IPK 2021 Jadi Gambaran Pemberantasan Korupsi Masih Harus Dibenahi

Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding. ANTARA/Benardy Ferdiansyah

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau “Corruption Perception Index” (CPI) pada 2021 menjadi gambaran pemberantasan korupsi di Indonesia masih harus dibenahi.

“CPI ini merupakan gambaran kondisi korupsi di Indonesia yang masih harus terus dibenahi. KPK mengapresiasi upaya segenap elemen bangsa untuk mendorong peningkatan skor,” kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 25 Januari 2022.

Transparency International Indonesia (TII) telah merilis IPK tahun 2021 dengan skor 38 di mana naik satu poin dari skor sebelumnya, yaitu 37 pada 2020. Dengan skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei. Skor itu juga masih di bawah rata-rata, yakni 43.

“Kenaikan satu poin ini ditunjang oleh beberapa faktor antara lain kenaikan signifikan pada faktor risiko korupsi yang dihadapi oleh pelaku usaha pada sektor ekonomi,” kata Ipi.

Namun demikian, lanjutnya, TII juga memberikan catatan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan serius khususnya pada dua sektor, yakni korupsi politik dan penegakan hukum. Kedua aspek itu masih belum ada perbaikan yang signifikan.

“Selain itu, merujuk pada pengukuran atas capaian upaya pemberantasan korupsi lainnya seperti Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang mengukur persepsi masyarakat terhadap berbagai bentuk perilaku korupsi yang termasuk ‘petty corruption’ yang dianggap lumrah dan pengalaman dalam mengakses layanan publik masih menunjukkan sikap masyarakat yang permisif terhadap perilaku koruptif,” ujar Ipi.

Sementara itu, dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) terhadap 640 instansi baik di pusat maupun daerah yang melibatkan 255.010 responden baik dari internal, eksternal maupun ahli, KPK mendapatkan hasil 99 persen instansi terdapat penyalahgunaan fasilitas kantor, 100 persen terdapat korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ).

Selanjutnya, 99 persen masih ada jual beli jabatan dalam promosi/mutasi SDM, 98 persen ada suap/gratifikasi, dan 99 persen terdapat intervensi dalam pengambilan keputusan.

“Berkaca pada hasil pengukuran-pengukuran tersebut, KPK mengajak segenap pihak untuk terlibat dan berperan dalam pemberantasan korupsi sesuai tugas dan kewenangan masing-masing mewujudkan orkestrasi pemberantasan korupsi,” kata Ipi.

Lebih lanjut, Ipi mengatakan KPK saat ini menggunakan tiga pendekatan utama dalam pemberantasan korupsi yang disebut dengan trisula pemberantasan korupsi, yaitu pendidikan, pencegahan, dan penindakan. Ketiga pendekatan itu berfokus pada individu, sistem, dan upaya pemidanaan.

“Upaya pemberantasan korupsi oleh KPK selama ini telah berjalan secara terintegrasi baik melalui upaya pendidikan, pencegahan maupun penindakan sebagai pendekatan yang holistik,” ujarnya.

Sedangkan pencegahan korupsi pada sektor politik, ia mengaku lembaganya telah melakukan sejumlah kajian di sektor politik. Dari hasil studi dan penelitian tersebut, episentrum korupsi politik disebabkan lemahnya sistem politik di Indonesia, khususnya partai politik.

Sebagai upaya pencegahan, kata dia, KPK pada 2016 bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyusun konsep tentang Sistem Integritas Partai Politik (SIPP).

Hasil kajian mengidentifikasi lima masalah utama penyebab rendahnya integritas partai politik, yaitu belum ada standar etika partai dan politisi, sistem rekrutmen yang belum berstandar, sistem kaderisasi yang belum berjenjang dan belum terlembaga, masih rendahnya pengelolaan dan pelaporan pendanaan partai yang berasal dari negara, dan belum terbangunnya demokrasi internal partai. (Antara/beritasampit.co.id).