Merawat Loksado yang Mendunia

Wisatawan menikmati bamboo rafting alias arung jeram di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. (ANTARA/Bayu Pratama Syahputra)

Suara gemercik air dan burung seakan terdengar bersahutan mengiringi perjalanan saat menyusuri aliran Sungai Amandit dalam wisata bamboo rafting alias arung jeram di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan, pada Sabtu 19 Maret 2022.

Air yang tenang sesekali bergelombang hingga menaikkan adrenalin saat berada di atas rakit bambu yang dikemudikan sang joki dari depan menggunakan batang bambu sepanjang empat meter.

Melewati bebatuan khas sungai dan pusaran air berarus deras menjadi sensasi tersendiri bagi wisatawan yang hanya dibatasi maksimal tiga orang pada setiap rakit bambu.

Perjalanan dengan waktu tempuh 2 jam 30 menit terasa singkat manakala keindahan alam Loksado dapat dinikmati dari Sungai Amandit dengan airnya yang jernih, khas dataran tinggi kawasan Pegunungan Meratus.

Aneka jenis bunga anggrek spesies Meratus yang menempel di batang pohon-pohon besar pun turut menghiasi indahnya alam Loksado, yang terus lestari menyambut antusias wisatawan yang datang silih berganti.

Berangkat dari Desa Lok Lahung dan finis di Dermaga Singgah Bamboo Rafting di Desa Hulu Banyu, tepat di cagar budaya Monumen Proklamasi 17 Mei 1949, yang menurut warga setempat berjarak sepanjang lebih kurang 20 kilometer, wisatawan yang naik rakit bambu dipatok biaya Rp300 ribu per satu rakit untuk maksimal tiga penumpang.

Setiap rakit terdiri dari sekitar 15 batang bambu sepanjang 11 meter yang diikat sejajar menggunakan tali bambu tanpa paku.

Menurut Sapuan (48), salah satu joki bamboo rafting, pembuatan rakit bambu tidaklah mudah. Pohon bambu yang ditebang di hutan harus terlebih dahulu dijemur selama dua bulan hingga benar-benar kering, berubah warna dari hijau menjadi putih kekuning-kuningan.

“Kalau masih hijau sedikit saja, jika terkena batu di air pasti pecah. Daya tahannya juga hanya delapan bulan harus ganti baru,” kata pria yang sudah 20 tahun menggeluti pekerjaan sebagai joki bamboo rafting.

Dia mengaku membeli satu rakit bambu siap pakai seharga Rp200 ribu. Menariknya, setelah digunakan untuk satu kali perjalanan membawa wisatawan, rakit bambu harus dibongkar untuk kembali dibawa di tempat semula saat start, menggunakan mobil bak terbuka dengan biaya Rp60 ribu.

“Jadi setelah dipotong biaya ini itu, saya menerima bersih untuk sekali perjalanan bamboo rafting hanya Rp150 ribu,” tuturnya.

Saat pengunjung ramai, Sapuan mengaku bisa membawa wisatawan untuk tiga kali perjalanan dalam satu hari. Bahkan tak jarang ada wisatawan rela menempuh perjalanan hingga malam hari.

“Biasanya yang sampai malam ini karena berangkatnya terlalu sore. Ada beberapa wisatawan yang keburu ingin pulang besok harinya jadi menyempatkan waktu naik bamboo rafting dengan risiko sampai malam kondisi gelap di sungai,” katanya.

Sapuan tak menampik wisata Loksado turut terpukul akibat pandemi COVID-19. Satu hal yang paling terasa ketiadaan wisatawan asing alias mancanegara yang biasanya ramai.

Bahkan dia menyebut Loksado dengan wisata unggulannya bamboo rafting justru lebih banyak menyedot para bule dari daratan Eropa, Amerika dan Australia, ketimbang wisatawan lokal dalam negeri.

“Kalau zaman dulu bule yang banyak, hanya sebagian kecil pengunjung lokal. Bamboo rafting justru lebih duluan dikenal orang asing yang tertarik, kami juga bingung,” ucap pria yang juga bekerja sebagai penyadap karet, jika permintaan bamboo rafting sedang sepi.

