Seniman di Kabupaten Cirebon Nasibnya Terkadang Bagaikan Kembang  Ciplukan

Keterangan Foto : Ahmad Jajuli – Ketua Dewan Kebudayaan Kab.Cirebon, bersama Putra Alm.Hadoyo MY , Mahesa Windu Segara

Oleh : Ahmad Jajuli ( Ketua Dewan Kebudayaan Kab.Cirebon ).

Bunga atau kembang Ciplukan yang tumbuh subur di daerah pesisir pantai utara yang menghijau ditepian sungai atau di tegalan persawahan. Ia tumbuh besar dan subur, kemudian mati dengan sendirinya,tanpa ada yang memperdulikannya.

Kalaupun ada yang peduli hanyalah segelintir orang kampung yang mencari kembangnya, untuk  dimanfaatkan sebagai obat perut kembung atau masuk angin.

Begitupun seniman di wilayah Kabupaten Cirebon mereka pada tumbuh besar dengan sendirinya. Tapi saat ,mereka pupus dipanggil Sang Illahi, dengan sendirinya kurang dipedulikan oleh pihak-pihak terkait di Pemerintahan.

Kalaupun ada yang peduli  melirik manggil seniman, hanyalah mereka yang butuh hiburan dari sejumlah warga masyarakat atau sejumlah instansi yang akan pentas hiburan.

Inilah , sepenggal dialog dengan Didi Junaedi  Seniman Hiburan Tarling Putra Sangkala, khas budaya Kabupaten Cirebon beberapa waktu lalu sebelum beliau meninggal dunia.

Menyoroti nasib seniman tradisional yang makin ketlingsut (terkesima) menghadapi kemajuan berkesenian. Dan menyusul  pada dekade 1975 sampai dekade tahun 2011 an, daerah Cirebon memiliki seniman bertaraf Nasional dan menjadi murid kesayangan Padepokan Bagong Kussudiarjo, Yogyakarta.

Ia adalah Handoyo MY yang terlahir pada 2 September 1951 di Blok Nyapa Wetan Tegalsari Plered Kabupaten Cirebon, beliau meningga Agustus 1014. Ia ahli seni karawitan , koreografer dan seorang penari.

Dan inilah kisah perjalanan beliau, yang pada tahun 1979 saat menjadi Cantrik Padepokan Seni Bagong Kussdiarjo di bawa misi kesenian ke Jerman Barat kala itu,Perancis, Swiss dan Belanda oleh Bagong Kussudiarjo. Pada era itu Handoyo MY membawakan tarian ciptaannya yang diberinama tari Kesadaran.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Setelah selesai mengikuti pendidikan seni dipadepokan,Handoyo kembali ke Cirebon untuk mengembangkan keahlian seninya dan kembali ke sanggar Pringgading yang didirikan sejak tahun 1975

Sekitar tahun 1989 ia membawa misi kesenian keluar negeri dalam rangka mengikuti Performance at West -East Harizon III Music Festival di Tokyo, Jepang, dengan membawa misi tari topeng Cirebon. Ia sendiri sebagai penati Tayuban Cirebon dan pimpinan rombongan. Ditahun yang sama tampil di Hongkong.

Kemudian pada tahun 1991, mengikuti Kegiatan Kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat ( KIAS) sebagai penata artistik. Kemudian di tahun 1993 berangkat lagi ke Jepang membawa misi kesenian Tari Topeng Cirebon dalam rangka Performance at The 3 Rd Tsuyama International Round Music Festival, ia sebagai penari topeng klana dan pimpinan rombongan.

Sementara kiprahnya didalam negeri tidak kalah dengan seniman lainnya. Sebagai pemilik sanggar Pringgading, ia melatih penari penari asal Cirebon disamping menciptakan karya karya seni tari, karawitan dan koreografer.

Tahun 1980 pada saat pembukaan Porda III Jawa Barat di stadion Bima kota Cirebon dengan 3000 orang penari, Handoyo MY bertindak sebagai koreografer menampilkan tarian kolosal yang sampai sekarang belum terpecahkan karya di wilayah Cirebon.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Kemudian pada saat penyerahan penghargaan Parasamya Purna Karya Nugraha, ia.sebagai koreografer menampilkan 2000.penari di kota Cirebon.

Pada tahun 1994 sebagai penata tari dan gending,mengikuti Festival Tari Nusantara di Jakarta mewakili Jawa Barat dan sebagai penyaji terbaik 10 besar.

Handoyo MY sejak tahun 1987 sampai 2007 sebagai sutradara, penata tari, penata gending pada pegelaran kolosal dengan jumlah penari rata-rata 350 orang di panggung budaya Sunyaragi kota Cirebon dan Jakarya, dalam 18 Cerita babad Cirebon dan Laksamana Cheng Ho. Pagelaran Sendratariwacana Laksamana Cheng Ho adalah pagelaran terakhirnya.

Seni pagelaran kolosal itu tidak lepas dari dukungan tokoh tokoh Nasional asal Cirebon,seperti almarhum H. Ismail Saleh ( Jaksa Agung ) wargi Kraton Kecirebonan, Almarhum Drs Subrata, Usahawan H.Iman Taufik beserta istri,  Agung Laksono, dan Almarhum Khumaedi Syahfrudin, Walikota Cirebon tahun 1995an.

Di bidang karawitan,Handoyo MY menata gending Agung dan gending Alit serta gending kreasi sebagai pengiring tarian yang ditatanya. Sejak tahun 1975, ia mulai melahirkan gending- gending kreasi di Wilayah III Cirebon.

Namun sayang, perhatian dari Pemerintah terhadap Almarhum Handoyo MY, sama sekali tidak ada. Misal memberikan uang santunan yang tidak ‘bekala’ ( waktu panjang.red ) untuk keluarganya. Atau untuk mengenang jasa-jasanya Pemkab Cirebon membangun semacam ‘Padepokan Seni’ dengan nama “Padepokan Senin Hadoyo MY”. SEMOGA.***