Gapki Komitmen Penuhi Kewajiban Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sebesar 20 Persen dari Luas Kebun yang Diusahakan

IST / BERITA SAMPIT - Kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah.

PALANGKA RAYA – Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) telah melaksanakan sosialisasi terkait dengan kewajiban perusahaan kelapa sawit dalam pemenuhan ketentuan (FPKM) sebesar 20 persen dari luas kebun yang diusahakan.

Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gapki Pusat, R Azis Hidayat, mengatakan, Gapki pada prinsipnya patuh pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit, yang penting dari peraturan-peraturan itu ada konsistensi dan harmonisasi. Sebab, berkenaan masalah sawit ini, paling tidak ada tiga Kementerian yang mengatur yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian KLHK dan kementerian ATR.

”Adanya tuntutan masyarakat atas FPKM sebesar 20 persen itu tidak bisa dipukul rata untuk semua perusahaan perkebunan sawit, karena kewajiban FPKM sebesar 20% itu sesuai Permentan 26/2007 yaitu kewajiban FPKM untuk masyarakat sekitar tidak diwajibkan bagi kebun yang telah memperoleh izin/ IUP sebelum bulan Februari tahun 2007. Sehingga baru wajib bagi perusahaan perkebunan yang IUP terbit setelah thn 2007,” katanya.

Selain itu saat ini, sudah ada UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja, PP no.26/2020 Bidang Pertanian dan Permentan No.18/2021 yang mengatur tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat sekitar sebesar 20% dari luas kebun yang diusahakan, dan itu sudah dijelaskan serta didiskusikan saat sosialisasi, sehingga semua pihak semakin memahami dan satu persepsi, tidak seperti pengertian yang selama ini masih ada salah tafsir .

Sesuai undang undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya, telah ditentukan adanya kewajiban FPKM. Apabila di sekitar perkebunan tidak ada atau tidak tersedia lahan lagi, telah diatur adanya kegiatan produktif lain yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan masyarakat sekitar yang akan menerima manfaat, yang akan difasilita si oleh perusahaan seperti pola kredit, pola bagi hasil dan atau pola kemitraan lainnya.

“Artinya bukan harus membangun kebun sawit, tetapi masyarakat diberikan opsi sesuai keinginan nya dan disepakati dengan perusahaan, bila masyarakat sekitar ingin beternak sapi boleh, mau usaha perikanan boleh, tapi harus disepakati bersama dengan CP/CL yang telah ditetapkan oleh Bupati atas usulam Kepala Desa dan Camat setempat” kata Azis, saat berbincang dengan awak media terkait tanggapan Gapki atas implementasi kewajiban FPKM 20 persen oleh perusahaan, Rabu 26 Oktober 2022 di Palangka RAYA.

Persepsi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat yang selalu harus dibangun kebun sawit, jelas Azis, adalah persepsi yang dulu, padahal pemerintah telah memberikan solusi bisa dengan kegiatan produktif lain dan kemitraan lainnya. Ternyata peraturan yang ini ada kata kuncinya yakni fasilitasi yang bentuk pembiayaannya bisa dengan Pola kredit, pola bagi hasil, itu yang harus disampaikan kepada masyarakat.

Saat ini Ditjen Perkebunan sedang menggodok Rancangan Peraturan terkait Penentuan Nilai Optimum Produksi Kebun. Itu nanti akan menjadi acuan bagi perusahaan dalam menentukan nilai pembiayaan atas kegiatan produktif lain sebagai pengganti kewajiban membangun kebun masyarakat yang sudah tidak tersedia lahannya lagi.
Sebaiknya juga, pinta Azis, sesuai Permentan No.18/2021 sebaiknya penerima manfaat FPKM agar masyarakat membentuk kelompok petani, gapoktan, dan koperasi, yang nantinya akan menerima fasilitasi pembiayaaan tersebut sesuai dengan nilai optimum produksi yang ditetapkan Ditjebun, bukan perorangan.

Azis menekankan bahwa Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sekitar yang sudah tidak tersedia lahannya dan diganti dengan kegiatan produktif lain, nilai pembiayaannya itu hanya diberikan sekali saja, misalnya perusahaan punya kebun 1.000 hektar, sehingga kewajiban FPKM setara 200 hektar, selanjutnya diperhitungkan dengan nilai optimum produksi kebun sesuai Peraturan Dirjenbun.

“Misalnya nilai optimum produksi rata-rata kebun senilai Rp 1 juta, dikalikan 200 Ha, sehingga totalnya Rp 200 juta, ini nantinya yang disepakati untuk melakukan jenis kegiatan produktif, lalu dibuatkan perjanjian kemitraannya, dan diketahui atau ditetapkan oleh Bupati ( tergantung dari Peraturan Ditjenbun), yang perlu dicatat FPKM tsb hanya diberikan 1( satu) kali saja, namun pelaksanaannya bisa multi years tergantung dari kesanggupan perusahaan,” tegasnya.

Komitmen Gapki kata Azis, jika ada aturan baru akan langsung disosialisasikan kepada anggota dengan mengundang Nara Sumber dari Kementerian terkait yang kompeten. Hanya saja, di Kalteng sebagai contoh dari 300 an perusahaan, baru 103 perusahaan yang bergabung sebagai anggota GAPKI. Diharapkan, bagi yang belum bergabung untuk dapat segera bergabung, karena akan memudahkan dalam melakukan koordinasi dan pengawasan.

Sementara itu, Ketua Gapki Kalteng, Dwi Darmawan, menegaskan, pada dasarnya mereka siap dan berkomitmen dalam mengimplementasikan kewajiban FPKM 20 persen tersebut. Masalah 20 persen ini akan didiskusikan bersama, khususnya terkait ketersediaan lahan dan CP/ CL..

”Gapki Kalteng sangat mendukung langkah yang ditempuh pemerintah provinsi, dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Program kemitraan dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan regulasi yang berlaku. Gapki pada dasarnya taat dengan aturan yang ada. Permasalahannya adalah ketersediaan lahan. Sebab, aktivitas perkebunan kelapa sawit pasti berkaitan erat dengan perizinan, sehingga tidak semua kawasan dapat dijadikan kebun sawit,” pungkas Dwi.(naco)