Dari cerita wisatawan mancanegara tersebut, bamboo rafting di Loksado sangatlah unik dan satu-satunya di dunia alias tidak terdapat di negara manapun yang pernah mereka kunjungi.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

“Kami berharap pandemi segera berakhir dan wisata Loksado dapat bebas dikunjungi wisatawan lagi, termasuk para bule,” kata Sapuan, penuh harapan.

Surganya wisata dan budaya

Air terjun Haratai salah satu objek wisata favorit di Kecamatan Loksado. (ANTARA/Bayu Pratama Syahputra)

Loksado ditetapkan pemerintah sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI menyebut KSPN merupakan salah satu program prioritas nasional yang tak hanya pembangunan fisik dan infrastruktur, namun juga nonfisik yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar wilayah KSPN.

Selain sensasi susur sungai ala bamboo rafting yang sudah mendunia, Loksado menjadi surganya wisata alam dengan menyuguhkan banyak titik menarik, di antaranya air terjun Haratai, kolam pemandian air panas Tanuhi, goa Ranuan, air terjun Rampah Menjangan, air terjun Tinggiran Hayam, puncak Langara, air terjun Kilat Api dan riam Pagat Batu yang biasa menjadi favorit wisatawan untuk lahan berkemah.

Tak hanya panorama alamnya yang indah, wisatawan juga bisa menikmati suguhan budaya masyarakat adat Dayak Meratus dengan Subsuku Dayak Amandit di Loksado.

Untuk buah tangan yang terkenal adalah produk kayu manis, dimana Loksado menjadi penghasil pohon kayu manis terbesar di Kalimantan Selatan, dengan kualitas unggulan dan menjadi usaha turun temurun masyarakat.

Kayu manis menjadi komoditas kedua setelah karet. Saat ini harga kayu manis semakin membaik di kisaran Rp70 ribu per kilogram, setelah sempat anjlok di angka Rp16 ribu.

Selain dijual langsung kepada pengepul sebagai rempah-rempah untuk bumbu dapur, kini kayu manis juga dibuat olahan produk sirup dengan harga per botol Rp25 ribu. Minuman sirup khas Loksado inilah yang sekarang menjadi favorit wisatawan untuk dibawa pulang.

Kemudian ada gelang simpai kerajinan anyaman khas Suku Dayak Meratus di Loksado yang juga kerap diburu wisatawan. Bahannya dari tumbuhan yang disebut masyarakat setempat pohon lang’am.

Uniknya, produk gelang simpai bisa dibuat langsung di hadapan wisatawan, sesuai pesanan dan kegunaannya. Harganya tergantung tingkat kerumitan pembuatan dan ukurannya. Untuk ukuran kecil dengan anyaman sederhana dijual mulai harga Rp25 ribu.

Salah satu perajin Miftahul Thaib (31), kerap menunjukkan kepiawaiannya merajut gelang simpai sembari bercerita soal Loksado kepada wisatawan.

Selain menjual aneka produk kerajinan khas Loksado, pria yang akrab disapa Imif ini juga berperan sebagai pemandu wisata atau kerap yang telah fokus dijalaninya selama empat tahun terakhir.

Ditemui saat merajut gelang simpai di pendopo Mountain Meratus Resort, salah satu penginapan terbesar di kawasan wisata Loksado, Imif bercerita banyak kondisi Loksado saat ini.

Menurutnya, kunjungan wisatawan terus membaik sejak akhir Tahun 2021, setelah sepi diterpa pandemi COVID-19 mulai 2020. Mayoritas wisatawan yang datang masih warga lokal Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Sementara wisatawan di luar pulau, seperti dari Jakarta dan Jawa pada umumnya, Sumatera dan Sulawesi yang dulunya juga ramai masih belum terlihat. Apalagi para bule tidak ada lagi, lantaran kebijakan pengetatan dari pemerintah untuk kedatangan dari luar negeri.

“Sejak program vaksinasi dan penurunan level PPKM, wisatawan terus meningkat setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu selalu ramai,” tuturnya.

