KESETIAAN 

Ilustrasi-Arya Sidarta

oleh: Aspur Azhar

Malam sudah larut, namun Basir belum juga bisa memejamkan mata. Bantal dan guling terasa mengandung bara membuat darahnya terasa hangat. Beberapa kali ia telah membasuh muka berharap memperoleh kesejukan dari air yang telah diresapi embun di belakang rumahnya, namun air itu cepat sekali menguap sehingga wajahnya kembali hangat.

Benar kata orang bahwa kantuk dan tidur nyenyak tak pernah mau singgah ke dalam diri seorang yang sedang gelisah menjalani hidup. Dan kegelisahan itu bergerak begitu cepat memutari benaknya, seperti segerombolan semut merah yang gelisah menyelamatkan sarang dan anak-anaknya dari ancaman bahaya kebakaran.

Ada dua hal yang membuat darah Basir terasa hangat malam ini. Yang pertama, bayangan wajah Khalilah yang bulat-bulat lonjong serta tubuhnya yang sintal padat. Sudah dua bulan Basir mengenal janda beranak satu itu. Basir tertarik sejak pertemuan pertama mereka di depan loket PLN saat mereka sama-sama antri membayar rekening listrik. “Ah, dia begitu mendebarkan, begitu menggoda, begitu membuat hatiku kekurangan kesabaran. Dia ingin sekali kujadikan isteri, dan aku juga ingin sekali dia menggantikan Sri Aida,” batinnya.

Tetapi, yang kedua, siang tadi, ketika hasrat memperisteri Khalilah itu ia sampaikan kepada anak lelakinya, Kosasih, dan anak perempuannya, Kursiyah, ia tersentak dan panas. Kata-kata Kosasih itulah yang jadi perhitungannya kini.

“Ayah berkhianat!,” ucap Kosasih.

“Belum setahun Ibu wafat Ayah sudah merencanakan pengkhianatan. Ayah sepertinya sudah lupa, dulu saat masih miskin ibu banting tulang membantu Ayah mempertahankan hidup keluarga. Dua puluh tahun lebih ibu menderita karena kesetiaannya kepada Ayah. Ketika Ayah  berhasil ibu sudah sakit-sakitan hingga akhirnya ia wafat. Ibu benar-benar tidak sempat merasakan kelonggaran hidup bersama Ayah. Ayah tega!,”

“Aku kenal siapa Ibumu. Aku tahu ibumu perempuan setia. Aku tahu ibumu perempuan yang paling sabar yang kukenal. Tetapi sekarang ia sudah tiada, dan aku, ayahmu ini, ditinggalkannya sendirian di rumah ini, di rumah yang banyak menyimpan tetes air mata dan tetes keringatnya,”

“Tetapi sampai hatikah Ayah menyuruh orang lain memanen apa-apa yang telah ditanam ibu, sementara ibu tidak tahu. Aku tak bisa terima bila Ayah beristeri lagi. Aku kasihan sama ibu!,”

“Kos, aku ingin bertanya, apakah ketika Rasulullah memperisteri Siti Aisyah itu pertanda beliau telah berkhianat kepada Siti Khadijah,” ucap Basir mencoba mengubah arah.

“Tidak! Rasulullah tidak berkhianat, karena beliau tak pernah berjanji sehidup-semati kepada Siti Khadijah, sedangkan Ayah puluhan kali berjanji sehidup-semati. Bahkan ketika ibu bertanya apakah Ayah akan kawin lagi bila ibu lebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa? Ayah menjawab, tidak akan pernah beristeri lagi. Karena, kata Ayah, tidak ada perempuan lain yang bisa Ayah cintai selain ibu. Itu janji Ayah. Hanya orang-orang munafik saja yang berani ingkar janji,” ucap Kosasih alumni pondokan itu berani.

Basir ternganga. Dalam hal ini ia membenarkan anak lelakinya itu. Diakuinya bahwa ia sering berjanji sehidup-semati kepada almarhumah Sri Aida karena dorongan cintanya yang begitu dalam kepada perempuan itu. Bahkan sampai menjelang ajal menjemputnya Basir masih juga sempat menyatakan janji tidak akan pernah kawin dengan perempuan mana pun apabila Sri Aida sampai dipanggil Yang Maha Kuasa.

