KEMARAU 

Ilustrasi

Sore itu Sarbun berjalan tertatih-tatih di atas trotoar dekat terminal kota. Ia seperti seorang yang kehilangan akal. Ketika merasa penat ia berhenti berjalan, lalu duduk di bawah sebatang pohon di tepi jalan yang cukup padat kendaraan. Ia tak begitu merasakan lapar dan haus karena pikirannya kalut. Bukan soal kemarau, tapi pembakaran yang disengaja itulah soalnya.

“Kemarau hanya alasan supaya pembakaran itu tampak masuk akal, sehingga tak seorang pun berani menuntut ganti rugi,” gerutu Sarbun sambil mengusap rambutnya yang tak lebat.

“Barangkali orang-orang seperti diriku memang tidak layak merencanakan hidup berkecukupan. Selalu saja ada yang tidak suka. Orang bilang, orang menjadi miskin karena malas kerja, omong kosong! Buktinya, aku sudah bekerja keras membuka lahan, meskipun cuma satu hektar. Namun akulah yang menanaminya bibit karet, akulah yang merawat dan memeliharanya, meskipun bukan aku yang menumbuhkannya. Lima tahun lamanya aku bekerja keras di atas tanah itu, hingga batang-batang karet sebesar ember cor. Lalu datang api merayap dari bawah gambut, lalu satu demi satu batang-batang karet itu kering, tumbang dan mati,”

“Katanya, api  muncul begitu saja dari celah kemarau. Hah, omong kosong! Pembakaran itu memang disengaja dan direncanakan. Buktinya, mengapa tidak dari dulu kebun itu terbakar, mengapa mesti menunggu batang-batang karet di atasnya hingga sebesar ember cor? Sebesar ember cor itu artinya batang-batang karet sudah siap disadap, siap diandalkan untuk membangun hidup secukupnya. Tetapi tiba-tiba semuanya lenyap begitu saja,” gerutu Sarbun lagi.

Di tengah mulutnya yang tetap komat-kamit menggerutu, mata Sarbun melihat sebentuk dompet kulit tersasar di tepi trotoar. Dompet itu sudah tipis dan kumal karena telah berulangkali dilindas ban kendaraan, hingga akhirnya terdampar di situ tanpa ada yang peduli. Sarbun memungutnya untuk sekedar mengalihkan perhatian. Tak disangka, di dalamnya terdapat sekeping Kartu Kredit, KTP, SIM, kertas-kertas berisi agenda rapat dan dua belas lembar uang ratusan ribu. Sarbun memandang isi dompet itu dengan ekspresi biasa-biasa saja.

“Satu juta dua ratus ribu rupiah, apa gunanya? Aku telah kehilangan kebunku yang nilainya puluhan bahkan ratusan kali lebih besar dari ini,” gerutunya sambil memasukkan kembali kedua belas lembar ratusan ribu itu ke dalam dompet.

Ia mengambil KTP, tertulis nama Makbul Karim SAg, pekerjaan PNS, alamat Jl. Karet Alam No.11, umur empat puluh tahun lebih.

“Kasihan kamu, Bul. Kamu kehilangan dompet, tentu kamu bingung juga. Dompet dan segenap isinya ini lebih gampang diganti, tapi batang-batang karet siap sadap itu perlu waktu lima tahun menunggunya hingga sebesar ember cor. Tetapi betapapun kecilnya nilai milik kita yang hilang itu, tetap saja membuat kita bingung. Bukan begitu, Bul?” ucap Sarbun seraya tersenyum pahit.

Ia berharap ada teman yang sama-sama merasa kehilangan. Dompet adalah teman setia tiap-tiap orang. Kemanapun orang berpergian dompetnya akan ikut bersamanya. Bila dompet lupa dibawa orang akan kembali menjemputnya dan meletakkannya di saku belakang yang tersembunyi. Jadi, bila ada orang kehilangan dompet berarti orang tersebut telah kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu sesuatu yang selama ini setia padanya. Orang yang kehilangan itu akan bertanya-tanya, mana dompetku? Hilang di mana? Mengapa hilang? Bagaimana bisa hilang? Dan macam-macam pertanyaan lagi yang akhirnya membingungkan. Maka sewajarnyalah orang yang kehilangan dompet itu dikasihani, bila perlu dibantu sebisanya.

Berpikir demikian lalu Sarbun berdiri bermaksud mencari alamat yang tertera dalam KTP tersebut. Matahari sudah hampir terbenam ketika ia tiba di halaman sebuah rumah di Jl. Karet Alam No.11. Sarbun mengetuk pintu, seorang pemuda tanggung keluar menatapnya heran.

“Cari siapa, Pak?,” tanyanya.

“Cari orang yang bernama Makbul Karim. Apa ini rumahnya?”

“Ada apa, Pak?”

“Bilang sama Makbul Karim bahwa dompetnya yang hilang  akan segera ia temukan, sementara batang-batang karetku tak pernah kutemukan lagi,”

“O, dompet Ayah yang hilang itu? Tunggu sebentar, Pak,” ucap si pemuda tanggung tampak gembira seraya kembali masuk memberitahukan ayahnya.

