Tempat Pelestarian Satwa Endemik Wehea-Kelay di Kaltim Miliki Keseimbangan Pengelolaan Ekonomi

Anggota Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Wehea-Kelay menjalani pelatihan di Samarinda, dua hari lalu, untuk meningkatkan kualitas pengelolaan KEE. ANTARA/HO KEE Wehea-Kelay

SAMARINDA – Bentang Alam Wehea-Kelay di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau, Kaltim yang dikenal sebagai pelestarian orang utan, keberadaan bukan sekedar untuk pelestarian satwa endemik, tapi juga untuk keseimbangan pengelolaan ekonomi masyarakat.

“Pengelolaan Bentang Alam Wehea-Kelay masih memiliki banyak potensi yang belum tereksplorasi. Selain pelestarian satwa endemik, masih banyak nilai ekonomi yang belum dianalisis,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) EA Rafiddin Rizal di Samarinda, Sabtu 19 Februari 2022.

Rizal yang juga Ketua Forum Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay ini melanjutkan, Bentang Alam Wehea-Kelay dengan luas 532 ribu hektare, merupakan salah satu habitat penting bagi flora dan fauna di Pulau Kalimantan.

Kawasn ini memiliki luasan sekitar 2 persen dari luas hutan di Kalimantan, menjadi habitat bagi sekitar 35 persen mamalia di Kalimantan, 41 persen burung terrestrial, 20 persen reptil, dan 46 persen amfibi.

“Salah satu yang menjadi perhatian utama dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay adalah orang utan kalimantan (pongo pygmaeus morio),” kata Rizal.

Bentang alam ini dikelola secara kolaborasi oleh Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Wehea-Kelay dengan mengarahkan pengelolaan ekonomi berbasis ekologi untuk kesinambungan pengelolaannya.

Dalam pengelolaannya, anggota forum mewakili pemegang konsesi pengelolaan hutan, kemudian ada perkebunan kelapa sawit, masyarakat adat, pemerintah dan mitra pembangunan.

“Dalam menjaga tutupan hutan saja bisa menghasilkan pendapatan dengan nilai emisi yang dihargai melalui skema pendanaan karbon, belum lagi peluang ekonomi lainnya,” katanya.

Selama ini anggota Forum KEE memiliki pengetahuan dasar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di wilayah kerja mereka.

Kemampuan tersebut diwujudkan dalam sejumlah Standard Operationg Procedure (SOP) untuk yang dimiliki tiap konsesi, baik untuk konsesi kehutanan maupun perkebunan sawit.

(Antara)