Pembelajaran Penting Hadapi Bencana

Personel TNI bersama warga lainnya mengevakuasi warga yang terjebak banjir di Kecamatan Bireum Bayeun, Kabupaten Aceh Timur, Jumat 31 Desember 2021. (ANTARA/dok.ft_Kodim 0104 Aceh Timur)

JAKARTA – Sepanjang tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.092 kejadian bencana yang didominasi bencana hidrometeorologi.

Bencana hidrometeorologi basah yang sering terjadi seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor, diperparah dengan fenomena La Nina.

Tercatat sebanyak 1.298 kejadian banjir, disusul cuaca ekstrem 804 kejadian, tanah longsor 632 kali, kebakaran hutan dan lahan sebanyak 265 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 45, gempa bumi 32, kekeringan 15 dan satu kejadian erupsi gunung api.

Dari sejumlah bencana tersebut, warga yang terdampak dan mengungsi sebanyak 8.426.609 jiwa, luka-luka 14.116, meninggal dunia 665 jiwa dan hilang 95.

Sedangkan dampak kerusakan tercatat rumah sebanyak 142.179 unit, fasilitas umum 3.704, kantor 509 dan jembatan 438. Rincian kerusakan rumah yaitu rumah rusak berat 19.163 unit, rusak sedang 25.369 dan rusak ringan sebanyak 97.647.

Jika dibandingkan kejadian bencana pada 2021 lebih sedikit dibandingkan 2020 yang tercatat sebanyak 4.649 kejadian, atau turun 33,5 persen.

Namun yang menjadi sorotan, jumlah korban yang meninggal dunia lebih tinggi. BNPB mencatat korban meninggal pada tahun ini sebanyak 665 jiwa, atau naik 76,9 persen.

Kenaikan tidak hanya pada jumlah korban jiwa tetapi juga korban luka-luka, warga terdampak dan mengungsi serta rumah rusak.

Dampak signifikan

Pada taklimat media yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang diikuti secara daring, Rabu (29/12), Kepala BNPB Suharyanto menyebut angka kejadian bencana menurun namun memberikan dampak signifikan.

“Artinya semakin tahun, dampak terjadinya bencana baik menimpa atau berdampak pada jiwa manusia semakin signifikan,” ujar Suharyanto.

Suharyanto mengungkap kejadian bencana paling dominan adalah banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, dan gelombang pasang yang menyumbang 89,7 persen atau 2.072 kejadian bencana.

BNPB juga mencatat daerah paling banyak kejadian bencana diantaranya Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah.

“Daerah tersebut perlu peningkatan tahap penanggulangan bencana dari mitigasi, edukasi dan penanganan darurat,” ujar dia.

Adapun dampak bencana merusak yaitu pada kejadian Gempa Mamuju, Sulawesi Barat pada Januari 2021 dan Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur pada April 2021.

Kemudian yang paling dominan menyebabkan korban luka yakni pada kejadian Gempa Mamuju, Sulawesi Barat pada Januari 2021 dan awan panas guguran Semeru pada Desember 2021.

Kemudian persentase kelengkapan sistem peringatan dini bencana hidrometeorologi dan tektonis dengan target 92 persen, hingga kini masih dalam penghitungan.

Terkait Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) rata-rata nasional, menurut Suharyanto telah terjadi penurunan. Dia mengatakan rata-rata penurunan IRBI pada periode 2019-2020 adalah 1,64 persen dan pada tahun 2020-2021, nilainya akan segera keluar di akhir tahun.

Pembelajaran bencana

Pembelajaran dari rangkaian kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air penting untuk dijadikan acuan bagi rencana kesiapsiagaan yang lebih baik di tahun-tahun ke depan.

Utamanya, masyarakat harus “melek” literasi kebencanaan khususnya tentang kejadian bencana besar yang pernah terjadi di masa lalu. Seperti halnya mengetahui peristiwa Siklon Tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1973 lalu, yang kembali terjadi pada tahun ini.

Sekretaris Utama BNPB Lilik Kurniawan mengatakan literasi kebencanaan harus sampai kepada masyarakat.

“Tidak cukup berhenti kepada pemerintah daerah saja. Masyarakat di wilayah rawan bencana juga harus mengetahui potensi bahaya di sekitar, seperti di NTT,” ujar Lilik.

Pembelajaran berikutnya yang harus dipahami mengenai upaya mitigasi risiko gempa dengan penguatan bangunan dan kesiapsiagaan masyarakat.

Hal ini tidak hanya pada pembangunan rumah yang baru, tetapi juga penguatan tempat tinggal warga yang sudah ada dan berada di kawasan rawan gempa bumi.

Penguatan struktur bangunan atau retrofitting bisa menjadi salah satu pilihan, tentunya harus dengan biaya murah dan bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Lilik juga mengatakan perlu adanya mitigasi kultural dimana masyarakat diajak mengetahui langkah-langkah apabila gempa bumi terjadi, misalnya cara evakuasi, titik kumpul hingga simulasi atau latihan kesiapsiagaan.

Terakhir mengenai bencana erupsi Semeru pada awal Desember 2021, BNPB melihat kembali peringatan dini kegunungapian yang perlu dikoordinasikan dan disempurnakan dengan lebih terintegrasi, khususnya untuk perintah evakuasi di saat kontingensi dan darurat.

Penyesuaian level aktivitas gunung api yang tidak hanya berpatokan pada aktivitas erupsi tetapi juga aktivitas vulkanik lain, seperti awan panas guguran yang mengancam keselamatan masyarakat.

Restorasi ekosistem

Kejadian bencana pada 2021 tidak terlepas dari faktor alih fungsi peruntukan lahan.

Permasalah tata ruang, khususnya yang berbasis mitigasi risiko tampak sesuatu yang mudah diucapkan.

Namun pada tahapan implementasi masih menjadi tantangan, terutama penekanan pada konteks penanggulangan bencana.

Dalam hal tersebut, BNPB meminta peran dari segenap masyarakat dalam kontrol sosial di lapangan.

Di samping itu, catatan BNPB mengenai pemulihan daya dukung lingkungan juga harus dilakukan secara optimal. Kejadian hidrometeorologi basah pada tahun 2020 semakin diperparah oleh menurunnya daya dukung lingkungan sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.

Kemudian perubahan lanskap secara masif terlihat yang pada gilirannya menyebabkan degradasi lingkungan pada sisi hulu dan sepanjang aliran sungai.

BNPB melihat perlu adanya upaya mempertahankan kawasan lingkungan dan ekosistem yang sangat penting dalam mengurangi potensi banjir, khususnya pada DAS panjang yang perbedaan elevasi rendah.

“Ketika kita berbicara kejadian bencana yang frekuentatif setiap tahun maka harus ada solusi permanennya. Salah satu solusi permanen adalah kita restorasi lingkungan kita,” ujar Pelaksana tugas Kapusdatinkom Bencana BNPB Abdul Muhari.

Abdul Muhari mengatakan ketika terjadi banjir besar, tidak dapat berharap dalam 1-2 hari banjir akan surut. Sebab proses penurunan kualitas lingkungan yang berjalan sekian puluh tahun.

Tentunya pembelajaran dari serangkaian bencana yang terjadi pada 2021 akan sangat bermanfaat apabila seluruh pihak dapat memahaminya, guna kesiapsiagaan di tahun-tahun mendatang.

Masyarakat Indonesia hendaknya kembali lebih bijak dalam mengelola lingkungan, membaca tanda alam dan berdamai dengannya.

(Antara)