Dua puluh lima tahun membina rumah tangga dari titik paling bawah bukanlah waktu yang singkat bagi Basir untuk melunturkan begitu saja cintanya kepada perempuan yang dinilainya amat setia itu. Mereka telah berjuang bahu-membahu membangun ekonomi keluarga sampai akhirnya mereka berhasil menjadi agen BBM yang punya banyak pelanggan. Terasa ada cahaya kebahagiaan memancar dari celah sempit kehidupan mereka kala itu. Namun sayang, sebelum cahaya itu benar-benar menerangi jalan mereka, Sri Aida sudah sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia tepat pada tahun kedua puluh lima perkawinan mereka.

Di mata Basir, Sri Aida seperti seorang pahlawan yang berjuang menyelamatkan hidup seorang terlantar dan manakala orang terlantar tersebut telah sampai pada titik keselamatan, sang pahlawan pun lambaikan tangan perpisahan dengan pesan berupa sehelai senyum penghabisan.

Maka untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa sekaligus juga merupakan tanda cintanya yang begitu dalam, Basir memakamkan Sri Aida di halaman rumahnya dengan batu nisan dari marmer. Saban hari Basir manatap batu marmer tersebut, maka saban hari pula ia mengenang masa-masa indah dalam kesusahan bersama Sri Aida. Hampir setahun ia larut dalam kehampaan kenangan demikian. Sepi dan tanpa gairah.

Basir tak dapat melakukan apa pun karena serangan kehampaan kenangannya. Urusan BBM ia serahkan kepada adiknya, sementara kedua anaknya, Kosasih dan Kursiyah sudah berkeluarga dan sudah pula bekerja, tinggal di rumah mereka masing-masing.

Untuk mengisi waktu luang yang begitu panjang, Basir hanya melakukan hal-hal sepele, memberi makan ikan mas di kolam belakang atau pergi memancing di pemancingan umum. Sekali sebulan ia iseng menggantikan tugas pembantunya membayar rekening listrik di kantor PLN. Dari pekerjaan iseng itulah ia berkenalan dengan Khalilah, janda yang ditinggal suaminya lantaran si suami jadi TKI dan tidak pulang-pulang lebih dari sepuluh tahun. Konon, suami Khalilah telah meninggal dunia kena hukum rajam di negeri Arab karena kedapatan menggauli anak majikannya, entahlah.

Perkenalan selama dua bulan tersebut telah membuat Khalilah masuk ke dalam ruang hampa kehidupan Basir, sehingga ruang hampa tersebut menjadi ruang berwarna merah muda dan kuning pucat. Warna merah muda menandakan suatu gairah, sedangkan kuning pucat menandakan derita kesetiaan kenangan terhadap almarhumah isterinya. Jika saja Basir berani menambah polesan pada warna merah muda sehingga menjadi warna merah menyala, maka warna kuning pucat itu perlahan-lahan akan pudar dan selanjutnya tenggelam ke dasar jauh. Tetapi jika warna kuning pucat yang ia poles, maka warna merah muda itulah yang akan pudar.

Pagi-pagi dengan mata yang masih sembab karena kurang tidur Basir menghubungi Khalilah lewat telepon genggamnya untuk bertemu di kolam pemancingan umum Suka-suka seperti pertemuan hari-hari sebelumnya. Di sana Basir menyampaikan soal ketidak-setujuan anak lelakinya atas rencana mereka untuk segera menikah.

Khalilah tampak kecewa. “Apakah Abang sudah kehilangan kekuasaan untuk menentukan jalan hidup Abang sendiri? Atau Abang hanya basa-basi mengajak Lilah berumah tangga. Kalau cuma basa-basi mending tak usah kenal sama Lilah, percuma!” ucap Khalilah dengan ekspresi bersungguh-sungguh.

“Aku masih punya hak menentukan jalan hidupku, Lilah. Aku juga tidak basa-basi untuk menikahimu. Aku hanya ingin kamu bersabar. Aku tak ingin hubunganku dengan anak-anakku jadi kacau karena kita tergesa-gesa menikah. Tunggulah beberapa waktu lagi sampai terlihat jalan yang lebih mudah.”

“Abang janji?”

“Ya, aku janji,”

Sepulangnya dari kolam pemancingan Suka-suka itu Basir tercegat saat melintasi batu makam isterinya. Sepertinya ia tak kuasa untuk tidak bersimpuh di hadapan batu nisan itu. Entah untuk yang ke berapa puluh kalinya ia berbuat demikian, ia sendiri sudah lupa. Hanya yang ia ingat ialah bahwa setiap kali merasa bersalah kepada almarhumah isterinya itu ia pun lalu bersimpul demikian.

