Kalteng Belajar Pengelolaan Ekosistem Esensial di Kaltim

Rombongan Pemprov Kalteng foto bersama dengan tuan rumah Pemprov Kaltim saat pertemuan di Hotel Mercure Samarinda, Rabu (3/8). ANTARA/HO-Humas YKAN

SAMARINDA – Rombongan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) berkunjung ke Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk mempelajari pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Wehea-Kelay di Kabupaten Kutai Timur hingga Kabupaten Berau.

“Kegiatan hari ini merupakan upaya kami untuk belajar bagaimana pengelolaan KEE di Kaltim,” kata Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng Mathius Hosang saat diskusi di Hotel Mercure Samarinda, Rabu 3 Agustus 2022, dalam rangka kunjungan tersebut.

Selama dua hari (3-4 Agustus), perwakilan dari Kalteng ini dijadwalkan berdiskusi, berbagi pengalaman, dan pembelajaran pengelolaan ekosistem esensial di Kaltim.

Dalam kesempatan itu, Penjabat Sekprov Kaltim Riza Indra Riadi mengatakan, pengelolaan KEE Wehea-Kelay ditangani oleh Forum KEE Wehea-Kelay.

Sementara Forum KEE Wehea-Kelay tercakup dalam 11 inisiatif model yang menjadi bagian dari Kesepakatan Pembangunan Hijau (Green Growth Compact) Kaltim yang dideklarasikan sejak 2016.

“Deklarasi tersebut merupakan upaya Kaltim menuju pembangunan hijau. Konsep Pembangunan Hijau akan menjadi wajah Kaltim ke depan, sekaligus mendukung keberadaan Ibu Kota Negara Nusantara yang juga menganut konsep Smart Forest City,” katanya.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim Raffidin Rizal menyatakan, KEE Wehea-Kelay di Kutai Timur hingga Berau, Kaltim, merupakan ekosistem di luar kawasan konservasi.

Meski di luar kawasan konservasi, namun secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati, yakni mencakup ekosistem alami dan buatan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan.

Sedangkan keberadaan Forum KEE Wehea-Kelay merupakan wadah multipihak untuk mengelola Bentang Alam Wehea-Kelay seluas 532.143 hektare.

Forum tersebut kini memiliki 23 pihak terkait yang bergabung mulai dari pemerintah, akademisi, perusahaan pemegang izin konsesi perkebunan dan kehutanan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan Masyarakat Dayak Wehea.

“Hingga saat ini kami memilih untuk tidak menuju penetapan kawasan, karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” ujar Rafiddin yang juga Ketua Forum KEE Wehea-Kelay itu. (ANTARA)