Catatan Perjalanan Rendy Aditya, Makam Massal dan Tugu Perdamaian Sampit

LOKASI :IM/BERITASAMPIT - Rendy Aditya Paraja, tim kaderisasi nasional PB PMII saat mengunjungi makam massal Km 13.8 Jalan Jenderal Sudirman Kota Sampit.

Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) tim Kaderisasi Nasional, Rendy Aditya Paraja melakukan ziarah ke makam massal Kota Sampit.

Kunjungannya usai menjalankan tugas organisasi, ia pertama kali berjalan ke Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Keberagaman dan khas Budaya Nusantara dari Sabang sampai Merauke sangat banyak. Di momen itu, ia tak menyiayiakan waktu untuk berkeliling di kabupaten berjuluk Bumi Habaring Hurung yang artinya gotong royong.

Pejalanan pertama dimulai dari makam massal, ini merupakan pengalaman pertamanya berkunjung secara langsung ke makam massal, saat ke Ambon Maluku dirinya hanya melihat tugu perdamaian atau gong perdamaian.

Rendy menjelaskan, ia yang baru pertama kali ke Kota Sampit dan mengunjungi Makam massal kesan pertama kali yang ia rasakan adalah sunyi, dan hening. Karena letaknya agak jauh dari keramaian kota.

“Saya baru saja melewati papan penunjuk jalan ke makam massal dan itu sudah terlihat agak memudar warnanya,” singkatnya.

Maklum jarak tempuh untuk menuju makam massal yang terletak di Jalan Sudirman KM 13,8 Sampit-Pangkalan Bun Kalimantan Tengah ini masuk lewat sebuah jalan kecil menembus ke tengah ilalang.

Jalan kecil sepanjang 300 meter ini tak lain adalah jalan menuju makam korban massal tragedi Sampit, yang dibangun lebih dari 11 tahun yang lalu.

Saat sampai di titik tujuan terlihat dengan jelas sebuah papan berukuran besar dengan ukiran nama peristiwa dan tanggal tragedi kala itu.

“Begitu masuk area pemakaman, saya melihat ada beberapa nisan dan ruang teduh. Nisan itu hanya bertuliskan keterangan waktu. Sementara ruang teduh tadi terdapat meja dan kotak amal. Tak kelihatan isinya,” sebutnya.

Sempat terlintas dalam benaknya. Apakah Makam massal ini kurang dijamah atau tidak ada penjaga makamnya?

“Ada rasa pilu ketika mendengar penjelasan kawan yang membawa saya ke tempat ini. Mulai dari jumlah jenasah korban tragedi yang tidak sedikit,” ujarnya.

Di areal kuburan itu terdapat 5 buah batu nisan bertuliskan 19 Februari 2001, tampak berdiri tegak di tengah areal pemakaman berukuran 50 meter x 50 meter ini.

“Sayang sekali bila makam massal ini tidak dirawat. Sebab tempat ini menandakan peristiwa dan lekat dengan sejarah. Tentunya tempat ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi generasi kini dan nanti,” katanya lagi.

IM/BERITASAMPIT – Tugu perdamaian Kota Sampit yang terletak di Jalan Sudirman KM 3.

Usai dari makam massal, Rendy mengunjungi tugu Perdamaian Sampit yang terletak di Km 3 dekat dengan islamic center. Ia melihat tugu perdamaian tersebut identik dengan simbol dan ukiran khas Dayak.

“Ada gong perdamaian seperti di Maluku, dan kali ini saya jumpai tugu perdamaian di Sampit. Gong perdamaian di Maluku dipenuhi simbol kepercayaan yang dianut manusia di dunia. Namun di sini, pada tugu, saya melihat ada bentuk yang beda. Ada rasa kagum selain taman. Ialah arsitektur pada tugu. Pola yang melengkung dan diujungnya berkepala burung Tinggang. Bila saya lihat dari kejauhan, lengkungan itu membentuk sebuah wadah (tempayan) dan suku asli Kalimantan, terutama Dayak lekat dengan benda itu. Artinya pada tugu ini ada cita rasa seni yang hadir, terasa kental dengan nuansa Kalimantan juga tulisan bernuansa Arab. Saya belum banyak tanya tentang makna dari tugu tersebut,” ceritanya panjang.

Tugu ini sendiri merupakan penanda dan untuk mengenang perisitiwa tragedi Kota Sampit. Tragedi itu menurutnya adalah suatu peristiwa kelam yang memilukan bagi bangsa Indonesia.

Di dalam tugu pria asal Kalimantan Utara, Kota Tarakan ini dengan penuh penghayatan melihat secara detail kayu ulin menancap tinggi dan dipenuhi ukiran.

Ukiran dari kayu ulin dengan bentuk bulat tersebut mulai nampak pudar warna dan terkelupas. “Terdapat ukiran benda seperti Mandau, dan manusia. Sebuah gambaran. Apakah ukiran itu menjelaskan sebuah peristiwa? Bila ada, peristiwa apakah itu?,” tanya ia dalam benaknya.

Kayu ulin yang menancap itu sudah ada lebih dulu sebelum adanya tugu dan taman ini. “Walau hanya melihat ukiran, tetapi terasa ngeri ketika melihatnya ukiran itu lebih jauh dan menghayatinya,” katanya.

Disekitar tugu itu tepat di bagian bawahnya ada semacam jalan menuju ke dalam. Jalan itu tergenang air. Di sana ada pintu terbuat dari besi. Begitu gelap dari luar sehingga muncul kesan misteri. Sehingga muncul dalam benak. Apa yang ada di dalam sana? Apakah orang-orang tertentu saja yang bisa masuk kesana.

“Saya menangkap kesan misteri kepada tugu kayu ini, karena ukirannya yang belum saya ketahui maknanya, juga kesan ngeri mengenai tengkorak di sana. Begitu juga ruang di bawahnya yang gelap yang masih ada tanya, masih misteri,” tutupnya.

(im/beritasampit.co.id).