“Maafkan aku, Sri. Aku tak bermaksud mengkhianati cintamu, tidak pula bermaksud mengubur cintaku bersamamu. Tetapi roda hidupku masih berputar, sementara roda hidupmu telah berhenti pada satu titik, yaitu titik sempurna di atas jalan mulus cintamu. Sekarang aku mengendalikan roda hidupku tanpa kamu lagi, sepi, Sri. Maka ketika putaran roda itu mengarahkanku kepada Khalilah, aku tak kuasa mencegahnya. Maafkan aku, Sri,” bisik hatinya kepada batu nisan isterinya.

Sesudah itu ia merasa sedikit lega. Namun pada malam harinya ia kembali gelisah. “Ayah berkhianat! Hanya orang-orang munafik yang berani ingkar janji!,” Kata-kata Kosasih mengiang begitu saja di telinganya.

Kata-kata itu benar, renung Basir. “Tetapi sayang, tempat keluar kata-kata itu lidah Kosasih, anakku sendiri. Akibatnya ia mempunyai pandangan yang tidak baik terhadap diriku. Aku tak ingin Kosasih memandangku serendah itu. Meskipun hal itu atas nama kasih-sayangnya yang begitu besar terhadap ibunya. Meskipun demi kasih sayang itu ia mengabaikan kasih sayangnya kepadaku. Ia seperti kehilangan kepedulian terhadapku. Atau mungkin ia memang tak peduli? Ah, ia masih muda untuk bisa memahami keadaanku. Namun begitu, aku tetap tak sanggup menikah di bawah pandangan Kosasih yang begitu buruk terhadapku. Biarlah aku berada di atas kereta hidupku, dan waktulah yang akan memutarnya, sebagaimana dahulu ia memutarnya hingga aku tiba pada titik ini,”

Basir memang agak terlambat menyadari arti pengkhianatan dan arti kemunafikan, sehingga Kosasih mendahuluinya. Dahulu, ketika janji-janji itu ia ucapkan dengan bangga di depan kedua anaknya yang masih belia, ia tak pernah berpikir kalau suatu saat situasi kehidupan bisa berubah. Lagi pula janji-janji itu ia ucapkan dalam upaya meyakinkan Sri bahwa segenap usaha dan perjuangannya tidaklah akan sia-sia. Sri juga manusia yang sewaktu-waktu bisa kehilangan keyakinan dan keteguhan terhadap keadaan sekitarnya, maka pada saat demikianlah Basir meneguhkannya dengan janji-janji. Tapi sekarang janji-janji itu berbalik arah melalui lisan anak lelakinya. Barangkali kinilah gilirannya meneguhkan diri atas janji-janji setianya sendiri.

Meskipun dengan hati bimbang, namun Basir telah memutuskan untuk membiarkan saja situasi dirinya. Ia merasa hampa. Sunyi dan lengang. Perlahan-lahan bayangan wajah Khalilah memudar bersama rona merah muda ruang batinnya. Lebih satu bulan kemudian tubuhnya mulai melemah dan kemudian ia pun jatuh sakit. Bulan berikutnya sakitnya tambah parah. Kosasih datang menjenguknya.

“Apakah Ayah sudah ke dokter?,” tanya Kosasih.

“Sudah,”

“Apa kata dokter?,”

“Katanya aku kurang gizi. Tidak ada penyakit lain. Dokter memberiku obat banyak sekali, namun belum satu pun kuminum,”

“Mengapa Ayah tidak meminumnya?,”

“Ibumulah obat hidupku. Tapi obat itu sudah tiada lagi. Lama aku menunggu di pembaringan ini, namun ia tak datang juga. Perlukan aku menelan obat-obatan pemberian dokter itu, Kos?,”

Kosasih terdiam, berusaha memahami maksud ayahnya sambil menelan air liur yang terasa lengket.

“Biarkanlah aku memagut bongkahan es kesetiaan ini hingga tetes terakhir. Itulah yang kuharapkan kini. Itu pula yang engkau dan adikmu harapkan dariku. Sudah kupahami bahwa nilai kesetiaan itu berkali-kali lebih mulia daripada nilai kehidupan itu sendiri. Engkaulah yang mengingatkanku tentang hal itu,”

Kosasih tertunduk. Ia merasa terperangkap dalam jaring kata-kata yang dibuatnya sendiri untuk menangkap ayahnya. Sekarang jaring itu mulai melilit benaknya, begitu cepat. Ia gelisah. Beberapa saat kemudian ia pun mohon diri kepada ayahnya.

