HM Arsyad dan Letkol Hasyim Djafar Duet Pahlawan Sejati Asal Kotawaringin Timur

HM Arsyad dan Letkol Hasyim Djafar.//Dok. Gumarang-Istimewa

Penulis: Muhammad Gumarang (Tokoh dan Anak Keluarga Besar Pejuang)

Bangsa kita tidak pernah melupakan peristiwa bersejarah 10 November 1945. Peristiwa yang terjadi di Surabaya, tepatnya tiga bulan pasca kemerdekaan Indonesia ini merupakan pertempuran besar antara tentara Indonesia melawan pasukan tentara Inggris.

Ini merupakan perang pertama pasukan Indonesia melawan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Berawal pada 25 Oktober 1945, tentara Inggris yang tergabung dalam tentara sekutu atau Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya dengan tujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Selain tentara Inggris, tentara Belanda yang tergabung dalam Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng mendarat di Surabaya. Namun, mereka juga punya maksud tersembunyi, yaitu membantu Belanda merebut kemerdekaan Indonesia.

Perang terjadi dimana mana, perlawanan terjadi diseluruh kawasan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir tentara Sekutu dan NICA. Begitu juga terjadi perlawanan di tanah Borneo, yaitu Kalimantan Tengah, khususnya Kotawaringin. Hal tersebut tak lepas peran dari duet dua tokoh pejuang yang berlatar belakang berbeda, yaitu HM Arsyad dan Letkol Hasyim Djafar.

HM Arsyad merupakan perintis kemerdekaan, tokoh perjuang dan penggerak kemerdekaan asal Samuda berlatarbelakang Ulama sebagai sahabat karibnya Cokro Aminoto. Sedangkan Letkol Hasyim Djafar yang berlatar belakang ketentaraan adalah sehabat karib Bung Tomo, sang jenderal dimedan perang atau sang Bapak Pahlawan Nasional 10 Nopember.

BACA JUGA:   Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Pasar Ekonomi Internasional 
Hasyim Djafar dan Bung Tomo.// Dok. Gumarang-Istimewa

Kemudian cucu HM Arsyad yang bernama H.Madjekur Maslan yang juga seorang pejuang kemerdekaan pernah dibuang dan ditahan di Penjara Nusa Kambangan di kawinkan dengan anak Letkol Hasyim Djafar bernama Hj. Misbah HD.

Setelah H.Madjekur Maslan dan saudaranya Baderun Maslan keluar dari penjara Nusa Kambangan karena hasil perundingan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda. Perkawinan cucu dan anak dua tokoh sentral perjuangan tersebut menambah hubungan kental ke dua tokoh tersebut.

Dimotori oleh HM Asyad , Hasyim Djafar, Baidawi Udan, Baderun Maslan, Majekur Maslan, H Umar Hasyim, T K Lewoh dan pejuang lainnya mendirikan Markas Resimen Tentara Keamanan Rakyat dan Badan Pemberontakan Republik Indonesia (TKR/BPRI) Sampit-Kotim dibawah Pimpinan Letkol Hasyim Djafar yang bermarkas di kawasan Kelapa Sawit atau Jalan S. Parman Sampit, sekarang menjadi Museum Kayu.

Sejak saat itulah Markas Resimen TKR/PBRI Sampit-Kotim dengan Pimpinan Letkol Hasyim Djafar yang didukung oleh bataliyon Samuda sebagai Danyon Ali Badoerun Maslan bersama tujuh kompi TKR, yaitu Kompi I wilayah Samuda dengan Danton Tasman Djunaid, Kompi II wilayah Kuala Pembuang sebagai Danki Abdullah Anang Basar,  Kompi III wilayah Mendawai sebagai Danki Ibung Bayan, Kompi IV wilayah Pagatan Haji Saadilah, Kompi V wilayah Pembuang Hulu sebagai Danki Maseri Segap, Kompi VI wilayah Tumbang Samba sebagai Danki Matseh, Kompi VII wilayah Kasongan sebagai Dangki Saifudin.

BACA JUGA:   Faktor Penyebab Krisis Mental Remaja

Akibat adanya perlawanan dari rakyat Kalimantan Tengah, khususnya Kotawaringin terjadi pertempuran antara pasukan TKR/BPRI dengan kolonial Belanda (NICA) terjadi dimana-mana, di daerah Kotawaringin Timur pada waktu itu diantaranya di Sampit, Samuda, Tumbang Manjul dan Sungai Manahan Seruyan Tengah.

Khususnya pertempuran di Daerah Tumbang Manjul yang dipimpinan Kapten Muljono yang ditugaskan dari TKR/BPRI pusat, kemudian pertempuran di sungai Manahan Seruyan tengah di pimpin oleh Mayor penerbang Tjilik Riwut merupakan  pasukan MN.1001 Angkatan Udara yang diterjunkan di Sambi Seruyan yang diutus oleh pemerintah pusat.

Dari cerita tersebut, ada hal yang sangat disayangkan. Sampai sekarang Hasyim Djafar sebagai tokoh sentral pejuang kemerdekaan kala itu namanya seakan terabaikan.

Tidak ada bentuk penghargaan dan perhormatan serta mengenang jasa pahlawan secara nyata dari pemerintah daerah, semisal diabadikan menjadi nama jalan atau nama pada fasilitas umum lainnya. Begitu juga seharusnya terhadap pejuang pejuang lainnya, karena mereka tak pernah minta jabatan, kedudukan maupun kemewahan, sekalipun mereka kadang harus menderita dengan keluarga dan keturunannya, sekalipun Indonesia sudah Merdeka.***

(Visited 128 times, 1 visits today)