Dewan Kalteng Tegaskan Penyampaian Aspirasi Harus Sesuai dengan Budaya Sopan Santun

Hardi/BERITA SAMPIT - Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Achmad Rasyid

PALANGKA RAYA – Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Achmad Rasyid menegaskan, siapa saja yang melakukan unjuk rasa dan pada waktu menyampaikan aspirasi harus sesuai dengan budaya sopan santun.

Hal itu disampaikannya saat menanggapi rencana pengesahan undang-undang penghinaan terhadap kekuasaan umum, dalam hal ini yaitu lembaga negara antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota.

“Saya pribadi sependapat dengan adanya undang-undang ini, karena mengingat Indonesia sebagai negara yang memiliki budaya sopan santun, hal itu harus diimplementasikan dimanapun dan kapanpun, bahkan ketika berunjuk rasa,” ucapnya melalui rilis yang diterima pada Selasa 21 Juni 2022.

Dirinya memahami, seperti halnya unjuk rasa merupakan salah satu hak warga negara, untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah maupun penguasa, akan tetapi didalam konteks setiap aspirasi disampaikan dengan norma-norma kesopanan, tanpa ada unsur penghinaan didalamnya.

“Saya rasa siapapun itu kalau dihina, dicaci maki, atau sebagainya pasti merasa marah. Nah, dari sini memang sudah seharusnya dibentuk undang-undang ini, agar didalam menyampaikan aspirasi, masyarakat bisa lebih tertata lagi bagaimana bahasa yang baik dan tidak memakai unsur penghinaan,” jelasnya.

Di sisi lain, didalam pembentukan undang-undang ini juga pihak-pihak terkait harus memperhatikan beberapa hal, jangan sampai nantinya malah membuat pembatasan terhadap penyampaian aspirasi masyarakat kepada penguasa.

“Jangan sampai undang-undang ini memukul rata bentuk penghinaan itu, harus ada pasal-pasal yang menyatakan bentuk penghinaan itu seperti apa dan mana pasal yang tidak menghina, ini yang harus diperhatikan. Artinya, jangan sampai juga begitu unjuk rasa lalu disebut penghinaan,” tegasnya.

Pasal-pasal yang dimuat pada undang-undang ini harus dibuat sebaik mungkin, sehingga kedepan tidak menimbulkan multitafsir dari masyarakat yang dapat memicu permasalahan baru, dan dalam membuat undang-undang juga harus ada usur kehati-hatian.

“Semuanya harus jelas, bentuk penghinaan itu apa saja yang dimuat. Harus jelas disitu, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dari masyarakat. Yang kita harapkan juga, masyarakat ketika menyampaikan aspirasinya jangan sampai ada unsur penghinaan, sampaikan dengan sopan santun dan kata-kata yang memiliki tatakrama sesuai bahasa budaya Indonesia,” tandasnya. (Hardi/beritasampit.co.id)