DPR Desak Kasus Safe Deposit Box Rafael Alun Rp37 M Dibuka ke Publik

    Diskusi Dialektika Demokrasi "Membedah Laporan LHKPN Di Tengah Sorotan Gaya Hedon Pejabat", di Media Center Parlemen Senayan Jakarta, Kamis, (16/3/2023). Foto: Adista Pattisahusiwa

    JAKARTA– Kasus petugas pajak dari Dirjen Pajak yang melibatkan Rafael Alun Rp37 miliar itu wajib dibuka ke publik. Sebab, dari situ akan diketahui siapa wajib pajak dan petugas pajak yang tidak melaporkan atau melakukan kongkalikong, negosiasi untuk mengemplang uang negara tersebut untuk memperkaya diri.

    “Saya lebih percaya yang Rp37 triliun di Safe Deposit Box milik Rafael Alun itu daripada yang Rp300 triliun dari taransaksi mencurigakan di Kemenkeu RI itu. Sebab, kalau Rp37 miliar ini dibuka siapa wajib pajak dan petugas pajaknya, maka akan diketahui siapa yang melakukan kecurangan dan penyalahgunaan kewenangan itu,” tegas Kamrussamad.

    Kamrussamad dari fraksi Gerindra menyampaikan hal itu dalam Diskusi Dialektika Demokrasi “Membedah Laporan LHKPN Di Tengah Sorotan Gaya Hedon Pejabat”, bersama anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto (F-Demokrat), Pengamat Hukum Ekonomi Salamudin Daeng dan Humas PPATK M Natsir Kongah, di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (16/3/2023).

    Padahal, uang itu seharusnya masuk negara (APBN), untuk memperkuat dan menambah penerimaan negara. Tapi, dengan perilaku pejabat yang korup, maka penerimaan negara selalu kurang.

    “Saya percaya Rp37 miliar ini. Kalau ini dijumlah 4500 ASN atau 10% nya, ini dikalikan Rp37 miliar, maka jumlahnya mencapai Rp114 triliun. Itu besar sekali,” ujarnya.

    Menurut Kamrussamad di Indonesia ini ada sekitar 1 juta wajib pajak termasuk badan, yang berpotensi melakukan kongkalikong atau negosiasi dengan petugas pajak di Dirjen Pajak.

    “Jadi, orang seperti Rafael Alun dan sebelumnya Gayus ini dipastikan banyak. Apalagi, banyak petugas pajak berprofesi sebagai pengusaha. Jadi, sudah waktunya Presiden menurunkan distroyer untuk menyangsi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya,” ungkapnya.

    Hal yang sama diungkapkan Didik Mukrianto, di tengah negara berjuang memperbaiki ekonomi, atasi pengangguran dan kemiskinan, justru banyak ASN yang pamer kekayaan dengan gaya hidup hedonis.

    “Mereka ini tak punya empati, yang seharusnya hidup sederhana, menjadi contoh moral force, etika, sikap yang religius dan sebagainya malah pamer kekayaan. Boleh kaya asal diperoleh dengan halal dan legal dan bukan sebaliknya,” jelas Didik.

    Salamudin Daeng justru yakin jumlahnya lebih dari Rp8000 triliun dan bukannya Rp300 triliun seperti disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD, itu kalau basisnya tex amnesty.

    “Pak Mahfud dan Ibu Sri Mulyani sudah tahu kalau uang itu bukan dari korupsi, berarti dari pencucian uang yang berbasis tex amanesty. Sebab, Indonesia ini sudah menjadi tempat pencucian uang,” tambahnya.

    Humas PPATK M Natsir Kongah mengatakan untuk mengetahui kekayaan pejabat yang tidak wajar itu mudah dengan melihat profile; gaji dan penghasilan yang diterima selama sebulan. Kalau penghasilan atau gajinya hanya Rp90 juta/bulan misalnya, tapi tiba-tiba ada transfer atau transaksi senilai Rp10 miliar berarti sudah tidak wajar.

    “Atau suatu perusahaan yang seharusnya membayar pajak Rp100 miliar, lalu negosiasi dengan petugas pajak hanya membayar sekian miliar rupiah, termasuk gaya hidup, laporan masyarakat dan lain-lain maka ini yang dikaji oleh PPATK dan kemudian dilaporkan kepada aparat penegak hukum. Termasuk Safe Deposit Box Rp37 miliar itu. Kalau tidak bergerak cepat, safe deposit box itu bisa diambil, dan sebelumnya ada yang mengambil, ada bukti di CCTV, berikut Bank-nya, tapi Bank-nya tak perlu disebut, itu Bank kita sendiri, dan terkait kepercayaan,” tandas Natsir Kongah.

    (adista)