Untuk penginapan bagi wisatawan tersedia tiga resort, tujuh home stay dan satu guest house. Jika kunjungan meningkat, warga setempat juga membuka “hotel” dadakan di rumahnya.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 02)

Tak jarang wisatawan yang suka menikmati sensasi berpetualang, menggelar kemah tidur di alam terbuka sembari menikmati alam Loksado yang begitu alami di lereng Pegunungan Meratus.

Imif mengaku merindukan suasana Loksado seperti dulu yang ramai dipenuhi orang asing dari berbagai belahan dunia.

Karena sebelum pandemi, hampir setiap hari ada saja turis mancanegara yang datang. Selain murni berwisata, ada juga yang kerap melakukan penelitian, hingga tinggal di Loksado dalam waktu lama.

Pemuda asli kelahiran Loksado, lulusan Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini berharap promosi wisata Loksado makin digencarkan lagi seiring melandainya kasus COVID-19 dan upaya pemerintah mengubah status pandemi menjadi endemi.

Di sisi lain, infrastruktur pendukung semakin dilengkapi untuk lebih memudahkan wisatawan ketika berada di Loksado, termasuk memperbaiki akses jalan dan jembatan sepanjang perjalanan dari Kota Kandangan, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, menuju Kecamatan Loksado, yang berjarak sekitar 40 kilometer. Sementara jika dari Bandara Internasional Syamsudin Noor di Kota Banjarbaru, jaraknya 136 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar empat jam.

“Sisi kanan dan kiri jalan harus dibersihkan dari tumbuhnya rumput dan pohon yang kerap menutupi pandangan pengendara. Kalau bisa juga dilengkapi penerangan agar wisatawan yang menempuh perjalanan malam hari bisa lebih aman dan nyaman,” kata dia.

Imif juga mengampanyekan desa wisata bersih tanpa sampah, termasuk di sungai. Dia mendorong pula lebih banyak pembuatan kamar mandi komunal, sehingga kini tak ada lagi jamban di sungai

Geosite Geopark Meratus

Miftahul Thaib saat memandu wisatawan menikmati arung jeram menggunakan ban karet di Loksado. (ANTARA/Imif)

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan kini terus membenahi kawasan Pegunungan Meratus yang sejak 2018 ditetapkan sebagai kawasan geopark nasional.

Bahkan, melalui Badan Pengelola (BP) Geopark Meratus, pemerintah daerah serius mengusulkan Geopark Meratus menjadi UNESCO Global Geopark, yang penilaiannya dimulai tahun 2022 ini.

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Kalsel Nurul Fajar Desira mengatakan BP Geopark Meratus sudah mengidentifikasi 70 lebih geosite atau situs geografis, tersebar di hamparan Pegunungan Meratus dari tenggara Kabupaten Kotabaru hingga ke utara di Kabupaten Tabalong.

Salah satu geosite itu adalah Loksado yang disebut Nurul Fajar unik karena selain ada bebatuan yang memang menjadi ciri khas di dalamnya juga kekayaan budaya masyarakat Suku Dayak serta memiliki endemik aneka flora dan fauna khusus.

“Loksado memenuhi semuanya, ada geologi (geodiversity), hayati (biodiversity) dan budaya (cultural diversity), sehingga jadi prioritas pengembangan Geopark Meratus, di samping yang lainnya,” kata Fajar, salah satu penggagas pengusulan Geopark Meratus menjadi UNESCO Global Geopark sejak menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Selatan.

Untuk itulah, pariwisata di Loksado bakal terus dikembangkan menjadi lebih baik. Pemerintah daerah memberikan perhatian khusus untuk akses jalan dan jembatan agar wisatawan lebih nyaman menuju lokasi.

“Ada beberapa titik mudah longsor menjadi fokus kami, selain itu diupayakan pelebaran jalan menuju Loksado,” katanya.

Segala upaya tersebut tidak lain sebagai bukti keseriusan pemerintah daerah dibantu seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat untuk merawat Loksado yang mendunia agar tetap menarik minat kunjungan wisatawan, baik lokal maupun luar negeri.

Antara