Pemilu dan Refleksi Keterwakilan Perempuan Pasca Reformasi

Ilustrasi kotak suara Pemilu. ANTARA/HO-kpu.go.id

Oleh : Nurhalina

Wacana keterwakilan perempuan dalam panggung politik sudah dimulai sejak kongres Wanita Indonesia pertama tahun 1928, yang meningkatkan kesadaran dan nasionalisme kaum perempuan   untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan juga politik.

Kemudian perjuangan gerakan perempuan dalam mendorong  keterwakilan perempuan dalam politik terus bergulir  sehingga Indonesia meratifikasi  hasil konvensi hak-hak perempuan  tentang  hak-hak politik Wanita  tahun 1952 menjadi Undang-Undang Nomor  68 tahun  1958;

Konvensi tentang penghapusan  segala bentuk diskriminasi  terhadap Wanita tahun 1979  (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination) menjadi Undang-Undang nomor 7 tahun tahun 1984, Konvensi tentang menentang penyiksaan  dan perlakuan  atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;

Konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 beserta protokolnya dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 beserta protokolnya.

Selain upaya ratifikasi terhadap konvensi international tersebut, Indonesia juga telah memberikan perhatian terhadap perlindungan hak-hak perempuan dalam setiap rancangan perumusan berbagai peraturan perundang-undangan.

Wujud nyata perlindungan HAM adalah dengan dimasukkannya Bab XA dalam Perubahan Kedua UUD 1945 yang mengatur lebih rinci tentang hak konstitusi warga negara.

Meskipun ratifikasi konvensi dan jaminan konstitusional HAM telah diberikan oleh UUD 1945, namun yang menjadi permasalahan adalah apa yang sudah dirumuskan di dalam UUD 1945 tersebut di dalam praktek penyelenggaraan negara belum sepenuhnya terpenuhi.

Kaum perempuan masih saja termarjinalkan baik dalam kehidupan rumah tangga, bidang politik, pemerintahan, maupun dalam mendapatkan pekerjaan. Keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang politik adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses demokratisasi.

Mengaitkan isu gender dengan proses demokratisasi adalah sesuatu yang sudah lazim diterima oleh masyarakat, oleh karena di dalamnya terintegrasi hak-hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar.

Dalam upaya meminimalkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, serta bertalian dengan upaya meningkatkan peran perempuan di lembaga eksekutif, legislatif maupun pada penyelenggara Pemilu telah dilakukan berbagai ikhtiar.

Misalnya dimasukannya unsur keterwakilan perempuan dalam berbagai tahapan pemilu yang telah diatur dalam UU Pemilu seperti keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislative, dalam verifikasi vaktual peserta Pemilu, dan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu.

Namun terhadap hal ini, muncul keinginan agar representasi perempuan  baik pada lembaga penyelenggara pemilu maupun di lembaga legislative dan eksekutif ditingkatkan.

Keinginan untuk meningkatkan representasi perempuan pada lembaga negara didasarkan pada pengalaman di masa yang lalu bahwa representasi perempuan masih sangat minim meskipun  UU Pemilu pasca reformasi telah menjamin keterwakilan perempuan minimal 30%.

Hasil pemilu legislative Tahun 2004-2019 menyisakkan serangkaian evaluasi dan refleksi kebijakan affirmative untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan.

Di satu sisi hasil Pemilu 2004-2019 menaikan keterwakilan perempuan di legislatif dan rata-rata sebagian besar di DPRD Provinsi.

Walaupun ketercapaian keterwakilan perempuan pada tingkat nasional  belum signifikan (masih di bawah 30%), namun dengan bertambahnya jumlah perempuan di lembaga legislative  merupakan hal yang patut untuk diapresiasi.

Pasca reformasi pada periode 1999-2004, dari 500 anggota DPR ada 45 perempuan (9%). Jumlah ini naik pada periode 2004-2009 menjadi 61 perempuan dari 500 anggota DPR (11,09%) dan pada periode 2009-2014 menjadi 101 perempuan dari 560 orang (18,04 %). Pada periode 2014-2019, yakni 97 perempuan dari 560 orang (17,32%).

Sedangkan pada pemilu 2019  menghasilkan keterwakilan perempuan terbanyak sepanjang sejarah. Terdapat 118 atau 20,5% dari 575 kursi DPR akan diduduki oleh perempuan (Direktorat Politik dan Komunikasi, Bappenas, 2019).

Selain keterwakilan perempuan dalam parlemen, hal penting yang perlu diperhatikan adalah kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu.

Karena lembaga penyelenggara pemilu adalah muara politik yang mengatur seleksi kepemimpinan negara. Kehadiran perempuan dalam lembaga tersebut dapat mendorong kebijakan politik atau penyelenggaraan pemilu yang sensitif gender.

Sayangnya persentase perempuan di lembaga penyelenggara pemilu, masih minim. Di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, hanya ada satu perempuan dari tujuh komisioner.

Begitu pula di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, hanya ada satu perempuan dari lima komisioner. Sementara di level provinsi dan kabupaten/kota, perempuan rata-rata hanya mencapai 20 persen (Pusat Kajian FISIP UI, 2021).

Jika ditelaah kembali, banyak tantangan perempuan untuk masuk dalam lembaga penyelenggara pemilu. Banyak pihak menilai bahwa, sumber daya perempuan potensial yang memenuhi kualifikasi masih terbatas terutama suberdaya non partisan yang tidak berada pada lembaga eksekutif maupun legislatif.

Selain itu masih minimnya pengetahuan tentang kepemiluan, apalagi universitas yang mendalami jurusan tersebut  tidak begitu banyak terutama di daerah-daerah pelosok, sehingga pada umumnya pengetahuan tentang kepemiluan diperoleh dari upaya otodidak yang dilakukan secara mandiri.

Rekam jejak perempuan dalam organisasi dan kepemiluan juga masih tertinggal jika dibandikan kaum laki-laki yang lebih dahulu terjun ke dunia politik. Namun yang paling penting dalam sistem ini adalah proses seleksi dan rekrutmen yang masih netral gender.

Diketahui bahwa UU Pemilu telah mengakomodir keterwakilan perempuan minal 30% dalam lembaga penyelenggara pemilu pada semua tingkatan namun hal ini  masih sulit diimplementasikan karena sifatnya belum mandatory atau affirmative action sehingga tidak ada sanksi jika tidak terpenuhi.

Hasil  refleksi ini menunjukan bahwa langkah afirmatif dengan segala kontroversinya ternyata mampu membuka ruang yang lebih besar  dan dimanfaatkan oleh perempuan dengan beragam latar belakang untuk berkiprah dalam politik baik sebagai peserta maupun sebagai penyelenggara pemilu.

Walaupun catatan kritis tetap harus dikemukakan karena jika dilihat dari setiap daerah pemilihan maka sebetulnya 30% perempuan belum merata pada semua daerah pemilihan.

Oleh karena itu terlepas dari semua kepentingan yang ada, dibutuhkan sistem kepemiluan yang efektif  guna meningkatkan keterwakilan perempuan pada semua sektor, kendati demikian kualitas kader perempuan perlu juga  terus ditingkatkan.

*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Palangkaraya,  Wakil Ketua KNPI Kalteng, Sekretaris Umum MW Forhati Kalteng.