Sebentar kemudian ia muncul lagi mempersilakan Sarbun masuk dan duduk di sofa ruang tengah rumah mereka.

Makbul Karim keluar dari dalam kamar lalu duduk berhadap-hadapan dengan Sarbun. Keduanya saling pandang sejenak, dan tanpa menunggu lebih lama lagi Sarbun mengambil dompet dari dalam sakunya, mengeluarkan KTP lalu mencocokkan pasfoto dalam KTP itu dengan wajah orang yang duduk di hadapannya.

“Makbul Karim?” tanya Sarbun.

“Ya, saya Makbul Karim.”

“Benarkah Pak Makbul kehilangan dompet?”

“Ya, benar, tiga hari yang lalu.”

“Ini dompetnya saya kembalikan.”

Makbul Karim mengambil dompet dari tangan Sarbun yang terjulur ke arahnya. Makbul memeriksa isinya. Tak kurang suatu apa pun. Hanya dompet itu tampak lebih tipis dan kumal daripada tiga hari yang lalu. Ia memisahkan lima lembar ratusan ribu dari dalam dompetnya.

“Terima kasih, Pak??”

“Saya Sarbun, biasa dipanggil Abun.”

“Oya, terima kasih Pak Sarbun, sudah bersusah-payah mengembalikan dompet saya. Dan sebagai bentuk terima kasih saya, sebagian isi dompet ini saya bagikan untuk Pak Sarbun, terimalah…”

Oh, terima kasih, Pak Makbul, bukan maksud saya menolak rejeki. Bukankah dompet itu saya temukan di tepi trotoar dekat terminal? Bukankah lebih baik saya pulang membawa dompet itu daripada harus ke sini, jika memang saya menginginkan isinya? Jika saya tidak ke sini, Pak Makbul juga tidak tahu kalau yang mengambil dompetnya itu saya, juga tidak tahu di mana dompet itu berceceran. Saya ke sini hanya cari teman yang sama-sama kehilangan. Saya bermaksud membagi pengalaman untuk mengurangi kebingungan Pak Makbul setelah kehilangan dompet. Itu saja maksud saya, cerocos Sarbun seperti orang yang sedang tersinggung.”

Makbul Karim mengernyitkan alis membenarkan Sarbun. Ia merasa kagum dengan keterbukaan Sarbun. Jaman sekarang sudah jarang ada orang jujur seperti ini, pikir Makbul. Tiba-tiba terdengar beduk Magrib dari masjid dekat rumah Makbul Karim. Maka atas ajakan Makbul, Sarbun turut serta mengerjakan salat magrib berjamaah di masjid tersebut.

Sesudah itu Makbul mengajaknya makan malam. Sarbun menurut saja, meskipun agak canggung. Sampai mereka kembali duduk berhadap-hadapan di sofa ruang tengah rumah Makbul yang cukup besar itu.

“Tadi Pak Sarbun bilang bermaksud membantu mengurangi kebingungan saya, maksud Pak Sarbun?”

“Oya, maksud saya, ketika Pak Makbul kehilangan dompet tentu akan timbul pertanyaan, mana dompetku? Berceceran di mana? Mengapa hilang? Ke mana mesti mencarinya dan macam-macam pertanyaan lagi yang membuat bingung, bukan begitu, Pak?”

“Ya, memang begitu.”

Nah, sekarang sebagian pertanyaan itu telah terjawab, berarti sebagian kebingungan Pak Makbul juga telah hilang. Meskipun sebagian lagi masih membingungkan, misalnya, mengapa bisa hilang? Mengapa saya yang menemukannya dan mengapa pula saya mengembalikannya? Tentunya Pak Makbul juga ingin agar pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab sehingga Pak Mabul tidak bingung lagi.”

Ya, memang begitu. Mengapa bisa terjadi demikian? Menurut Pak Sarbun bagaimana?

“Semua itu bukan kebetulan, tetapi telah terencana dengan matang. Saya duduk di tepi jalan itu memang sengaja. Saya melihat dompet lusuh di tepi jalan itu juga sengaja, lalu saya juga dengan sengaja mengambilnya, bahkan dengan sengaja pula melihat isinya. Dan jangan lupa, saya mengantarnya ke sini pun memang sengaja. Semua itu telah terencana dengan baik.”

“Terencana? Siapa yang merencanakannya dan apa tujuan dari rencana itu?”

“Mungkin yang merencanakan dompet itu hilang adalah Pak Makbul sendiri dan yang merencanakan untuk menemukan sekaligus mengembalikannya mungkin saya sendiri.

Lho, bisa begitu?”

“Kalau bukan rencana Pak Makbul dan rencana saya, lalu rencana siapa?”

Makbul Karim melongo. Tak disangkanya ia bisa terpelintir begitu rupa oleh orang berpenampilan sederhana seperti Sarbun. Ia gagap, belum bisa menduga apa maksud lawan bicaranya. Namun ia menganggap itu cuma guyonan orang kesasar saja. Bukan apa-apa.

