Petani Sawit Siap-siap Menjerit, Diprediksi Harga TBS Akan Anjlok

Muhammad Gumarang/dokumen pribadi;

Oleh : Muhammad Gumarang (Pengamat Sosial Dan Politik)

Wancana Pemerintah Presiden Joko Widodo menggulirkan kebijakan baru pada tanggal 28 April 2022 mendatang dalam rangka menyikapi terungkapnya mafia ekspor minyak goreng yang merupakan penyebab badai sunami minyak goreng oleh Kejaksaan Agung dengan menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardana; Komisaris  PT. Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affais Permata Hijau, Stanley MA; General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.

Kejadian ini merupakan sikap kerakusan dan ketamakan yang tidak berprikemanusiaan dan selain melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana perlindungan konsomen, tindak pidana ekonomi lainnya juga melanggar hak azasi manusia (HAM) karena menyengsarakan orang banyak untuk hukuman tergolong hukuman berat pasal berlapis.

Malaysia yang merupakan Negara Jiran sebagai pesaing Indonesia dalam ekspor minyak goreng dan CPO, namun kenyataannya ada perbedaan yang menyolok khususnya harga minyak goreng jauh lebih murah dan tidak ada gejolak badai sunami kelangkaan minyak goreng. Bukan berarti tidak ada permasalahan, ada permasalahan namun tidak signifikan seperti di Indonesia yang sampai sekarang yang sebelumnya minyak goreng langka, sekarang sudah beredar normal di pasaran namun harganya melonjak. Hal ini membuat biaya hidup masyarakat menjadi naik dan tidak seimbang dengan kenaikan penghasilan masyarakat ekonomi menengah kebawah apalagi masyarakat miskin.

Harga minyak goreng bersubsidi di Malaysia kalau di-rupiahkan sekitar Rp8.500 per kilogram atau sekitar Rp7.600 perliter dengan menggunakan kemasan polibek khusus untuk kebutuhan rumah tangga bukan untuk untuk industri dan usaha, seperti restoran, hotel dan lainnya. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan minyak curah bersubsidi sekarang harga eceran tertinggi Rp14.000 perliter, namun bebas tidak ada pembatasan seperti di Malaysia.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Sedangkan harga minyak goreng kemasan untuk kebutuhan industri dan usaha di Malaysia kalau di-rupiahkan sekitar Rp19.000/kg atau sekitar Rp18.100/perliter, sementara di Indonesia dikenal dengan minyak goreng kemasan ekonomi, premium dengan harga sekitar Rp25.000 perliter.

Perbandingan harga untuk kebutuhan industri di Malaysia dengan produk kemasan ekonomi, premium di Indonesia juga terjadi perbedaan mencolok yang menimbulkan pertanyaan, apakah biaya produksi dan overhead di Indonesia lebih tinggi?, sedang kompenen biaya misalnya biaya tenaga kerja/upah di Indonesia jauh lebih murah dari Malaysia, begitu juga biaya angkutan/transport. Dimana letak salahnya sehingga harga minyak goreng di Indonesia lebih mahal dari Malaysia, padahal sebaliknya Indonesia seharusnya lebih murah bila dilihat dari keunggulan komperatif yang dimiliki.

Bagaimana rencana Pemerintah pada tanggal 28 april 2022 ini akan menggulirkan kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan CPO. Apakah kebijakan tersebut sebagai sebuah solusi menanggulangi kelakaan minyak goreng dan menjadikan minyak goreng lebih murah dari Malaysia dan/atau hanya sekedar menunjukan sikap pemerintah menyikap kejahatan pelaku pengeksport minyak goreng oleh oknum penjabat dan pengusaha tersebut sehingga Pemerintah lebih terlihat tegas dan pro rakyat, walaupun kebijakan tersebut minim memiliki nilai strategis dan/atau bukan solutif.

Oleh karena kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah jelas memiliki dampak, Pertama, kehilangan devisa dari sektor minyak goreng maupun CPO dan akan menguntung Malaysia, apalagi akibat perang Rusia vs Ukraina akan memaksa Uni Eropa untuk membeli energi alternatif menggatikan minyak dan gas 40% lebih yang di impor dari rusia dilarang, sehingga harga CPO akan naik di internasional. Maka jelas malaysia yang meraup devisa.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Kedua, harga tandan buah segar (TBS) akan anjlok dan berdampak signifikan terhadap petani sawit. Ini menimbulkan petani sawit menjerit alias koleb karena supply dan demand tidak seimbang nantinya atau penawaran melimpah sedangkan permintaan jauh lebih kecil terhadap TBS khususnya.

Ketiga, pabrik kelapa sawit (PKS) nantinya akan terjadi penurunan kapasitas produksi CPO untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar, yaitu industri minyak goreng dan industri biodiesel dalam negeri karena kebutuhan industri minyak goreng bermasalah sekitar 5,7 juta ton pertahun sedang produksi nasional CPO 47 juta ton dan palm kernel oil (PKO) 4,5 juta ton setahun.

Keempat, akan berdampak penurunan terhadap sektor lainya yang memiliki mata rantai dengan sektor perkebunan kelapa sawit.

Disisi lain negatifnya rawan akan penyeludupan CPO dan minyak goreng terutama ke Negara tetangga akibat adanya margin yang sangat menggiurkan bagi pelaku usaha atau spikulan nantinya bila dijual ke negara tetangga.

Disarankan kepada Pemerintah agar meninjau kembali atas rencana kebijakan tersebut dan dilakukan perbaikan kebijakan yang solutif dan efektif agar lebih memiliki nilai strategis dan populis.***