Peran Legal Opini Kejaksaan dalam Legalisasi Izin Usaha Pertambangan

JAKARTA – Sejak tahun 2009 sampai saat ini telah terjadi beberapa kali perubahan administrasi perizinan tambang di Indonesia.

Pada tahun  2009-2014, penerbitan izin tambang menjadi kewenangan Bupati, kemudian di tahun 2014-2020 kebijakan tersebut direvisi menjadi penerbitan izin tambang menjadi kewenangan Gubernur.

Namun pasca diterbitkannnya UU Ciptaker, kewenangan IUP bergeser menjadi kewenangan Pusat, dalam hal ini KESDM dan Meninvest. Perubahan kewenangan dari daerah ke Pusat tentunya menyebabkan kompleksitas tata kelola perizinan, khususnya tambang.

Belum adanya aturan teknis atas UU Ciptaker terkait dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mendorong kegamangan dan carut marut tata kelola IUP yang menyebabkan ketidakpastian hukum tata kelola IUP.

Hal ini terungkap dalam diskusi publik tentang Tata Kelola Perizinan Usaha Pertambangan di Indonesia; Peran Legal Opini Kejaksaan dalam Legalisasi IUP, di Jakarta, Jumat 19 November 2021.

Pelaksanaan diskusi dilatar belakangi oleh keberadaan Legal Opinion (LO) yang menjadi dasar penerbitan sejumlah izin pertambangan oleh dinas terkait. Hal  tersebut menjadi concern Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (PUSKAPU) untuk mereview implikasi terhadap akuntabilitas tata kelola pertambangan di Indonesia.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Hery Susanto, menyebutkan, bahwa laporan pada bidang pertambangan naik 100% lebih setelah diterbitkannya Surat Dirjen Minerba Kementerian ESDM Nomot 20004/30/DJB/2000 tangal 26 Agustus 2020 kepada Kepala Dinas Provinsi.

“Surat tersebut memuat perihal penegasan penyampaian IUP Non C&C bahwa permasalahan izin tambang dapat disampaikan kepada lembaga pengadilan dan Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti Ombudsman,” paparnya.

Keberadaan LO Kejaksaan, alih-alih menjadi terobosan dalam memberikan kepastian hukum dan perbaikan tata kelola perizinan usaha tambang, sebaliknya memunculkan potensi maladministrasi oleh instansi terkait.

“Seperti pada kasus penundaan proses administrasi permintaan pertimbangan legal opini (LO) kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah dan menunda proses lebih lanjut ke Kementerian ESDM RI, yang termuat dalam surat Gubernur Provinsi Sulteng Nomor: 970/357/GUB.ST tanggal 4 Oktober 2021,” katanya.

Menurut Hery Susanto, penjelasan surat tersebut mengindikasikan bahwa penerbitan sejumlah LO Kejaksaan Tinggi Sulteng tersebut menyisakan persoalan baru di sektor pertambangan, khususnya di Sulteng, diantaranya adalah indikasi penyimpangan prosedur dan lainnya. Sampai saat ini, menurut Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sulteng, sudah terdapat 120 IUP yang diterbitkan dari 400 permohonan IUP.

Pengamat hukum dan Tenaga Ahli DPR RI Bidang Hukum, Suratman, mengatakan, terdapat keanehan politik hukum dari Perarturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-025/A/JA/11/2015 yang menjadi dasar pemberian legal opini dalam perizinan pertambangan tapi tidak mencantumkan regulasi terkait dengan dalam pertimbangan hukumnya.

“Oleh karena itu peraturan tersebut sebaiknya direvisi atau dikeluarkan dari perizinan tambang. Alasan lainya, karena LO bersifat fakultatif dan tidak dapat mengikat secara hukum. Dalam hal apabila didapati maladministrasi dalam perizinan IUP, maka menjadi ranah Ombudsman RI untuk melakukan pengawasan,” katanya.

Diskusi yang digelar secara daring ini sedianya menghadirkan 6 nara sumber, terdiri dari Ombudsman RI, Dirjen Minerba KESDM, Jamdatun Kejaksaan Agung, Dinas ESDM Sulawesi Tengah dan Suratman SH, pengamat hukum dan Tenaga Ahli DPR RI Bidag Hukum. Namun perwakilan dari Dirjen Minerba KESDM dan Jamdatun Kejaksaan Agung tidak dapat dikonfirmasi kehadirannya dalam diskusi tersebut.

(Rilis/beritasampit.co.id_BS-65)