hendrawan cs tersebut.

Keempat pebulutangkis Indonesia ini tampil nyaris sempurna dalam mengobrak-abrik tim muda China yang relatif tidak berpengalaman namun berambisi mempertahankan gelar Piala Thomas yang diraih mereka tiga tahun lalu di Bangkok, sekaligus berambisi menyandingkan Piala Sudirman dan Piala Uber yang sudah mereka angkat, juga tahun ini.

Ginting dkk. tak saja menang taktik dan teknis, tetapi juga menang pengalaman. Dan pengalaman acap menjadi determinan pokok bagi sukses sebagian besar atlet dalam mencapai puncak penampilannya.

Pengalaman menjadi faktor pembeda manakala dua berseteru yang sama kuat saling berhadapan.

Tetapi pengalaman tak bisa dibentuk dalam sekejap. Perlu waktu, perlu energi, perlu medium, perlu latihan dan perlu kanal-kanal lain yang membuat atlet terus berkembang semakin bagus dari waktu ke waktu.

Anthony Sinisuka Ginting, Fajar Alfian, Rian Ardianto, dan Jonatan Christie, tidak langsung hebat dalam waktu sekejap.

Pun mereka tidak lahir dari kompetisi yang kadang ada kadang tidak, dan apalagi dari kompetisi yang melului demi seremoni belaka. Sebaliknya mereka telah melalui waktu, medium dan kompetisi yang benar.

Mereka juga dibentuk selama bertahun-tahun dalam sistem perbulutangkisan Indonesia yang tak saja dari waktu ke waktu telah membuat nama Indonesia semerbak harum di dunia, namun juga sudah dijadikan kiblat dan pedoman oleh banyak negara di dunia mengenai bagaimana atlet dibentuk dan bagaimana prestasi bulutangkis diraih.

Matang dari hulu ke hilir

Bulutangkis mungkin menjadi salah satu cabang olahraga di Indonesia yang matang dari hulu ke hilir, semenjak atlet ditemukan, sampai atlet dipoles menjadi pebulutangkis kelas dunia.

Bahkan sampai saat atlet sudah gantung sepatu sekalipun mereka tetap dilirik oleh siapa pun di dunia ini, khususnya untuk dijadikan pelatih atau manajer bulutangkis mereka.

Di antara sekian faktor besar yang membuat bulutangkis Indonesia besar seperti sekarang dan salah satu faktor yang tak bisa dikesampingkan dari setiap kali sukses bulutangkis dicapai, termasuk dalam Piala Thomas ini, adalah peran klub-klub bulu tangkis.

Merekalah yang aktif menciptakan atlet sehingga turut meningkatkan prestasi bulu tangkis Indonesia.

Klub-klub ini tak saja aktif menciptakan atmosfer kompetisi yang berkelanjutan dan sehat, tetapi terus berusaha keras mencari bibit-bibit potensial dari daerah-daerah. Bahkan salah satu dari mereka sampai menyelenggarakan apa yang mereka sebut Audisi Umum Beasiswa Bulutangkis.

Tidak hanya klub besar, klub-klub kecil dari berbagai daerah juga aktif mengembangkan bulutangkis. Bahkan banyak pebulutangkis Indonesia mengawali karir dari klub kecil, antara lain Kevin Sanjaya Sukamuljo yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk sampai ke levelnya saat ini.

Pun demikian dengan Anthony Sinisuka Ginting. Dia tak langsung menjadi raja lapangan, namun grafiknya meningkat secara gradual.

Klub, kompetisi, dan manajemen olahraga yang baik telah membuat atlet-atlet semacam Anthony semakin baik dari waktu ke waktu, dari kompetisi satu ke kompetisi lain.

Tak pelak lagi, atmosfer keolahragaan yang sehat namun kompetitif dalam bulutangkis, selalu bisa menghasilkan bakat-bakat baru yang siap menjadi penerus mereka yang sudah senior, contohnya ganda putra Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, yang malah kian memperbanyak stok ganda putra Indonesia berkualitas hebat.

Sebelum Piala Thomas 2020 yang dimundurkan setahun karena pandemi ini digelar, Indonesia sampai memiliki tujuh ganda putra yang semuanya siap bermain dalam level tinggi pada Thomas Cup ini.

Selain Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Indonesia masih memiliki Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin, Pramudya Kusumawardana/Yeremia Erich Yoche Yacob Rambitan, Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri, dan Sabar Karyaman Gutama/Moh. Reza Pahlevi Isfahani.

Tak mungkin stok sebanyak ini dihasilkan dari kompetisi biasa-biasa, apalagi dari kompetisi yang lebih kentara untuk seremonial dan cuma adu banyak medali tanpa peduli kepada sportivitas yang ironisnya adalah bagian tak terpisahkan dalam menciptakan atlet-atlet besar yang tak hanya jago kandang namun juga merajai ajang-ajang tersulit mana pun di dunia ini.

Stok sebanyak itu juga dihasilkan dari sistem pembinaan yang profesional, berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak yang tertarik serta peduli kepada kemajuan olahraga nasional, baik itu swasta maupun non swasta.

Kita perlu metode bagaimana bulutangkis membuat dirinya meraksasa seperti sekarang, diadopsi oleh cabang-cabang olahraga lain di Indonesia.

Sudah waktunya kita berpikir tentang keterkaitan kompetisi di level bawah dengan kompetisi level tinggi atau tertinggi sekalipun sehingga prestasi dalam level rendah bisa paralel, sebangun dan sinambung dengan prestasi pada level paling tinggi, seperti ditunjukkan bulutangkis.

Pada akhirnya, sukses bulutangkis putra Indonesia tahun ini lebih dari sekadar terpenuhinya dahaga 19 tahun tanpa Piala Thomas, namun juga momentum untuk mengelola dan membesarkan cabang-cabang lain seperti orang-orang hebat yang mengelola dan membesarkan bulutangkis tetap hebat dari waktu ke waktu seperti saat ini.

(Antara)