LUBANG-LUBANG EMAS

Ilustrasi-Arya Sidarta

Oleh: Aspur Azhar

Selesai menyiapkan sarapan pagi, Sarimurni membangunkan suaminya yang masih meringkuk dalam selimut. Kemudian ia meraba kening anaknya, Rasyid, berusia kurang lebih dua tahun, yang masih juga lelap di sisi suaminya. Ketika dirasakannya bahwa kening anaknya itu sudah tidak sepanas tadi malam, ia pun bergegas keluar membuka kandang ayam di kolong pondok mereka.

Dua ekor induk ayam memandu anak-anaknya keluar menuju mangkuk berisi racikan ubi kayu dan kerak nasi sisa makan Murni dan keluarga tadi malam. Dari kandang lain keluar seekor ayam jantan dan dua ekor betina. Si jantan mengepak-ngepakkan kedua sayap, lalu berkokok nyaring dan merdu. Murni memandang ayam-ayam itu penuh harap.

Semoga tidak terkena penyakit, sehingga bila sampai waktunya ia akan menjual beberapa ekor diantaranya. Uangnya untuk beli beras dan lauk-pauk, sambil menunggu emas hasil dulangan suaminya cukup untuk dijual.

Sedang asyik memperhatikan ayam-ayamnya mematuk isi mangkuk, terdengar lenguh Rasyid, Murni bergegas naik tangga. Diraihnya anaknya. Digendong dan dibuainya kembali. Rasyid tertidur kembali. Diliriknya suaminya yang sudah bangun dan sedang mencuci muka di samping sumur. Suaminya melirik pula. Tampak ada kekuatiran di wajah suaminya, namun lewat suatu isyarat Murni meyakinkannya bahwa anak mereka tidak apa-apa.

Setelah memasukkan Rasyid dalam ayunan yang menggantung di tengah pondok, Murni segera mengumpulkan pakaian kotor bekas pakai suaminya kemaren, lalu memasukkannya ke dalam ember plastik. Pakaian itu hanya tiga lembar. Untuk mencucinya hanya diperlukan waktu sebentar. Tapi pagi ini Murni tidak bermaksud mencuci pakaian itu, mungkin siang nanti. Selanjutnya ia menyiapkan pakaian dan peralatan pendulangan suaminya, menyiapkan susu buat anaknya, mandi, sarapan dan bersiap-siap memeriksakan demam Rasyid ke mantri desa  beberapa kilometer dari tempat tinggal mereka.

Sementara suaminya sudah selesai sarapan dan bersiap-siap berangkat ke lokasi pendulangan. Murni menyerahkan pakaian kerja dan peralatan berupa tangguk dan wadah serpihan emas hasil mendulang. Sekali ia menatap wajah suaminya. Wajah itu memiliki rahang yang kuat mengkilat kecokelatan. Dihiasi sepasang mata teduh dan penuh keyakinan. Sinar mata itu memang selalu memberinya harapan. Ia takut sinar itu hilang dari sisinya.

“Kalau cuaca kurang baik, sebaiknya nanti tak usah masuk lubang.” pinta Murni sambil tetap memperhatikan wajah suaminya.

“Kelihatannya pagi ini cukup cerah. Tidak apa-apa,” sahut suaminya sambil mengancing baju.

“Nanti siang tak usah mengantar rantang, biar aku saja yang pulang.” lanjutnya lagi.

Murni mengangguk.

Sudah empat hari ini Murni tidak mengantar rantang nasi ke tempat pendulangan, karena Rasyid terkena demam setelah kehujanan ketika mereka berdua pulang mengantar nasi untuk suaminya beberapa hari lalu.

“Apa masih ada uang untuk berobat?”

“Masih ada, sisa kemaren.” Sahut Murni sambil mengikuti suaminya ke ambang pintu.

“Aku berangkat!”

“Hm.” Murni mengangguk sambil tetap mengiringinya dengan tatapan penuh harap dan cemas.

Harap dan cemas memang merupakan bagian dari kehidupan Murni dan seluruh keluarga pendulang emas di desa itu. Tetapi sesungguhnya perbandingan antara harapan dan kecemasan sangatlah tidak berimbang. Harapan terlalu kecil bila dibanding kecemasan. Harapan hanyalah sebatas berhasil mengumpulkan serpihan emas sebesar biji jagung untuk dijual kepada para tengkulak yang berkeliling desa setiap akhir pekan. Sementara kecemasan memang selalu berhubungan dengan keselamatan para pendulang ketika berada di lubang-lubang pendulangan.

Jarang ada pendulang berhasil meningkatkan tarap hidup hanya dari hasil mendulang emas. Para pendulang mungkin baru berhasil setelah punya modal untuk menjadi tengkulak. Karena hanya dengan menjadi tengkulaklah maka pendapatan bisa berlipat ganda. Keuntungan para tengkulak diperoleh, tentu saja, dengan membeli semurah-murahnya dari pendulang, di samping itu juga diperoleh melalui pinjaman modal kerja para pendulang yang berbunga tinggi. Tetapi belum pernah ada pendulang yang berhasil jadi tengkulak atau pengepul emas di desa itu. Karena para tengkulak yang sudah mapan selalu siap mengantisipasi kehadiran tengkulak baru, terlebih lagi dari kalangan para pendulang.