Tiga minggu sesudahnya Kosasih kembali menjenguk ayahnya. Saat itu kedua tulang pipi Basir sudah semakin menonjol, begitu pun tulang belikat dan tulang-tulang lengannya. Wajahnya tampak kuning pucat, kulitnya kering lusuh. Sorot matanya terbenam dalam ruang kosong penuh rahasia. Kosasih terhenyak. Kekuatiran yang timbul sejak tiga minggu lalu semakin membelit batinnya. Kosasih ingin ayahnya itu sehat lahir dan batin, namun tetap setia mengenang ibunya. Namun bagaimana seorang bisa sehat bernapas dalam larutan masa lalu, sementara hidup terus bergerak menuju masa depan. Kosasih belum begitu menyadari bagaimana seorang dapat tidur nyenyak di tengah lempengan waktu yang saling berpunggungan demikian. Hanya bagian kecilnya saja yang dapat ia sadari.

“Tidak semestinya seorang menderita seperti ini demi menjunjung tinggi sebuah nilai kesetiaan. Barangkali ada makna lain dari kesetiaan yang belum dapat kupahami,” renung Kosasih.

“Ayah,” ucap Kosasih dekat telinga Basir, “Jika kubawakan obat, maukah ayah meminumnya?,”

Basir menatap wajah Kosasih lekat-lekat. “Aku sudah rela dengan keadaanku ini, Kos,” sahutnya.

Tiba-tiba Kosasih keluar memanggil seseorang, yaitu Khalilah yang dijemputnya sebelum ia sampai ke rumah ayahnya tadi. Kemudian ia mengajak Khalilah masuk kamar ayahnya.

Basir terperangah. Mereka bertiga saling pandang penuh tanya. “Apa yang memaksamu membawanya ke sini, Kos?,” ucap Basir membuka kebisuan.

Kosasih berusaha mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba dikuasai keharuan. “Aku sudah kehilangan ibu, ucapnya tersendat-sendat, aku tak mau kehilangan ayah juga. Aku mohon maaf bila dianggap lancang membawa Bibi Khalilah ke sini. Tapi bukankah ayah juga sudah membuat janji dengan Bibi Lilah?,”

“Benar, Kos. Tapi biarlah aku menepati janjiku lebih dahulu kepada ibumu, sesudah itu barulah kutepati janjiku padanya. Entah bagaimana?,”

“Kukira Ayah sudah menepati janji kepada ibu. Jika ibu tahu akibat kesetiaan itu berujung pada penderitaan hingga ayah sekarat seperti ini, tentu ibu pun tak rela. Bukankah kerja keras ibu membantu Ayah selama lebih dua puluh tahun itu dalam rangka menghindari penderitaan seperti ini? Kukira Ayah perlu minum obat yang kubawakan ini, meskipun tidak semanjur ibu. Dalam hal ini mungkin ada makna lain dari kesetiaan yang belum kita pahami, Ayah,” tutur Kosasih lembut.

Basir tak kuasa menahan rasa haru dalam dadanya. Ada tetes air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia memandang Khalilah yang masih berdiri kaku di sisi pembaringannya. Ada rona merah muda diam-diam menjalar ke dalam ruang hampa jantungnya. Dan rona itu perlahan-lahan menciptakan getaran yang sudah hampir setahun tak dirasakannya.

Kosasih yang menyadari arti tatapan ayahnya segera meninggalkan ruangan. Kosasih berharap ayahnya memaafkannya karena pernah berusaha memadamkan cahaya merah kehidupan ayahnya demi nilai kesetiaan sesuai yang dipahaminya. Kemudian Kosasih menatap batu nisan marmer di halaman rumah ayahnya. “Maafkan kami, Bu. Kami mesti melanjutkan risalah hidup kami di alam fana ini sesuai nilai-nilai yang kami pahami. Sementara Ibu telah sampai pada nilai-nilai terakhir ketentuan hidup Ibu di alam fana. Semoga Ibu memaafkan kami,” ucapnya lirih.***

Sampit, Juni 2011 (Dari buku kumpulan cerpen, Menjadi Biji, karya Aspur Azhar)