Penelitian Progress dan YMKL, PBS di Seruyan Ditemukan Melakukan Pelanggaran

HARDI/BERITA SAMPIT - Direktur Palangka Raya Ecological and Human Rights Studies (Progress) Kartika Sari (kanan) saat diwawancara awak media.

PALANGKA RAYA – Direktur Palangka Raya Ecological and Human Rights Studies (Progress) Kartika Sari menyampaikan, penelitian yang dilakukan oleh Progress dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) mendokumentasikan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Besar Sawit (PBS) di tujuh desa di Kabupaten Seruyan, seperti di Desa Sembuluh 1, Sembuluh 2, Lanpasa, Parang Batang, Paring Raya, Banua Usang, dan Tanjung Hanau.

Salah satu pelanggaran yang dilakukan PBS tersebut, tidak dilaksanakan proses Free Prior Informed Consent (FPIC), atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa), yang merupakan hak masyarakat untuk memperoleh informasi awal tanpa paksaan harusnya dilaksanakan sebelum perusahaan mengoperasikan usahanya tidak pernah dilakukan.

“PBS hanya melakukan sosialisasi kehadiran perusahaan mereka melalui perwakilan dari desa terkait bahwa mereka telah mendapatkan izin dari Pemerintah tanpa meminta persetujuan dan menjelaskan informasi terutama dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan terhadap masyarakat baik itu positif dan negatif,” katanya saat melaksanakan press rilis di Tentang Kopi, Senin 5 Desember 2022.

Ia juga menyebutkan, PBS menyatakan bahwa mereka telah memiliki izin dan HGU dari pemerintah baik daerah hingga ke pusat, maka dari itu mereka meminta masyarakat untuk menyerahkan lahannya karena jika masyarakat tidak mau menyerahkan, maka perusahaan akan tetap menggarap lahan milik masyarakat.

Selain itu, keterpaksaan dalam memberikan lahan kepada perusahaan mengakibatkan hilangnya mata pencaharian masyarakat seperti berladang dan mencari ikan, karena selain hilangnya lahan terjadi juga pencemaran di sungai dan danau. Masyarakat kemudian terpaksa bekerja sebagai buruh sawit dimana mayoritas di tujuh desa tersebut hanya menjadi buruh harian lepas yang harus menghadapi masalah baru seperti upah rendah, tidak adanya jaminan keselamatan dan kesehatan serta adanya keterbatasan hari kerja.

“Tidak dijalankannya FPIC, juga menyebabkan tidak adanya pola kerjasama untuk mensejahterakan masyarakat di desa yang lahannya telah diambil oleh PBS,” jelasnya.

Hal ini ditunjukkan masih banyaknya masalah ketenagakerjaan, maslah CSR yang tidak jelas peruntukannya yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan berapa anggaran CSR yang harusnya di berikan kepada masyarakat, tidak adanya pemberian plasma 20 persen atau kalaupun diberikan perusahaan meminta dilaksanakan di lahan baru di luar HGU yang artinya perusahaan bisa memperluas usahanya tanpa harus mengganti rugi tetapi masyarakat yang akan menanggung biaya operasionalnya. Saat ini persoalan plasma sangat mengemuka.

Selanjutnya, peralihan lahan secara besar-besaran mengakibatkan hilangnya hutan dan hadirnya PBS serta Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mengakibatkan pencemaran sungai dan danau Sembuluh. Pencemaran sungai dan danau ini mengakibatkan semakin menurunnya jumlah ikan sehingga masyarakat menjadi susah untuk mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan untuk di jual.

Pencemaran ini juga mengakibatkan gatal – gatal di masyarakat. Hilangnya hutan dan tingginya intensitas hujan juga berdampak pada munculnya bencana banjir besar berkali – kali pada tahun 2020 -2022, hal ini tentu saja membuat masyarakat semakin menderita.

“Oleh sebab itu kami memberikan rekomendasi yang diperlukan bagi pemerintah daerah kabupaten Seruyan, Pemerintah pusat, dan Perusahaan dalam rangka menurunkan angka deforestasi dan memberikan perlindungan atas hak masyarakat antara lain Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Meninjau Pelaksanaan Sertifikasi Yurisdiksi di Kabupaten Seruyan dalam penghormatan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Seruyan.

“Pemerintah daerah melakukan peninjauan terhadap izin perusahaan besar yang menyebabkan kerusakan alam dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat,” ujarnya.

Pemerintah daerah pelaksanaan kepatuhan terhadap Prinsip-Prinsip RSPO dalam sertifikasi Yurisdiksi dapat menyentuh kepada perusahaan Non-RSPO Member.

“Pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah dan kekayaan alam sebagaimana diatur dalam konstitusi negara,” tandasnya.

Mendesak seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam produksi pengolahan kelapa sawit, mendapatkan sertifikasi RSPO dan ISPO sebagai indikator penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Perlindungan dan perluasan kawasan lindung dengan fungsi ekosistem lingkungan yang tinggi dan menjadi sumber kehidupan masyarakat, harus menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan industri pengolahan sumber daya alam. Terakhir restitusi terhadap Hak-hak Masyarakat Adat. (Hardi).