Murni sering mengingatkan suaminya akan hal itu. Tetapi suaminya, lelaki yang memiliki rahang besar itu, berkata kepadanya, “Ini tempat tinggal kita. Kalau kita rajin bekerja, pasti suatu hari nanti kita akan berhasil. Kalau nanti kita punya modal, kita akan beli serpihan emas dengan harga layak supaya kehidupan masyarakat desa ini menjadi lebih baik daripada sekarang.”

Murni termenung. Ia mengerti bahwa cita-cita suaminya sangat luhur, yakni mengangkat tarap hidup masyarakat desanya ke arah yang lebih baik. Cita-cita itu memang selalu memancar dari kedua bola matanya. Murni mengaguminya. Kadang-kadang Murni begitu bangga dengan cita-cita itu, tetapi kadang-kadang kekuatiran lebih besar daripada kebanggaannya. Ia sangsi, entah kepada siapa.

Setiap pagi ketika suaminya berangkat, maka muncullah harapan, namun sekejap kemudian berganti kecemasan. Setiap pagi terbayang di matanya lubang-lubang pendulangan yang gelap dan dalam seperti gua-gua menurun sebagai sarang-sarang ular raksasa. Menganga lebar seolah tanpa ujung. Meliuk-liuk dalam perut bumi menciptakan rongga-rongga aneh. Ke dalam lubang-lubang itulah suaminya masuk. Memasang selang penyedot dan menggaruk-garuk lumpur. Lubang-lubang itu setiap saat bisa runtuh dan mengubur hidup-hidup siapa saja yang ada di dalamnya. Sungguh menakutkan!

Masih terang dalam ingatannya kejadian setahun lalu, Jali dan Basir, tetangga mereka terkubur hidup-hidup dalam lubang berkedalaman 6 meter. Tonggak-tonggak penyangga sekeliling lubang rubuh didorong longsoran tanah gembur dari sebelah atas. Dan masih pula terang dalam ingatannya kejadian tujuh bulan lalu, Amat hampir mati karena menghisap gas beracun yang tiba-tiba saja keluar dari dasar tanah galian. Dan oleh karena didorong oleh kecemasan akan keselamatan suaminya, ia sering menyarankan agar suaminya mencari pekerjaan lain di desa lain saja. Namun sejauh ini belum ada tanggapan yang sungguh-sungguh dari suaminya. Murni hanya bisa menunggu dan berdoa saja, semoga suaminya dilindungi oleh Yang Maha Kuasa.

Siang itu, selesai memeriksakan Rasyid, mencuci pakaian dan menyiapkan makan siang, Murni melanjutkan anyaman tikar purun sambil menunggu kepulangan suaminya. Di sampingnya Rasyid tertelentang bermain dengan botol susunya. Anak itu sudah hampir sembuh. Senyumnya mulai kelihatan lagi. Sesekali Murni menggodanya atau membesut keningnya dengan gemas. Sebentar kemudian Rasyid pun tertidur sambil tetap mendekap botol susunya. Murni memindahkannya ke dalam ayunan , lalu melanjutkan pekerjaannya.

Sekejap terlintas dalam pikirannya, mengapa suaminya belum juga pulang makan siang, padahal matahari sudah agak condong ke barat. Biasanya belum tegak matahari suaminya sudah ada di rumah, membersihkan badan dan makan siang bersamanya. Ah, mungkin ia belum terlalu lapar, tepis Murni.

Dua ekor anak ayam melompat masuk lewat pintu depan membuyarkan lamunan Murni. Anak-anak ayam itu mematuk-matuk celah papan lantai rumahnya. Murni memburunya, anak-anak ayam menciap keluar. Rasyid menggeliat, Murni menarik ayunannya sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Tiba-tiba terdengar anak-anak berlarian menuju jalan setapak di ujung desa. Terdengar serabutan kata-kata dari mereka, namun tak jelas. Jumlah anak-anak bertambah banyak diiringi ibu-ibu rumah tangga. Tampak orang-orang itu gelisah. Murni mendengar kegelisahan orang-orang di jalan itu, maka ia pun bermaksud menengok keluar, tetapi Rasyid menggeliat lagi.

“Murni! Murni!” Seorang perempuan setengah baya berdiri gelisah di tepi jalan memanggil Murni.

Murni terperanjat. Itu suara Ma Rani, tetangganya. “Ada apa, Ma?” sahut Murni terburu-buru ke pintu belakang.

“Lubang runtuh!”

“Lubang runtuh?”

Murni membanting daun pintu itu, lalu secepat kilat menyambar Rasyid dari dalam ayunan. Ia melompat menyusul ibu-ibu dan anak-anak yang berlarian menuju jalan yang menghubungkan desa dengan lokasi pendulangan. Degup jantungnya secepat langkahnya yang memantul-mantul di atas jalan itu. Rasyid terguncang-guncang dalam gendongannya. Jarak kurang lebih satu kilo meter itu ditempuhnya dengan cepat.

