Perlu Reformulasi Kemandirian Ekonomi di Tengah Dinamika Global

Tangkapan layar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad saat Seminar Kajian Tengah Tahun 2022 INDEF secara daring, Rabu (6/7/2022) (ANTARA/YouTube INDEF).

JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyampaikan perlunya reformulasi kemandirian ekonomi di tengah dinamika global.

“Saya kira ada enam langkah, pertama kita tau pangan tidak boleh dilupakan dan tidak boleh ditiadakan dalam kebijakan prioritas. Sehingga perlu meningkatkan produktivitas dalam negeri,” katanya dalam alam Seminar Kajian Tengah Tahun 2022 INDEF secara daring, Rabu 6 Juli 2022.

Tauhid menyebut ada lima komoditas yang importasinya masih cukup besar di 2022. Selain gandum yang di impor 100 persen, ada kedelai, bawang putih, daging sapi dan gula pasir.

Menurutnya, Indonesia memiliki kelemahan dalam mengatasi importasi dan masalah produktivitas. Sehingga produktivitas yang dimulai dari tenaga kerja hingga penggunaan teknologi dalam pemenuhan kebutuhan pangan harus diperhatikan.

“Kala kita ingin reformulasi dari sisi pangan, maka ini harus dibenahi termasuk beberapa komoditas importasi yang cukup besar dalam tahun 2002 ini dan cenderung beberapa komoditas yang posisinya tidak banyak berubah dari tahun ke tahun,” ucapnya.

Langkah kedua adalah peningkatan penggunaan produk dalam negeri pada sektor industri prioritas dan UMKM. Berdasarkan data Kemenperin, hampir 50 persen industri di dalam negeri memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang kurang dari 50 persen.

BACA JUGA:   Diduga Program Bodong Rice Cooker Gratis Kementerian ESDM, Komisi VII DPR: Harus Diaudit BPK RI

Tauhid berpendapat penggunaan produk dalam negeri prioritas bisa digunakan dalam mesin dan peralatan pertambangan, mesin dan peralatan migas, alat berat, konstruksi dan material handling, hingga peralatan elektronika dan peralatan telekomunikasi.

“Belajar dari negara lain, tentu ada mitra lokal yang mampu meningkatkan kualitasnya sehingga bisa meningkatkan komponen TKDN di dalam negeri. Ini saya kira potret 2022 yang perlu kita lihat semakin lebih dalam,” ujar Tauhid.

INDEF juga menyarankan pemerintah untuk memperkuat non-tariff measures (NTM) sebagai penahan importasi agar bisa mendorong peningkatan kualitas dan kapasitas produk-produk yang bisa dikembangkan di dalam negeri. INDEF mencatat Indonesia termasuk negara yang paling sedikit menerapkan NTM sehingga produk impor cukup mudah masuk ke pasar domestik.

“Amerika, Uni Eropa, China dan sebagainya mengembangkan NTM sebagai salah satu barrier ketika menghadapi impor yang cukup besar agar industri dalam negeri juga punya kemampuan untuk bersaing dan lebih mandiri,” tuturnya.

Langkah keempat yang perlu dilakukan, lanjut Tauhid, adalah memperkuat investasi pada sektor hulu migas. Berdasarkan catatan INDEF, realisasi di sektor investasi migas cenderung turun dalam tiga tahun berakhir yang berakibat pada kurangnya keyakinan terhadap kemandirian migas.

BACA JUGA:   Mukhtarudin: Pelaku Industri Manufaktur Harus Siap Hadapi Revolusi Industri 4.0

Jika investasi dibiarkan menurun, ia khawatir industri migas tidak punya keyakinan terhadap harga BBM, harga minyak dan harga gas dan berdampak pada besaran subsidi yang harus diberikan pemerintah.

“Yang kelima adalah mengembangkan pondasi inovasi. Kompleksitas produk, diversifikasi produk itu basic-nya adalah inovasi, tapi kita tahu bahwa peringkat kita dalam inovasi itu masih sangat rendah, dari 132 negara kita baru peringkat 87,” ungkapnya.

Oleh karenanya INDEF menyarankan pemerintah mengembangkan inovasi di bidang lingkungan peraturan, pendidikan tinggi, kredit dan investasi, pengetahuan prakerja dan kreatifitas online.

Adapun langkah keenam yang diperlukan untuk mereformulasi kemandirian ekonomi Tanah Air di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian adalah memperkuat pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya UMKM.

Menurut Tauhid, potensi pembelian produk dalam negeri melalui belanja pemerintah memang besar yakni mencapai Rp1.055 triliun, namun pembelian di kementerian/lembaga masih rendah yakni 7 besar, belanja pemerintah provinsi baru 4 persen dan kabupaten/kota 18 persen.

“Bagaimana akan menyerap Rp1000 triliun atau katakanlah target pemerintah Rp400 triliun kalau misalnya target untuk memperkuat penggunaan produk dalam negeri tidak menjadi satu kesatuan yang penting dalam belanja pemerintah,” kata dia. (Antara/beritasampit.co.id).