“Maaf, Pak Makbul, tak usah dipikirkan. Saya ke sini hanya ingin cari teman yang sama-sama kehilangan. Jika Pak Makbul kehilangan dompet, maka saya kehilangan batang-batang karet sebesar ember cor di atas lahan satu hektar. Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan, itulah yang mendorong saya mengembalikan dompet Pak Makbul.”

Pak Sarbun kehilangan batang-batang karet seluas satu hektar? Bagaimana bisa hilang?,” Tanya Makbul Karim cukup berselera karena ia sendiri memiliki kebun karet, meskipun tidak sampai satu hektar.

Sarbun pun bercerita bahwa kurang lebih lima tahun lalu Demang Ali datang ke desa mereka membawa surat-surat tanah untuk dibagikan kepada tiap-tiap kepala keluarga desa. Tanah tersebut merupakan tanah gambut bekas penebangan liar puluhan tahun lalu. Supaya tanah tersebut produktif, Demang Ali, atas nama pemerintah daerah, membagi-bagikan tanah tersebut kepada masyarakat terdekat untuk ditanami bibit karet. Masing-masing kepala keluarga memperoleh satu hektar serta seribu batang bibit karet.

Masyarakat desa itu pun sangat antusias melaksanakan niat baik Demang Ali. Lima tahun kemudian puluhan ribu pohon karet pun tumbuh hingga bergaris tengah puluhan centimeter.

Namun diluar perhitungan, saat ini batang-batang karet itu telah mati dilalap api. Kemarau panjang tahun ini benar-benar telah membuat lahan gambut itu kering kerontang sehingga api kemarau begitu mudah menggerayangi akar-akarnya. Seketika lenyaplah harapan puluhan kepala keluarga desa itu, tak ketinggalan pula harapan Sarbun.

“O, jadi yang kehilangan itu bukan cuma Pak Sarbun, melainkan juga puluhan kepala keluarga desa,” potong Makbul.

“Tidak demikian, Pak Makbul. Yang merasa kehilangan itu cuma saya, yang lainnya merasa biasa-biasa saja. Bagi mereka, kebun karet terbakar pada musim kemarau panjang itu hal biasa, karena memang sudah biasa. Mereka menasehati saya agar jangan berlarut-larut memikirkannya, masih ada hari esok, ucap mereka. Tapi saya tidak bisa terima.

“Alasannya? Bukankah nasehat teman-teman sedesa Pak Sarbun itu ada benarnya,” timpal Makbul.

“Karena saya tahu kebun karet itu memang sengaja dibakar. Kemarau hanya kambing hitam supaya orang-orang tidak bisa menuntut ganti-rugi.”

“Sengaja dibakar? Pak Sarbun tahu siapa yang membakarnya?”

“Ya, saya tahu. Tapi teman-teman saya pura-pura tidak tahu. Bagi mereka cukuplah mengetahui bahwa kemarau itulah yang telah menghanguskan kebun karet mereka. Padahal semua itu telah direncanakan dengan perhitungan cermat. Tapi, ya, sudahlah. Saya ini orang desa mana berani membuat perhitungan,”

“Kalau boleh saya tahu siapa sebenarnya yang dengan sengaja membakar kebun karet itu, Pak Sarbun? Apa maksudnya?”

“Saya tidak akan memberi tahu Pak Makbul, jika memang Pak Makbul tidak tahu. Nanti malah saya dituduh mencemarkan nama baik segala.”

“Mengenai tujuannya sangat jelas, supaya orang-orang desa tetap sadar bahwa mereka hanyalah orang-orang sederhana. Jangan mimpi punya kebun karet ribuan batang. Kalau tidak dibakar, nanti malah lupa diri. Tapi, sudahlah, saya ke sini cuma mau cari teman berbagi pengalaman saja.”

Makbul Karim dapat memaklumi karena ia menganggap Sarbun hanya menduga-duga saja. Terlebih lagi mengingat tujuan pembakaran yang tidak masuk akal itu. Namun begitu, Makbul Karim tetap menghargai Sarbun sebagai seorang jujur yang sudah mulai langka. Beberapa saat setelah mengucapkan terima kasih atas keramahan tuan rumah, Sarbun pun berpamitan.

Malam itu Sarbun pulang ke desanya, setelah seharian penuh mondar-mandir sekitar terminal kota sekedar melepas keruwetan pikirannya, hingga berakhir di rumah Makbul Karim.

Kasihan si Makbul Karim tidak tahu siapa yang menghilangkan dompetnya, juga tidak tahu siapa yang membakar kebun karet kami. Padahal tadi dia yang mengajakku ke masjid menghadapNya. Ah, kemarau panjang benar-benar telah membuat segala sesuatunya menjadi kering, seperti batang-batang karet yang masih tampak tegak padahal akar-akarnya telah kering. Ucap Sarbun pada dirinya sendiri. Ia merasa sendiri, tak punya teman untuk berbagi pengalaman rohani.***

Sampit, Juni 2011

Aspur Azhar