Setibanya di lokasi pendulangan, dilihatnya orang-orang berdiri kaku melingkari salah satu lubang pendulangan yang menganga lebar di sisi tebing tanah bukit kecil. Murni mengigil. Ia tahu itu lubang pendulangan kelompok suaminya. Ia menyeruak mendekat.

“Siapa yang kena?!” tanyanya pada orang-orang.

“Belum tahu!” sahut seorang ibu dalam kecemasan yang sama.

“Tenang, tenang! Runtuhnya cuma sedikit!” ucap Pak Radi, pendulang dari lubang lain, sambil tetap mendongak ke dalam lubang.

Murni hampir tak dapat mengendalikan diri. Sementara dari dalam lubang terdengar suara gaduh yang tak begitu jelas. Murni berusaha menajamkan pendengarannya, demikian pula ibu-ibu yang lain. Tanah sekeliling lubang tampak licin dan mengkilat. Pak Radi memegang tali sebesar ibu jari yang terulur ke dalam lubang. Keringatnya bertetesan.

Sebentar kemudian terlihat seseorang menaiki anak tangga dari dalam lubang. Langkahnya tampak lamban. Orang-orang menatapnya tak berkedip. Belum sampai bibir lubang, orang-orang berebut menanyainya, namun ia tetap tenang melanjutkan langkahnya. Ketika badannya sepenuhnya keluar dari lubang, ia mendongak ke wajah-wajah sekitarnya.

“Semuanya selamat. Hanya ada sedikit masalah!”

“Masalah apa, Din?” potong Murni.

“Pak Darman patah kakinya!”

“Patah?” Orang-orang saling berpandangan, lalu memusatkan perhatian kepada isteri dan anak-anak Pak Darman yang masih berdiri kaku di antara mereka. Murni membesut kepala anaknya untuk mengendalikan air matanya yang siap tumpah.

Satu per satu para lelaki keluar dari lubang, terakhir dengan terseok-seok Pak Darman dibantu Dardi, suami Murni, dan seorang lelaki teman selubang mereka. Pakaian mereka berlumuran lumpur. Wajah mereka masih menampakkan kecemasan. Setelah semuanya keluar, Murni menghampiri Dardi, suaminya, lalu memandangnya lama. Dardi meraih tangan isterinya untuk mengikuti orang-orang kembali ke rumah mengiringi beberapa lelaki yang mengangkat tandu darurat bagi Pak Darman.

Sepanjang jalan pulang orang-orang saling bicara, kecuali Murni dan suaminya. Sampai di rumah barulah Dardi bercerita. “Sebenarnya kami berlima sudah keluar dari lubang untuk istirahat. Tetapi Pak Darman masih memasang selang sedot. Karena cukup lama menunggu untuk makan siang, terpaksa aku dan Udin masuk lubang lagi mengingatkan Pak Darman. Tetapi belum sepuluh meter menuruni tangga, tanah di atas kami agak bergetar dan sebagian mulai jatuh. Aku dan Udin berhenti karena merasa was-was. Tiba-tiba tanah di atas kami semakin berjatuhan, aku dan Udin berbalik arah, sambil berteriak memanggil Pak Darman. Setibanya di luar lubang, aku dan Udin memanggil orang-orang, namun kemudian tanah tidak lagi runtuh, keadaannya tenang. Aku dan Udin masuk lagi dengan hati-hati untuk mengetahui keadaan Pak Darman. Ternyata saat tanah berjatuhan Pak Darman sudah menaiki tangga, kakinya tertimpa balok penyangga di samping lubang. Ia pingsan saat aku dan Udin tiba di dekatnya.”

Murni turut membayangkan kejadian tersebut, namun ia tak mampu membayangkan seandainya suaminya tertimpa musibah seperti Pak Darman. Murni memandang rahang suaminya, sementara suaminya memandang tepi-tepi hutan di kejauhan lewat jendela kecil di hadapannya.

“Kupikir ada baiknya mempertimbangkan pandapatmu,” kata Dardi tanpa menoleh, “Kita pindah ke desa lain, untuk suatu saat kembali lagi ke sini dengan pikiran dan pengalaman yang berbeda. Niatku untuk memajukan kehidupan desa ini tak pernah berubah,: lanjutnya diakhiri dengan tolehan ke arah Murni.

Murni agak terkejut mendengarnya, namun tak urung Murni merasa lebih lega. Pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk memperbaiki kehidupan bukanlah sikap pengecut, melainkan sikap arif. Bukankah sikap arif itu ialah kemampuan memilih yang terbaik di antara yang baik, sedangkan sikap pengecut itu ialah ketidakberanian menentukan sikap atas beberapa pilihan kehidupan. Murni kembali menatap suaminya. Dilihatnya sinar mata itu masih seperti dahulu, seperti saat mereka baru menikah beberapa tahun lalu, menawarkan  harapan tak putus-putus.***

Jakarta, 1997 (Dari buku kumpulan cerpen Menjadi Biji, karya Aspur Azhar)